Minggu, 14 Desember 2014

Mencari Permata Di Harau

Halaman 26

Mengelilingi Lembah Harau amatlah menyenangkan. Udara yang masih segar. Hijau di mana-mana. Sangat jelas keindahan alamnya. Lembah yang ada di Kecamatan Harau ini memiliki tebing-tebing granit yang menjulang tinggi dengan bentuknya yang unik dan terjal berwarna-warni mengelilingi lembah.

Pertamax-tamax, gue yang didampingi dua 'guide cuma-cuma' ini mengunjungi sebuah air terjun. Dari pertigaan kami mengambil jalan ke arah kanan. Berbagai sarana seperti tempat duduk, jalan setapak, tempat bermain anak-anak, Mushalla, WC dan kios-kios souvenir, makanan dan minuman, bahkan tempat pacaran pun telah dibangun di objek wisata ini, untuk kemudahan dan kenikmatan para pengunjung.
Welcome to Harau

Sarasah Bunta (sarasah=air terjun). Itulah nama lokasi pertama yang kami kunjungi di Harau. Mata gue bener-bener dimanjakan dengan suasana yang tercipta. Air terjun dipadu dengan warna-warni batu kapur. Bukit-bukit menjulang. Suara keras air terjun semakin menambah takjub. Apalagi sejak gue masuk ke Lembah Harau ini, banyak banget pemandangan air terjun dari kejauhan. Menurut masyarakat setempat, di Lembah Harau terdapat sekurang-kurangnya 36 air terjun di musim penghujan. Gilee banyak amit!!! Pengen banget nyemplung ke bawah air terjun. Bertapa di selah-selah bebatuan. Tapi sayang, stok pakaian gue udah abis *membleh*.
Serasah Bunta

Puas dengan Air Terjun Bunta, kami berangkat ke jalur satunya lagi. Jalur yang kalau kita dari arah masuk tadi berbelok ke kiri dari pertigaan. Di jalur yang ini, kami bertemu dengan air terjun yang posisinya berada pas di sisi jalan. Namanya Sarasah Aka Berayun atau dalam bahasa Indonesianya Air Terjun Akar Berayun. Sama seperti sebelumnya, air terjun masih berduet dengan warna batuan kapur. Cipratan airnya sampai mengenai kulit mulus gue yang hanya numpang lewat. Cipratannya membuat kulit terasa sejuk nomnom. 
Kami terus memacu kuda besi tanpa berhenti sedetikpun di Sarasah Aka Berayun. Karena tujuan kami bukanlah air terjun itu.

Sebuah jembatan kecil menghadang laju kami. Dari situ, kami sudah bertemu dengan rumah-rumah penduduk. Jalan mendadak berubah menjadi tanah dan becek. Sesekali ban motor nyelip di lumpur yang tergenang oleh air hujan. Motor gak bisa bergerak maju. Semakin lama jalan semakin buruk saja. Kaki dan celana kami udah kotor tidak karuan. Apalagi ban motor, jangan ditanya lagi. Butek banget liatnya.
View sepanjang perjalanan

View Harau

"Mer, masih jauh gak lokasinya?" tanya gue penasaran. 
"Bentar lagi kok," ucapnya sambil mendorong motor mba Leni yang keselip lumpur.
Motor mba Leni yang matic kewalahan melawan ganasnya lumpur. Gas sudah ditarik sekuat tenaga tapi si motor hanya jalan di tempat. Ban berputar cepat di tempat tanpa bergeser sedikit pun. Semuanya kewalahan mengeluarkan motor dari jeratan lumpur ganas. Seriusan nih jalannya? Tapi mau balik lagi, udah terlanjur gupak di lumpur. Ancur-ancur sekalian deh!

Setelah melewati jalanan terakhir yang super duper buruk blusuk, sampailah kami di sebuah portal gitu. Mentok. Portal dikunci mati. Gak bisa maju lagi dengan si motor. Cukup heran melihat ada sebuah portal melintang di ujung pelosok kayak gini. Toh gak ada perumahan ataupun diskotik di depan sana. Hanya hutan.

Dari situ kami berjalan kaki masuk ke dalam hutan. Motor di parkir di depan portal. Was was juga sebenernya.  Takut kalo si Motor raib gitu aja. Soalnya sepi banget. Rumah pun nyaris gak ada. Untuk keamanan, ban motor dikunci pakai gembok. Setidaknya kalau ada yang nyolong, ban motornya gak bisa muter.
Parkir motor yang sepi

Pemandangan di sekitar lumayan indah plus serem. Sepi jek!! Cuma ada rumah pondok kayu gitu, tapi belum ada penghuninya. Dibilang rumah penduduk tapi tempatnya jauh dari keramaian. Gak mungkin banget. Dibilang cottage tapi tempatnya sepi. Udah gitu jalanan menuju ke sini ancur banget. Siapa yang mau nginep di situ coba? #Peduli amat gue.
Cotage yang aneh. Sepi.

Kembali mencari permata di Harau. Setapak demi setapak kami bertiga memasuki hutan. Entah si Meri mau ngasih supraise apaan ke kita! Karena dia penyebab ini semua. Dia yang mengajak kami pergi ke sini. Mba Leni pun baru pertama kali "nyasar" ke ujung sini. Kata Meri, dia pernah ke sini bersama teman backpacker yang lainnya, dan di dalam hutan sana ada sesuatu yang akan membuat mata kami tercengang dibuatnya. Awas aja kalau sampe gak ada yang bisa dimasukin ke kamera, gue iket di portal terus gue telanjangin #Ngancem.

Setelah beberapa lama berjalan, kami menemukan sebuah aliran sungai gitu. Bening banget airnya. Kami terus menelusuri aliran sungai. Lama kelamaan, suara gemercik air semakin deras terdengar. Kami pun melangkah menuju asal suara tersebut berada, dan. . . TARAAAAA, sampai juga di Air Terjun . . . . Apa yah namanya? Si Meri juga gak tau apa nama air terjun tersebut. Jadi gue namain aja air terjun ini "Air Terjun Blangsak", karena sepanjang perjalanan bener-bener blangsak banget, ancur, butuh tenaga ekstra dan daya tahan tubuh prima #Asal Jeplak. (Ket: Setelah dikonsultasi dengan bang Dbon, nama air terjunnya adalah Sarasah Muray bukan Sarasah Blangsak, hahaha).

Air terjunnya sih pendek gak tinggi-tinggi banget, tapi airnya itu bening bana (bana=bener). Udara di sekitar sejuk menusuk relung jiwa #Lebai. Di sekelilingnya masih terlihat bersih dan asri. Belum banyak orang yang tau dengan tempat ini. Gak seperti di tempat wisata Harau yang lain seperti Sarasah Bunta dan Aka Berayun yang sudah penuh dengan wisatawan dan bangunan-bangunan kecil. Tempat ini pas banget buat yang lagi pingin bersantai sendiri dan cocok banget kalau ada yang ingin merencanakan bunuh diri. Dijamin gak ada yang tau lo udah modar di sini.
Serasah Blangsak!!!

Harau memang dijadikan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa gitu. Lembah Harau memiliki luas 270,5 hektar. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar alam sejak 10 Januari 1993. Di sini terdapat berbagai spesies tanaman hutan hujan tropis dataran tinggi yang dilindungi, plus sejumlah binatang langka asli Sumatera. Seakan gak mau rugi dengan perjalanan yang sudah ditempuh, kami langsung memasang pose untuk diabadikan ke dalam lensa. Mereka berdua membuka spanduk yang sengaja dibawa dari rumah bertuliskan "Couchsurfing Indonesia". Oke siap, satu, dua, tigaaa. . . Pret pret pret, jepret. Selesaiii! Waktunya pulang. 
Serasah Murai. Couchsurfing.

Sebenernya sih malay banget alias males pulang. Bukan karena air terjunnya yang indah, atau bukan kami betah disini, tapi kami males banget mengarungi lumpur ganas sekali lagi.

Di perjalanan, masih di Lembah Harau, kami berhenti di sebuah tebing tinggi gitu yang berada pas di sisi jalan. Kata Meri, di sinilah biasanya orang sering latihan Rock Climbing. Manjat-manjat tebing gitu, tapi tebingnya asli bukan bikinan kayak di GOR. Di dinding tebing banyak terlihat bercak-bercak bubuk magnesium yang menandakan kalau tebing ini memang sering digunakan latihan manjat. Pemandangan di sini juga tidak kalah kerennya. Gue beneran diapit oleh dua bukit cadas terjal dengan ketinggiannya hampir mengalahkan menara sutet.
jejak magnesium bekas panjat tebing

benteng alam

Gue sudah seperti berada di dalam benteng alam gitu. Lantas gue berteriak sekencang-kencangnya. Kata Meri bukit ini bisa memantulkan suara-suara gitu atau dalam bahasa kerennya disebut "Echo". "Hoi oi oi oi oii." Ternyata bener-bener bisa memantulkan suara. "Emak mak mak mak mak, aku ku ku ku, sudaaah dah dah dah dah, sampei pei pei pei pei, Padang pad pad pad pad paad #LOH.
Tebing Echo

Pukul 04.00 WIB. Dari tebing climbing Harau, gue berpisah dengan Meri dan mba Leni yang langsung pulang ke Batusangkar. "Sampai ketemu lagi Meri dan mba Leni. Makasih sudah mau nemenin gue jalan-jalan. Seneng bisa jalan dengan kalian." Mereka berdua pun perlahan-lahan hilang dari peredaran pandangan gue. Lantas, gue pun balik ke rumah bang Dbon. Sampai di TKP:
"Sepertinya ada yang kurang. Tapi apa yah?? . . . . TANDA TANGAAAN!! Si Meri belum TANDA TANGAAAN!! Huaaaaa!! Padahal niat ketemu dia itu mau minta tanda tangannya, tapi malah kelupaan. Dasar sib nasib." Emang sih, gue masih belum terbiasa dengan ritual baru ini. Ritual tanda tangan dari teman-teman yang telah membantu atau bertemu sepanjang perjalanan. Gak heran banyak yang terlewat. Apa guenya yang udah pikun!

Sore ini bang Dbon mau pergi ke Gunung Marapi. Mau absen dulu ke sana, katanya. Dikira lagi di sekolah, pakai absen segala! Gue pun sore ini harus pergi menuju Kota Bukittinggi. Tadinya gue mau ikut ke Gunung Marapi dengannya, tapi berhubung waktunya sudah tidak cukup lagi karena tanggal 24 gue harus sudah sampai di Sibolga, Sumatera Utara. Padahal di Sumatera Barat ini masih banyak tempat yang belum disinggahi. Tapi apa boleh buat, gue sudah terlanjur janji harus sampai di Sibolga tanggal segitu. Mungkin next, gue bisa menjamah seluruh tempat-tempat indah di Sumbar, termasuk gunung tersebut.
Setelah packing-packing, gue pamit sama keluarga bang Dbon dan gak lupa pamitan sama si kucing lucu, Pupu.

"Nih pakai aja Gi," Bang Dbon melepaskan sebuah acesoris yang menggantung di leher Pupu, kemudian memberikannya ke gue.
"Wew, serius nih, Bang. Nanti Pupu gak pakai kalung lagi dong."
"Tenang aja, gue udah buat penggantinya." Dia menunjukan kalung baru untuk Pupu dan langsung memasang di leher Pupu. 
Dan (mantan) kalung Pupu jadi milik gue. Lantas langsung gue pake di lengan sebelah kiri. Sebuah tali kecil karmantel yang menggantung sebuah batu coklat kecil berukir nama Pupu di bagian tengahnya. Dan ternyata, asesoris itu hasil karya tangan bang Dbon sendiri loh!!! Kreatif.

Tujuan gue selanjutnya adalah Kota yang paling terkenal di Sumbar. Bukittinggi. Bang Dbon ngajak berangkat bareng sampe Bukittinggi. Jalur kami memang searah. Tapi karena gue harus singgah sebentar ke daerah Guguak, jadi kami harus berpisah di simpang jalan. Padahal dia mau ngajakin gue singgah di Goa Wisata gitu di Kota Payakumbuh. Hemm, lain kali aja lah. Gue harus menemui seorang teman dulu di Guguak. Makasih bang Dbon atas kebaikannya. Ditunggu kedatangannya di Jawa terutama di Gunung Semeru dan gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa *cipika-cipiki*.
Salam Payakumbuh

Ngapain gue ke Guguak. Ingat sama bang Ben yang di Solok itu?? Dia kan sedang menjalankan tugas di Payakumbuh nganterin Atlit Porprov. Nah, posko mereka itu berada di SMK Guguak yang kata bang Dbon agak lumayan jauh dari rumahnya. Tapi gak apa-apalah pamit sekali lagi sama bang Ben. Mumpung gue lagi ada di sini. Sekaligus biar lebih mengenal ruas-ruas jalanan di Sumbar.

Ternyata bener, lumayan jauh pake banget perjalanan ke Guguak. Udah gitu jalannya perkampungan gitu, banyak simpang, banyak cabang, jadi harus sering nanya. Sampai di TKP, cepet-cepet gue SMS bang Ben. Gak beberapa lama, dia pun keluar dengan beberapa temannya.
"Gimana Porprovnya bang Ben?"
"Lancar dong, hahaha."
Seperti biasa, dia memamerkan kepada teman-temannya, kalau gue mau pergi ke Sabang, Aceh. Mana temennya cewe semua lagi. Jadi malu. Gue disuruh bermalam bersama mereka sampai esok pagi. Tapi, gue sudah janji dengan teman di Bukittinggi kalau mau datang malam ini. 

Waktu sudah mau Magrib. Pamit sekali lagi sama bang Ben dan teman-temannya. "Sukses ya buat ke Sabangnya. Jangan lupa mampir lagi ke Solok." Teman-temannya bang Ben memberi semangat luar biasa buat gue.
Waktunya ngegas. Bergelut lagi dengan jalanan Sumbar. 

Sepertinya ada yang terlewat lagi. Hemmmm . . . . . TANDA TANGAAAN!! BANG DBON BELOM TANDA TANGAN SI BIRUUUUU!!! 
Salam Silaturahmi!!!

Jumat, 21 November 2014

Kuncen dan Kucingnya

Halaman 25

Selasa, 18 Desember 2012
"Di sini mau keliling ke mana, Gie??" tanya bang Dbon.
"Ada tempat wisata apa aja bang,di Payakumbuah dan Limapuluh Kota??"
"Banyak banget. Kau suka jenis wisata apa? Ada sejarah, alam, budaya, religi, dll." Bang dbon menjelaskan semuanya, "butuh beberapa hari untuk mengunjunginya satu-satu".
Tepok jidat

Mentari pagi sudah bekerja seperti biasa. Menyinari bumi. Gue bersama bang Dbond sudah nongkrong di bangku panjang depan warung. Nemenin bang Dbon yang sedang "shift pagi" jagain warung. Udara sejuk pagi hari bertambah super dengan sepiring penuh pisang goreng campur ketan. Nikmat rasanya.
Selamat sarapan!!!
Kegiatan Bang Dbon sehari-hari banyak dihabiskan untuk bantu-bantu orang tuanya jualan di warung depan rumahnya. Jual sembako-sembako gitu. Dia tau banyak mengenai wisata di Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. Apalagi kalau tentang gunung-gunung di Sumbar. Hampir semua gunung di negeri Minang sudah didakinya. Terutama Gunung Marapi. Mungkin sudah bosan dedemit penunggu Marapi ngelihat dia naik turun gunung. Gimana gak bosen, hampir tiap minggu dia berkunjung ke gunung yang masih aktif tersebut. Udah kayak orang gedongan pergi ke mol tiap minggu. Gue menjulukinya dengan Kuncen Marapi. Kalau di Jogja ada mbah Marijan yang jadi kuncen Gunung Merapi. Nah, di Sumatera Barat ada Datuk Dbon sebagai kuncen muda Marapi *ngakak*.

Orang yang satu ini juga pecinta kucing loh!!! Di rumahnya banyak banget kucing-kucing kampung gitu. Bahkan ada salah satu kucing yang unik banget. Kenapa gue bilang unik? Selain suka makan jagung goreng, kucing itu juga hanya memiliki tiga buah kaki. Ciyus? Enelan? Miyapa? Iya serius buangets cuma punya tiga kaki doang. Bukan tanpa sebab. Dulu kala, kucing yang bernama Pupu itu pernah tertabrak kendaraan waktu lagi asik maen layangan di jalan (kucing maen layangan?? *mikir keras*), dan yang nabraknya itu kabur gitu aja. Tabrak lari gitu. Atas rasa kehewaniannya bang Dbon membawa kucing itu ke dokter dan diamputasilah satu kaki kucing itu. Hebaaaaattt!!! Menolong sesama mahluk hidup. Padahal kucing kampung yang banyak banget berserakan di jalanan. Tinggal ngarungin doang. Tapi dia tetap menolong dan memelihara Pupu dengan ikhlas sampai sekarang. Ini yang patut kita jadikan contoh *TepokTangan*.
Pupu the Cat
Balik lagi ke tempat wisata di Payakumbuh dan Limapuluh Kota. Banyak sekali yang harus dikunjungi di tempat ini. Namun, karena waktu gue cuma sehari berada di sini, terpaksa gue harus memilih dua diantara puluhan tempat wisata di kabupaten paling utara Provinsi Sumatera Barat ini. Icon daerah ini pun gue pilih sebagai tujuan berwisata ria, yaitu Lembah Harau dan Kelok 9.

Hari ini adalah acara finall Wall Climbing tingkat Porprov. Sebelum mengunjungi tempat wisata, gue mau nonton acara tersebut bersama dengan Meri. Soalnya kemarin gue udah janji mau nemenin dia nonton. Hape gue keluarin dari tas. Gue langsung menghubungi Meri. Tapi hanya ada suara wanita di balik teleponnya yang mengatakan bahwa hapenya tidak aktif. Semalam dia menginap di rumah mba Leni. Gue baru ingat kalau dia lupa bawa casan Hape. Hadew, gimana cara ketemuannya? Mudah-mudahan dia bisa mencium aroma busuk gue di GOR nanti. 

Pukul 11.00 WIB, gue yang diantar bang Dbond pergi menuju GOR. Acara climbingnya sudah dimulai pas gue sampai di TKP. Seru juga lihat anak-anak yang lihai banget manjat memanjat, mirip supermen-supermen gitu yang jago ngerayap di tembok (itu mah Spidermen kalees!!!). Gue aja yang basicnya dari Pecinta Alam belum bisa selincah itu. 
Poprov Panjat Tebing
Sambil melihat-lihat pertandingan, mata gue terus memantau kanan kiri atas bawah. Siapa tau si Meri lagi moto-moto di atas pohon kelapa #yakalee. Ke mana aja tuh bocah? Jerawat di batang hidungnya belum nampak sedikit pun.
Waktu sudah terlanjur jam satu siang, tapi belum ada tanda-tanda Meri dan si Cano muncul. Gue harus bergegas pergi ke Kelok 9 sebelum sore. Lantas, gue pamit sama bang Dbon. Dia gak bisa nemenin gue jalan-jalan lebih lama karena dia mesti pulang nerusin "shift paginya". Ini aja sebenarnya dia bolos jaga sebentar buat nemenin gue, alesan ke ortunya mau pergi ke pasar beli rokok dulu.

Saatnya eksplore Kabupaten Limapuluh Kota. Berangcuuutt!! Gas trooooss menuju Kelok 9.
Apa itu Kelok 9?? Kelok 9 itu sejenis makanan yang isinya potongan pisang, ubi, kolang kaling, dan diguyur pakai kuah gula dan santan yang banyak banget ditemuin kalau lagi bulan puasa (itu mah Kolek, panjuul!!).
Kelok 9 itu adalah nama untuk ruas jalan yang menghubungkan Provinsi Sumbar dengan Provinsi Riau. Jadi kalau mau ke Pekanbaru dari Padang atau sebaliknya, pasti ketemu sama si Kelok 9 ini. Dulu banget, jalan yang terletak di Kecamatan Pangkalan, Lima Puluh Kota ini dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda dan memiliki sembilan kelokan ke kiri dan ke kanan yang hampir menyerupai huruf "S" bahkan ada yang mirip huruf "Z", sehingga dinamakan Kelok 9.
Pabeulit euy!!!

Kelok 9 lumayan jauh dari GOR Sarilamak, sekitar 10 km dengan jalan yang kanan kirinya itu bukit-bukit, tebing-tebing cadas gitu. Gue melihat di salah satu puncak tebing ada air terjun kecil terjun bebas menyirami hijau hutan di bawahnya.
Perjalanan menuju kelok 9
Sampai di TeKaPe. Jalan yang lebih mirip Usus 12 jari ini bener-bener menakjubkan. Ruas jalan yang di kelilingi hutan dan tebing-tebing raksasa. Ditambah ada jembatan layang gitu yang menjadikan tempat ini gak kalah keren dari jalanan di luar negeri sana. Namun jembatan layangnya masih belum selesai dibangun. Masih banyak alat-alat berat dan para tukang yang sedang sibuk membangun jembatan layang. Belum selesai aja udah keren, apalagi nanti kalau udah selesai.
Jembatan Layang Kelok 9

Dengan jalan menanjak gue menelusuri Kelok 9. Banyak kendaraan macet karena mengantri. Emang jalan di sini sempit banget. Ada tata tertib jika lewat di kelok ini. Jadi, pas kelokan atau belokan, kendaraan dari arah atas harus mengalah berhenti untuk mempersilahkan kendaraan dari arah gue atau bawah jalan terlebih dulu. Meskipun jalannya menanjak dan berkelok-kelok, jalur ini menjadi favorit para pengendara. Sebab, jalur ini merupakan yang paling dekat menghubungkan kota Padang dan Pekanbaru. Sekitar 40 km lebih dari kelok ini, kita sudah bisa menemukan tugu perbatasan antara Sumatera Barat dan Riau. 
Maka dari itu untuk mengurangi tingkat kemacetan, di atas ruas jalan Kelok Sembilan ini dibangun jalan layang yang disebut Jembatan Kelok Sembilan. Katanya, sejak tahun 2003, mulai dilakukan pembangunan jembatan sekaligus ruas jalan baru. Panjang keseluruhan jembatan dan jalan yang dibangun adalah 2.537 meter, dengan 964 meter di antaranya merupakan jembatan dengan lebar mencapai 13,5 meter dan tinggi pelindung di sisi kiri dan kanan 1 meter. Setelah selesai dibangun, ruas jalan lama nantinya akan difungsikan sebagai objek wisata gitu. Sukses deh buat Pemerintah Sumbar!

Ketika sampai di ruas jalan paling atas, pemandangannya sangatlah indah, jek!!! Terlihat jelas keseluruhan dari jalan yang berkelok-kelok itu. Kendaraan mengular memenuhi ruas jalan. Gue memarkirkan si Biru di bahu jalan yang cukup luas. Gue berjalan menuju jalan layang yang belum selesai dibangun. Walaupun jalannya masih ditutup pakai seng, tapi dengan sedikit kelicikan, gue bisa menerobos masuk ke dalam. Gue melihat tukang bangunan yang masuk ke celah-celah seng yang menganga gitu. Gue ikutin aja tukang bangunan itu sambil masang wajah tanpa dosa, padahal jelas-jelas di sengnya ada tulisan "Dilarang masuk kecuali petugas". Lanjut.

Dari atas jembatan layang, pemandangan semakin jelas lagi. Gue bisa melihat pemandangan Kelok 9 yang disesaki truk-truk besar yang sedang mengantri. Ditambah dengan pemandangan bukit yang menghimpit ruas jalan tersebut. Alakit!!! (dibaca: I like it). Gue gak menyia-nyiakan kesempatan ini. Gue langsung mengeluarkan kamera dan langsung memasang pose-pose centil. Mumpung gak ada orang. Pret, pret pret. Sebelum gue dilempar dari jembatan sama mandor tukang bangunan, lebih baik gue langsung bergegas balik ke GOR. 
Pemandangan dari atas jembatan layang

Sama seperti kemarin. Gue tiba di GOR ketika acaranya sudah bubaran. Waduh, gimana nih!!! Gue belum ketemu si Meri. Belum pamitan. Belum ada ritual tanda tangan di tubuh si Biru. Gue mencoba mengubek-ngubek GOR mencari tuh anak. Namun hasilnya nihil. Hapenya pun masih tewas. Ahk, mungkin dia sudah pulang ke tempat asalnya. Mending gue langsung berangkat ke tempat wisata selanjutnya, yaitu Lembah Harau.

Tidak jauh dari GOR. Sampailah gue di gerbang masuk Lembah Harau. Tiket masuk seharga 3000 Rupiah sudah dibeli. Pemandangan di sekitar lembah Harau sawah-sawah gitu. Menyaksikan hamparan sawah yang indah, itu hal yang mainstream. Namun, jika hamparan sawah itu diapit oleh tebing-tebing yang tegak lurus menjulang setinggi 100 meter hingga 500 meter, orang-orang pasti akan bilang "Indah-Indah Amazing Gitu" sambil sibuk moto gaya selfy. 
Sepanjang jalan gue terus mikirin si Meri. Gue merasa gak enak belum pamitan dengannya. Yang lebih nyesel lagi, dia belum nulis tanda tangannya di motor sebagai perwakilan Kota Batusangkar. Ritual baru gue. Arrrrggh!!! *GigitinSpidol*. Ahk, sudahlah. Mungkin memang belom berjodoh.

Dari jauh, gue melihat sepeda motor lengkap dengan pengendaranya sedang berhenti di sisi jalan. Yang satu sibuk bergaya-gaya sok centil, dan seorang lagi sibuk memakai kamera besarnya. Pasti mereka turis. Hanya mereka yang sibuk foto-foto. Gue pun mendekati mereka. Dari bentuk tubuhnya sepertinya gue kenal. Lantas gue mempercepat menghampiri dua orang tersebut yang sudah siap melajukan kembali motornya. Jodoh emang gak ke mana. Ternyata eh ternyata, dua orang itu siapa lagi kalo bukan Meri dan mba Leni.
"Ngapain kamu Mer di sini? Bukannya kalian udah pernah ke sini ya? Gue kira kalian udah pada sampe rumah masing-masing."
"Biasa dia mau nyobain kamera barunya, Gie," cetus mba Leni.
"Mumpung ada di sini, jadi sekalian aja ambil gambar," Meri tersenyum riang.
"Kebetulan dong. Ayooo bareng-bareng keliling Harau!" ajak gue dengan penuh semangat. Mereka berdua pun menjadi guide di Lembah Harau.


Kamis, 20 November 2014

Misteri Sebuah Batu

Halaman 24

Ada yang tau Batu Angkek-angkek? atau ada yang sudah pernah memegang dan mengangkat batu tersebut? 

Menurut cerita setempat, barang siapa yang bisa mengangkat batu tersebut ke pangkuan yang mengangkatnya, maka segala keinginannya akan terkabul. 
Untuk mengobati rasa penasaran, gue ingin mencoba merasakan kekuatan batu tersebut. Kebetulan jalur yang kami lalui melewati desa tempat batu itu disimpan, yaitu jalur Sungayang (jalur Batusangkar-Payakumbuh). Gue jadi gak sabar mau megang tuh batu. Batu yang penuh dengan magis, batu yang menyimpan kekuatan goib dan penuh dengan tanda tanya. Lumayan, siapa tau batunya bisa gue jadiin cincin batu akik.

Gue dan Meri menaiki beberapa anak tangga. Masuk ke dalam rumah. Di dalam, gue disambut oleh sesosok ibu-ibu yang ternyata penjaga sekaligus pemilik rumah. Desa Balai Tabuh, Kecamatan Sungayang. Letaknya 9 km di sebelah utara Batusangkar. Benda sakral itu terletak di dalam rumah gadang berukuran sekitar 4x16 meter milik warga Suku Piliang. Katanya, rumah ini sudah berusia lebih dari 100 tahun lho!! 

Batu Angkek-angkek itu warnanya hitam dan di tengahnya terdapat lubang-lubang kecil gitu. Dari penampilan dan ukurannya, gue rasa batu itu mudah untuk diangkat, bahkan dengan satu lengan sekalipun. Namun ada tata cara untuk mengangkat batu tersebut, yaitu pertama, mengucapkan salam ketika masuk, terus duduk diantara dua kaki atau duduk seperti orang solat, kemudian sebelum mengangkat batu, baca dulu kalimat syahadat dan basmalah, terus yang terakhir. . . pulang. Kok pulang!!!. . . Pulang dulu minta restu orang tua. Udah dapet restu, nyatakan niat yang kita inginkan dan mulai untuk menguji apakah batu tersebut terangkat atau tidak.

Percaya atau tidak, tapi lebih baik sih percaya #Maksa. Ternyata benar, berkali-kali gue mencoba untuk mengangkat batu tersebut sampe hampir kecepirit, sama sekali gak bisa keangkat sedikit pun. Batunya sih kecil, ukurannya sedang kayak cobek tukang gado-gado yang berdiameter 50 sentimeter. Tapi berat banget, sumpah! Segala daya upaya dan pepaya sudah gue lakukan untuk mengangkatnya, namun tidak sanggup jua, bahkan untuk sekedar menggesernya. Da aku mah apa atuh! ngangkat batu aja susah payah, apalagi ngangkat kamu ke pelaminan #TSAH.

Ibu penjaga batu yang duduk di samping pintu masuk, memberitahu bagaimana caranya untuk mengangkat Batu Angkek-angkek. Gue kembali ke posisi siap siaga. Gue ucapkan salam, syahadat, bismilah, surat qulhu (dibaca Al-Ikhlas), surat yasin (satu ayat di depan dan satu ayat di belakang), dan terakhir menyatakan keinginan dalam hati. Tangan gue sudah dalam posisi di bawah batu. Gue melirik ke arah Meri. Raut wajahnya jelas mengatakan, "Ayo, lo pasti bisa, Gie. Jangan lupa gue nitip satu permintaan kalo lo berhasil." Gue kembali menatap batu. Tajam. Gue tarik nafas dalam-dalam. Udara terpusatkan di perut. Hup. Dengan segenap kekuatan bulan dan bintang, Batu Angkek-angkek berpindah juga ke pangkuan gue. Yeaaahh! Berhasil berhasil horeeei!!! *Gaya Dora dan Bots*. 

Mau tau gimana caranya agar si Batu bisa pindah ke atas pangkuan loe? Telepon gue, maka gue akan menjawabnya. Hahaha
Gue mengamati keseluruhan Batu Angkek-angkek. Bagian belakang yang berwarna kuning tembaga, terdapat tulisan “Allah” dan “Muhammad” gitu. Subhanallah, sesuatu banget. Entah darimana asalnya. Entah siapa yang menuliskannya. Cuma satu yang bikin gue penasaran. Anjelina joli suka makan tahu sumedang gak yah?

Meri sudah memasang kuda-kuda bersiap untuk mengangkat batu Angkek-angkek. Dulu dia sudah pernah datang ke sini dengan turis dari Jerman. Mister Jerman tersebut berulang kali mencoba memindahkan batu ke pangkuan, tapi tetap tidak berhasil juga mengangkatnya. Meri pun demikian, ia terlihat kesulitan untuk mengangkat batu yang lebih mirip dengan tempurung kura-kura itu, padahal Meri itu jago karate, jago naek gunung, jago masak, jago moto #Gak Ngaruh Sih. Kepada Meri, gue menjelaskan sedikit gimana triknya. Yah, walaupun masih agak sedikit kewalahan juga, namun akhirnya ia bisa juga memangku batu tersebut.

Permintaan dan keinginan gue sih gak banyak. Cuma mau keliling Indonesia dan Dunia, diberi keselamatan di jalan, dan bisa jadian dan berpetualang bersama Si Odah, wanita yang selalu menyetrumkan hati ku (So sweet banget kan!!!). Namun gue peringatkan dengan keras, jangan sampai kalian percaya sama itu batu, karena takdir itu Allah yang menentukan, bukan batu. Kalo pengen sesuatu mah berdoa aja sama Allah, jangan ke batu. Musrik tau gak sih!! Gue itu melakukan semua ini hanya untuk hiburan semata, buat seru-seruan saja. Tapi kalau beneran terkabul, ya gak apa-apa lah kalau gue mencobanya sekali lagi #LOL.
bentukna kecil, tapi beratnya minta ampun.Serius.

Hal yang paling menarik adalah untuk mencari jawaban mengapa batu ini bisa menjadi berat dan ringan dengan sendirinya. Jika diperhatikan keseluruhan batu, kemungkinan bahannya dari tembaga gitu. Namun mengapa batu ini bisa diangkat atau tidak, agak sulit untuk mencari logika ilmiahnya. Apalagi logika gue yang masih bobrok binti ndablek.

Menurut Sejarah,  Batu Angkek-angkek diawali dari mimpi Datuk Bandaro Kayo, salah seorang kepala kaum dari Suku Pilian. Ia didatangi oleh Syech Ahmad dan disuruh untuk mendirikan sebuah perkampungan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Palangan. Pada saat pemancangan tonggak pertama, terjadi suatu peristiwa aneh gitu, yakni gempa lokal dan hujan panas gitu selama 14 hari 14 malam. Akibatnya diadakanlah musyawarah warga.

Warga suku bingung dan cemas. Tak lama setelah itu terdengar suara-suara dari lubang tempat pemancangan tonggak utama. Suara itu berbunyi permintaan agar warga mengeluarkan benda dari lubang tersebut. Datuak Bandaro Kayo pun mengumpulkan kembali warganya untuk mengambil benda di dalam lubang. Akhirnya, mereka tahu penyebab mengapa tonggak gak bisa dipancang serta bencana selama 14 hari itu. Setelah batu diangkat, bencana pun berhenti dan barulah pemacangan tonggak utama itu bisa dilakukan.
Sekarang batu ini dikenal dengan Batu Angkek-angkek atau dalam bahasa Indonesianya adalah Batu Angkat-angkat. Kata ibu penjaga yang gue lupa namanya, pengunjung tempat wisata batu ini tidak banyak, tetapi tiap pekan selalu ada. Jumlahnya tidak banyak antara 10 sampai 50 orang. Kalau pas liburan sekolah akan lebih banyak lagi. 

Mereka pada umumnya membawa sejuta tanda tanya dalam hati. Bahkan, tidak jarang ada yang mencobanya berulang-ulang kali. Penasaran dalam hati kenapa sang batu tak bisa juga diangkat-angkat. Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar kemudian mengelolanya dengan menempatkan si ibu di tempat tersebut. 

Memang setiap daerah memiliki keunikan dan keanehan yang menjadi daya tarik wisata. Keajaiban itu menyebar dari mulut ke mulut yang akhirnya melegenda dan mengundang banyak orang untuk datang. Begitu pula dengan Batusangkar. Selain batu Angkek-angkek, di sini banyak sekali batu-batu yang memiliki peninggalan sejarah. Ada Batu Batikam, terus ada Batu Basurek dari zaman Raja Adityawarman, dan batu-batu lainnya yang tersebar di Tanah Datar. Di Nagari Pariangan juga ada sebuah batu prasejarah di dekat Masjid Tua. Bahkan nama Batusangkar pun diyakini dari sebuah nama Batu dan Sangkar. Namun belum dapat diketahui dengan pasti. Tidak diketemukan pasti di mana batu yang berada dalam sangkar ataupun batu berbentuk sangkar tersebut berada. Katanya ada yang bilang batu tersebut telah dibawa oleh orang Belanda ke negara asalnya. Entahlah, yang pasti di setiap penamaan pasti ada sebuah arti yang tersirat #Gaya. 

Pemandangan sekitaran desa ini gak kalah indah dengan Desa Pariangan. Rumah-rumah Minang masih banyak berdiri tegak di pinggir jalan. Pokoknya serasa berada di Minangkabau dah (emang elo lagi di mana, kunyuk??). Apalagi pas kami sampai di atas sebuah bukit, gue bisa melihat desa dengan rumah-rumah gadang di kelilingi hijaunya perbukitan. Indahnya. Sayang gak ada kamera profesional yang pake lensa teleskop, jadi meskipun berada jauh tetap bisa mengambil gambar sampe ke dalem-dalem kamar mandinya.

Meri ngajak mampir ke rumah temennya. Sempat nyasar-nyasar dulu, akhirnya sampai juga di rumah yang kita tuju. Namanya mba Leni. Ternyata eh ternyata, dia itu kenal sama mba Pici. Mereka pernah jalan bareng waktu ke luar negeri, dan kemarin pas mba Pici jalan-jalan ke Sumbar tanpa sengaja bertemu lagi di Payakumbuh. Jiaaahh, dunia memang sempit. Maklum saja, Mba Leni juga salah satu anggota Couchsurfing sama seperti Meri. 

Sekitar jam 15.00 WIB, kami lanjut berangkat menuju Payakumbuh. Mba Leni ikut menemani kami. Kebetulan dia ada urusan di sana. Di perjalanan, atau tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh Kota, hujan turun cukup deras. Untung gue pake ponco, jadi Meri bisa nyelip di belakang ponco walaupun tetap saja celana kami basah kuyup. Sampai di Pasar Payakumbuh (56 km dari Batusangkar), kami berhenti menunggu mba Leni yang sedang menjemput temannya. Habis itu kami lanjut menuju Gedung Olahraga (GOR) tempat diadakannya Porprov. Jarak menuju GOR lumayan jauh lah dari Pasar Payakumbuh.

Sampai di GOR yang terletak di Sarilamak ibukota Kabupaten Lima Puluh Kota, sekitar pukul 04.00 sore. Mba Leni dan temannya pergi ke rumah-rumah yang berada di belakang GOR untuk menyelesaikan urusan jual beli rumah gitu. Selagi mba Leni menyelesaikan urusannya, gue dan Meri pergi mencari tempat diadakannya perlombaan Panjat Tebing. Namun pas sampai di TKP, acara Panjat Tebingnya sudah selesai. Para panitia sedang sibuk merapihkan alat-alat panjat. Penonton bubar. Jiaaaahh, udah jauh-jauh, ujan-ujanan, sampai di GOR selesai acaranya. Gagal deh ngelihat perlombaan manjat.

Terlihat Meri sedang memperhatikan salah satu panitia panjat tebing.
"Kayaknya aku pernah lihat orang itu," ucapnya.
"Tukang Mie Tek-tek kali Mer," jawab gue bercanda.
"Krik krik krik." Garing.
"Oh iya aku ingat!!! itu pembimbing aku waktu pendidikan Wanadri di Bandung." Memori di otak Meri sudah kembali pulih.
Dengan raut wajah ragu-ragu, Meri menghampiri orang tersebut. Ternyata memang benar, dia anggota Wanadri. Orang yang pernah ditemui sewaktu pendidikan dulu. Pembimbingnya dulu. Dia kebetulan menjadi panitia Panjat Tebing di Porprov tahun ini. Meri pun berbincang-bincang bernostalgia bersama cowok tersebut. Katanya besok pagi akan diadakan lagi lanjutan pertandingan Panjat Tebing. Besok merupakan pertandingan yang terakhir alias final. Akhirnya Meri masih bisa melihat orang-orang manjat-manjat tembok keesokan hari. 

Sudah jam enam sore. Terlampau sore. Lanjut mencari rumah bang Dbon. Dbon itu adalah anggota Backpacker Padang juga. Bang Anto menyarankan gue untuk menghubunginya jika sudah tiba di Payakumbuh. Dia langsung menelepon gue dan menjelaskan rute menuju rumahnya. Bla bla bla obladi oblada. Sip. Alamat sudah disave. Waktunya mencari!!!

Dari GOR, patokannya ketika ada perempatan, belok ke arah Batu Balang dan gak jauh dari situlah rumahnya berada. Begitulah penjelasan dari bang Dbon. Waktu sudah mulai gelap. Gue pun hanya meraba-raba, menebak jalanan di Payakumbuh terus mencari rumahnya yang sudah masuk kawasan Lima Puluh Kota. Jalanan sudah buntu. Gue pun meneleponnya lagi. 
"Bang ke mana lagi? Saya udah ke sini ke situ, ke sana kemari, gak juga nemu rumah abang."
"Kamu sudah sampai mana??"
"Gak tau nih, tapi ada pertigaan gitu." Gue kebingungan.
"Kejauhaan, muter balik lagi gie. Patokannya warung," jawabnya.
Kami memutar balik motor. Biar gak nyasar lagi, gue meneleponnya sambil mengendarai motor. Gak beberapa lama, terlihat ada seseorang yang sedang menelepon di pinggir jalan. Orang itu melambaikan tangan ke arah kami yang masih 100 meter darinya. 
"Selamat datang di Payakumbuh,"

Kamis, 06 November 2014

I'm Not "Gila"!!!

Halaman 23

"Kalau saya gak 'gila' kayak gini, saya gak akan bisa bertemu dengan ibu, bapak dan teman-teman yang lainnya di Sumatera." Meraka pun hanya terdiam malu mendengar jawaban gue. Entah ngerti apa enggak omongan gue.

Seperti biasanya, gue selalu dibilang "orang gila" oleh setiap orang tua yang baru pertama kali berjumpa di Sumatera. Termasuk ibunya temen baru gue di Batusangkar. Emang salah gue apa sama mereka! sampai-sampai mereka selalu bilang kayak gitu!!! Apa gue dulu pernah menyakiti hati mereka? Apa dulu gue pernah tolak cinta mereka? Da aku mah apa atuh. Pengen beli cilok aja harus nunggu harga kopiah turun dulu. #Indikasi Gila. Tapi, ucapan mereka gak salah juga, yap, gue akuin itu, naik motor "butut" sendirian keliling Sumatera dengan persiapan minim. Gak heran banyak insan di Bumi Andalas ini yang mengatakan demikian.

Nama temen baru gue adalah Meri. Orang asli Batusangkar. Tinggi badan 155 cm, berbadan kecil dengan kulit lumayan putih. Rumahnya berada dekat simpang Asrama Polisi, gak begitu jauh dari Lapangan Cindua Mato. Gue masuk ke dalam rumah. "Ini ibu ku, Gie, dan ini Yogie, Bu." Dengan bahasa Minang, Meri mengenalkan dan menjelaskan tujuan gue "nyasar" di Sumatera ke ibunya. Ibunya kurang fasih berbahasa Indonesia, jadi harus diterjemahin dulu ke bahasa nasional. Gue sih udah agak sedikit ngerti dengan bahasa Minang, tapi kalau ngomongnya udah secepat kilat tanpa koma dan titik, langsung kusut aja tuh kata-kata di telinga gue.

Gue disuruh nginep di rumahnya, tapi gue takut merepotkan Meri dan keluarganya. Gue takut mengganggu kehidupan mereka jikalau gue tetap berada di sini #Sok jaim padahal butuh. Namun, karena hari sudah mulai gelap, udah gitu hujan turun deres banget, gue putuskan untuk bermalam dulu di rumah Meri #padahal emang niatnya mau nginep walaupun cuaca bagus. Rencananya besok siang, Meri mau pergi ke Limapuluh Kota untuk melihat Porprov (Pekan Olahraga Provinsi) Wall Climbing atau Panjat Tebing. Jadi, gue bisa berangkat bareng ke sana besok. 

"Meri sering mengajak teman-temannya bermalam di rumah. Bule-bule dari luar negeri juga sering nginap di sini." ucap ibunya ketika kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Meri memang salah satu member Couchsurfing (CS). CS itu adalah wadah untuk para traveler seluruh dunia gitu. Dari situ kita bisa berkenalan sesama Backpacker dari dalam maupun luar negeri.
"Gimana perjalanannya Gi?"
"Wah, harus dicoba sendiri, Mer. Susah diungkapkan."
"Pengen banget aku pergi sendiri keliling dunia, tapi. . . ." Meri mulai bercerita.

Suatu saat Meri pengen banget bisa berpetualang sendiri keluar dari Sumatera dan keliling negara lain, dan impiannya adalah bisa mengunjungi Negara Panser Jerman. Tapi, namanya juga anak perempuan, pasti susah banget dapet izin. Keinginannya terhalang izin dari orang tuanya. Emang sih, cewe yang ternyata jago karate ini adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga, jadi sangat-sangat dijaga banget keadaannya, apalagi adat di Minang ini, kalo seorang perempuan itu sangat dihormati sekali di keluarga, karena si perempuan lah yang akan meneruskan marga mereka.

Meri ternyata pernah mengikuti pendidikan dasar Pecinta Alam Indonesia atau Wanadri. Keren banget menurut gue, karena itu kan organisasi pecinta alam tertua di Indonesia dan pendidikannya itu bener-bener berat banget. Meri hampir saja lolos Diksar alias Pendidikan Dasar, tapi sayang pas hari-hari terakhir Diksar, dia jatuh sakit dan disuruh pulang oleh pembimbingnya. Namun dia gak menyerah sampai di situ. Suatu saat nanti, dia mau mengikuti lagi tes masuk Wanadri. Dia ngajakin gue daftar bareng Wanadri. Buaaahhh, pengen ikut sih. . . tapi gue kan gak bisa berenang! Kalau nanti pas tes berenang harus bisa lolos dari tangkapan buaya, jelas gue duluan yang dimakan tuh hewan predator. Dan gue pulang tinggal sisa-sisa tulang doang.

Senin, 17 Desember 2012
Sepiring nasi ketan hitam campur pisang kipas dan teh manis menambah ajib mulut di pagi ini. Pagi ini Meri mau ngajak gue jalan-jalan ke Nagari Pariangan. Nagari di sini bukan artinya negara, tapi bisa dibilang sebuah desa gitu. Pariangan merupakan desa tertua di Sumatera Barat dan bisa ditempuh dengan mengambil jalur lintas ke arah Padang Panjang dengan jarak hanya 15 km dari Batusangkar ke desa tersebut.
sarapan di pagi ini

Di tengah perjalanan, Meri ngajak gue mampir ke Balairung Sari, sebuah tempat untuk pertemuan atau musyawarah bagi masyarakat gitu. Mungkin bisa juga disebut dengan balai adat. Dari jalan utama kami berbelok ke arah kiri dan gak jauh dari situ, sampailah gue di tempat tersebut. Tempatnya mirip saung-saung gitu namun panjang beratap Gonjong. Di belakangnya ada kolam-kolam gitu dan terlihat sebuah jembatan penghubung menuju ke saung kecil yang berada di tengah kolam. Katanya, di sanalah tempat untuk para tetua adat yang akan memulai musyawarah. Kayak semacam moderator dan pembicaranya kali yak?
balairung sari

Sejak turun dari motor, Meri sibuk bolak-balik jungkir balik moto-motoin bangunan adat tersebut. Gue minta tolong motoin aja, dicuekin. Maklum, dia baru beli Kamera DSLR yang dia beri nama "Si Cano". Susah kalo punya mainan baru. Gak bisa diganggu, anteng sendiri, punya dunia sendiri, lama-lama kelihatan autis *ditendang Meri nyampe nyungsruk*.

Narsis di teras Balairung Sari

Siang ini terik matahari sangat terasa. Namun semilir angin berhembus pelan membelai batang padi yang masih hijau. Sawah yang bertingkat-tingkat terhampar luas sejauh mata memandang #sok puitis. Kami sampai di suatu persimpang jalan, tepat di depan jalan masuk beraspal yang sedikit menanjak. Tidak terlihat perkampungan dari tempat kami berdiri, hanya beberapa tukang ojek yang lagi mangkal di pos. Meri agak lupa dengan jalan masuknya. Namun, adanya sebuah papan petunjuk yang memuat tulisan tentang profil desa yang berada di dalam sana membuat Meri merasa yakin kalau inilah jalan masuk menuju desa Pariangan. Lantas, kami langsung mencoba masuk ke simpang tersebut.

Jalannya terus menanjak dan menanjak rendah. Sejauh ini, tidak juga kami jumpai ciri-ciri desa tua. Sudah tidak ada lagi pemukiman di depan sana, hanya hamparan sawah yang luas dan menghijau. Kami mulai curiga dengan jalan ini. Lantas, Meri menyuruh gue berhenti untuk bertanya kepada bapak-bapak yang sedang membawa hasil buminya.
"Misi pak, dima nagari pariangan ko?"
"cie duo tigo ampek limo rendoang balado." (kalo gue gak salah denger)
Kami kembali ke bawah, karena kata si bapak, kami sudah melewati desa tersebut. Desa Pariangan berjarak 200 meter setelah simpang tukang ojek yang kami temui.

Si Biru berhenti di depan sebuah kuburan atau makam, tapi makamnya itu gak normal seperti makam-makam pada umumnya. Gila, panjang banget kuburannya! Seriusan nih!! Saking panjangnya udah mirip truk gandeng yang ditarik kereta antar provinsi. Ini sih bisa buat nguburin 10 mayat.

Kata Meri itu adalah kuburan orang zaman dulu gitu. Menurut cerita, kuburan panjang ini merupakan kuburan Datuk Tantejo Gurhano. Mungkin beliau bisa dikatakan sebagai pemuka adat sini. Tapi masih gak kebayang tingginya kayak apa tuh orang? rumahnya sebasar apa? terus toiletnya segede apa? eenya juga kayak apa? Kalau sekarang orang kayak gitu masih hidup, pasti sudah jadi tukang metikin buah kelapa #Plaks (digampar arwah om Tantejo).
 
Makam datuk Tantejo

Di sekitaran sini juga banyak rumah-rumah Gadang khas Minangkabau atau Gonjong yang sudah berumur ratusan tahun. Ciri-ciri rumah yang sudah tua adalah warna kayunya yang hitam legam. Salut dengan desain rumahnya. Sudah berumur tua tapi masih kelihatan kokoh bangunan rumahnya. Betapa telitinya orang zaman dulu membangun rumah, hasilnya tidak rusak dimakan zaman. Beda kalau sekarang, baru hitungan bulan saja sudah pada retak temboknya. Kata Meri, kalau rumah itu sudah tidak dihuni lagi sama yang punya, rumahnya tidak diperbolehkan untuk dibongkar apalagi dibakar. Nantinya rumah itu akan dibiarkan begitu saja sampai rumah itu rubuh atau rusak dengan sendirinya.
Salah satu rumah tua

Kami memasuki salah satu gang kecil. Terdengar suara gemericik air sungai yang nampak begitu segar di telinga. Perlahan, sebuah masjid terlihat. Nama Masjid Islah tertera di sebuah papan di depan masjid. Diperkirakan mesjid ini sudah ada di awal abad ke-19. Masjid ini terletak di tengah perkampungan. Di halaman masjid, kami menaiki sebuah tanjakan, menikmati pemandangan sekelilingnya. Terlihat begitu banyak bangunan-bangunan khas dan juga sungai kecil yang mengalir deras diantara bebatuan. Meri terus merekam setiap sudut perkampungan dengan Si Cano kameranya.
Masjid Islah, Masjid tertua

View dari atas

Kabupaten Tanah Datar atau nama lainnya Luhak Nan Tuo, memang di yakini sebagai asal usul orang Minangkabau, tepatnya dari Dusun Tuo Pariangan ini. Pariangan merupakan nagari di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Desa ini berada di tepi jalan yang menghubungkan Kota Batusangkar dan Kota Padang Panjang. Karena desa ini berada tidak jauh dari kaki Gunung Marapi (gunung yang masih aktif), jadi di sini juga terdapat pemandian air panas gitu, dan letaknya gak jauh dari Masjid Islah. Sampai sekarang, pemandian air panas tersebut masih digunakan warga sekitar untuk mandi dan mencuci.
welcome tu Pariangan!!!

Pukul 12.00 WIB kami kembali ke rumah. Waktunya pamitan sama keluarganya Meri. Walaupun cuma sebentar, tapi sangat begitu berkesan dengan keluarga ini, terutama ibunya Meri. Bahasa Minangnya yang cepat, dan kilat membuat gue harus mengheningkan cipta dulu 10 detik untuk bisa menelaah apa yang telah dia bicarakan. But, I like Mother.
"Makasih, Bu, sudah mau menerima saya di rumah yang sangat luar biasa nyaman dan masakannya yang ranca bana. Jadi keinget masakan Emak di rumah."
"Elok-elok di jalan, Gie. Hati-hati dijalan. Jangan lupa mampir ke sini lagi ya, Orang Gila!!!" 
"SAYA BUKAN ORANG GILAA!!!


Bersama Ibunya Meri








Rabu, 29 Oktober 2014

Lahirnya "Si Biru" dan Istana Basa


Halaman 22

Bisa membayangkan berada di dalam kereta api di Sumatera Barat, melihat pemandangan langsung ke arah Danau Singkarak dan bukit-bukit yang mengelilingnya, itu luar biasa sekali. Keindahan yang hanya ada di Sumatera Barat. 

Lintasan rel kereta api masih menemani perjalanan di sepanjang pinggiran danau Singkarak. Tugu perbatasan antara Kabupaten Solok dengan Kabupaten Tanah Datar pun terjelang setelah gue melewati hampir setengah danau. Yup, Danau Singkarak memang membentang di antara dua kabupaten tersebut. Ini merupakan kabupaten ke-14 yang telah gue lalui di Sumatera.

Tujuan gue selanjutnya adalah Batusangkar. Enam kilometer setelah melewati perbatasan, gue menemukan sebuah pertigaan setelah jembatan besi. Menurut bang Ben, setelah melewati jembatan besi, gue mesti belok ke kanan mengarah ke Batusangkar. Lantas, tanpa bertanya dan membuka atlas lagi, gue langsung mengikuti petunjuk bang Ben untuk menuju ibukota Kabupaten Tanah datar itu. Ayooooo gas terooos!!!!

Tiga provinsi dan empat belas kabupeten adalah sesuatu yang di luar dugaan. Gue gak nyangka, motor ini bisa melewati semuanya tanpa ada kendala mesin apapun. Mungkin lebih tepatnya belum ada masalah, karena perjalanan gue masih lah seumuran jagung. Namun, gue berharap keadaan si Motor akan terus baik-baik saja sampai gue mencapai garis finish di Sabang. Amin *sujud di aspal*.

Sepertinya gue belum ngasih nama buat si motor "blangsak" ini. Motor ini sudah menjadi teman seperjalanan gue sekarang, bahkan sampai sebulan kedepan nanti. Jadi, sudah sepatutnya Kuda Besi ini harus mempunyai sebuah nama yang super duper menggelegar, sampai-sampai kalau orang-orang denger namanya, kuping mereka bakalan berdarah. 

Suzuki Shogun SP 125. Itulah motor yang gue pakai untuk berkeliling Sumatera. Kira-kira nama apa yang cocok buat motor ini?? Timbul beberapa calon nama dari otak gue. Pertama adalah Suzu, awal kata dari Suzuki. Tapi udah kayak nama boyband korea aja. Lewaat. Terus yang kedua adalah Zuki. Tapi nama ini juga terdengar kampungan, udah kayak tukang supir angkot jurusan Pulogadung-Kampung Melayu. Lewaat. Selanjutnya Shogu, awal kata dari Shogun. Lumayan keren sih, tapi kebagusan ahk! gak cocok dengan penampilan dan kondisinya yang super memprihatinkan. Gue masih terus berpikir jauh memasuki alam bawah sadar #lebay. Tetiba gue teringat akan kata-kata dari bang Ben,
"Gw yakin lu sama si Biru bisa mencapai garis finish di Titik Nol Kilometer Sabang, Gi. Jaga baik-baik si Biru ini, karena dia udah jadi temen seperjalanan lu sekarang."

"Si Biru" yah!! Hemm, lumayan bagus, simpel dan mewakili keseluruhan motor. Baiklah, mulai saat ini, motor ini, Kuda Besi ini akan gue panggil dengan sebutan "Si Biru". Target kita bukan hanya Titik Nol Sabang, tapi setiap penjuru di Indonesia ini akan kita jelajahi dan kita taklukan semua, Buahahahaha. AYOOOOO, MAJUUUU TERUSS SI BIRUUUUUU!!! (Asap pekat semakin deras keluar dari knalpot Si Biru).

Si Biru. Suzuki Shogun SP 125. Motor yang gue beli (lebih tepatnya dibeliin bapak gue) pada tahun 2008 akhir, dengan status second alias bekas. Ada cerita unik gimana gue mendapatkan motor ini. Dulu, bapak gue ingin membelikan motor untuk dipakai berangkat kuliah. Gue dibebaskan memilih motor apapun yang gue mau. Lantas, segala macam tabloid gue baca, internet gue telusuri, dan iklan-iklan di tipi gue plototin untuk mencari beberapa jenis motor. Nah sewaktu di jalan, ada sebuah motor lewat di depan congor gue. Warna metalik dengan body ramping sederhana telah menghipnotis mata gue. Yup, motor itu adalah Shogun SP 125 angkatan pertama dengan striping terbaru. Gue langsung tertarik dengan motor itu, terutama dengan salah satu penumpangnya yang cantik bohay, booo!!! 

Gue langsung jatuh cinta dengan motor jenis itu. Bentuknya, stripingnya, warnanya dan segalanya yang ada di motor itu membuat gue buta dan berpaling dari motor-motor lain. Gue baru percaya kalau cinta itu benar-benar buta setelah gue melihat motor itu. Shogun dengan warna merah metalik menjadi favorit gue waktu itu. Gue dan si bapak langsung pergi ke dealer resmi untuk membeli motor tersebut. Namun ternyata dan ternyata, motor itu sudah tidak lagi diproduksi, alias tidak dijual lagi, alias stock di pabrik sudah abis. Mereka menjual Shogun SP 125 angkatan kedua yang model dan bentuknya sudah jauh berbeda dengan yang gue lihat sewaktu di jalan tempo hari. Gue disuruh membeli Shogun model terbaru tersebut, tapi gue menolaknya. Gue sudah terlanjur kecantol dengan motor yang tempo hari mencengangkan mata gue. Memang harus gue akui kalau pandangan pertama itu memang sangatlah mempesona.

Hampir semua dealer resmi di Tangerang dan sekitarnya gue singgahi. Dealer-dealer "serabutan" pun tak luput dari persinggahan gue. Namun hasilnya tetap sama. Habis. Pabrikan tidak memproduksi lagi model seperti itu. Perasaan gue jadi gak karuan. Mungkin bisa dibilang galau. Iyalah galau, hal yang sudah gue sukai, kini sudah tidak lagi diproduksi. Sebenernya masih ada sih yang menjual motor jenis itu, yaitu di dealer-dealer yang menjual motor-motor "cabutan" atau bekas. Warna Merah Metalik yang gue idam-idamkan juga terpajang. Betapa senangnya gue waktu melihat motor itu ada di dalam daftar jual toko tersebut. Namun kata si bapak, kalau di tempat kayak gini, kadang-kadang mesin motor sudah diotak-atik dan tidak orsinil lagi. Gue hanya bisa ngemut-ngemut jari bapak gue.

Galau itu merambat sampai ke alam mimpi. Gue jadi bermimpi mendapatkan Shogun SP 125. Namun di mimpi gue, warna motornya adalah biru, bukan warna merah seperti yang gue idam-idamkan. Nampak begitu nyata. Di alam mimpi, gue mengendarai motor biru itu berkeliling Jakarta dan Subang, sepertinya gue ingin memamerkan kepada semua orang kalau gue sudah jadian sama tuh motor. Namun gue sadar itu hanya hiasan tidur belaka. 
Keras kepala, mungkin itu yang bisa gue katakan untuk seorang Yogi. Bapak dan Mamak menyarankan untuk membeli motor yang lain yang masih baru fres from di open, bahkan teman-teman pun mengatakan hal serupa. "Beli aja Suzuki Ksatria atau motor gede yang kelihatan anak muda banget," kata mereka. Memang sih motor Ksatria dan motor-motor besar lainnya lebih digandrungi oleh anak muda pada waktu itu, apalagi di kampung gue hampir semua punya motor tersebut. Namun lagi-lagi gue tetap dengan pendirian gue.

Singkat kata, singkat cerita. Di saat semuanya sudah pasrah mencari, di saat semua sudah lelah. Ada dua sosok manusia datang ke rumah gue. Mereka menawarkan sebuah motor Shogun SP yang gue mau. Ah, ini mungkin buah dari kesabaran gue mencari. Pas gue liat motornya, bukan Merah Metalik yang mereka tawarkan, melainkan warna Biru Metalik. Karena sudah capek mencari ke sana ke sini, akhirnya gue membelinya. Yang penting gue bisa punya motor itu dan soal warna, bisa gue akali pakai spidol. 

Motor Shogun SP 125 Biru Metalik sudah ada di tangan gue. Sudah bisa gue peluk-peluk dan gue cipok. Gue langsung pergi ke kampus dengan motor ini, walaupun masih sering mati di tengah jalan (soalnya motornya pake kopling dan gue belom bisa pake kopling). Berkeliling Jabodetabek dan mudik ke Subang dengan "motor baru" idaman gue. Banyak orang yang berkomentar negatif tentang si biru: "Buat apa beli motor bekas? Aneh. Gak tau motor bagus, dan lain sebagainya." Tapi gue menganggap mereka hanya iri dengan semuanya. Gue cukup bangga dengan pilihan gue, terutama dengan mimpi gue yang jadi kenyataan. Makasih untuk Bapak dan Emak gue, terutama buat "Si Biru" yang udah mau nemenin gue kemana-mana.

Pukul 15.30 WIB. Lima puluh kilometer sudah perjalanan dari Kota Solok atau 18 km dari simpang jembatan besi, akhirnya gue sampai juga di Batusangkar. Gue langsung menuju ke tempat yang menjadi andalan pariwisata di sini, yaitu Istana Basa Pagaruyung. Si Biru pun gue "pecut" untuk menambah kecepatannya #Yakale kuda. Sekitar 8 km si Biru berlari, gue sudah melihat rumah Gonjong berukuran monster menyambut kedatangan gue dan si biru. "Welcome to Istana Basa Pagaruyung".

Pemandangannya sangat indah. Baru parkir motor, gue sudah disuguhi bentangan alam dengan udaranya yang sejuk. Di belakang istana nampak berdiri bukit-bukit yang dinamai Bukit Batu Patah. Katanya, dulu Istana Raja Alam ini berdiri tegak di puncak bukit tersebut. Tapi karena ada kerusuhan gitu pas zaman 1804an dan ada seseorang yang bermain-main dengan api, jadi istana tersebut terbakar hangus. Kemudian dibangun lagi masih di puncak yang sama, namun terbakar lagi. Kemudian coba dipindahkan dan didirikan kembali istana di Ranah Tanjung Bungo Pagaruyung, tapi lagi-lagi terbakar. Terus, terakhir dibangun kembali di Gudam. Daaaannnnn. . . .alhamdulillah pada zaman modern atau tepatnya tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran hebat, tapi kali ini bukan karena kesalahan manusia, melainkan akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan yang terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Batusangkar ini ludes terbakar. Yang sangat disayangkan yaitu ikut terbakarnya sebagian dokumen serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Miris banget gak sih nasib istana itu?
Pintu Gerbang Istana Pagaruyung

Bentangan alam di belakang Istana nampak segeerrr banaa!!

Di masa kerajaan, Istana Basa Pagaruyung memainkan peran ganda campuran (badminton keles campuran!). Yang pertama sebagai rumah tempat tinggal keluarga kerajaan dan yang kedua sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Minangkabau yang dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan “Rajo Alam” atau “Raja Diraja Kerajaan Minangkabau”.

Sedikit cerita, Pagaruyung menyiratkan nama sebuah kerajaan Minangkabau yang pernah berkuasa di wilayah tengah Sumatera. Dahulu dikuasai oleh kerajaan Dharmasraya, kerajaan Malayapura yang diperintah oleh raja pertama bernama Adityawarman, keturunan Jawa-Minangkabau. Namun karena gue bukan pakar sejarah, jadi untuk lebih jelasnya lagi silahkan baca buku sejarah karya Tatang.S tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Narsis dolo lah!!!

Narsis lagi

Istano Basa itu artinya istana yang besar atau agung. Istana ini merupakan obyek wisata budaya-budaya gitu dan sangat terkenal di Sumbar. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai. Puncak atapnya setinggi 60 meter dengan atap terbuat dari ijuk. Dinding bagian samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung. Pantes aja kebakaran terus, semua bahan yang dipakai untuk membangun istana berbahan dari kayu. Coba dibuat dari baja atau beton, dijamin stres tukang kulinya ngebangun istana yang arsiteknya rumit luar dalem.
istana dari belakang

taman di belakang istana pagaruyung

Objek wisata ini dilengkapi dengan surau, dan bangunan lain yang bernama Tabuah Rangkiang Patah Sambilan di samping kanan. Dinding yang terbuat dari kulit kayu tersebut dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran mempunyai falsafah, sejarah dan budaya Minangkabau. Di depan istana telah disediakan beberapa ekor kuda untuk jalan-jalan mengelilingi istana, tapi jangan lupa bayar kalau udah naik kuda. Karena gue hanya seorang gembel musafir, jadi gue lebih milih jalan kaki muter-muter di sekeliling istana. Di istana ini pun disediakan pakaian-pakaian adat minangkabau gitu, bagi yang berminat bernarsis ria ala kerajaan minang di depan istana. Tapi gue ingatkan sekali lagi. . . jangan lupa dibayar. Camkan itu!!! #Apaan seh.
Narsis ala kerajaan minang
Gagahnya Si Biru

Gak kerasa sudah jam setengah lima sore. Gue kembali lagi ke Kota Batusangkar, karena gue ingin bertemu dengan salah satu teman asli sini. Sebenarnya gue berkesempatan bertemu dengannya waktu di Kota Padang kemarin. Tapi karena dia ada kesibukan mendadak dan gue harus banting setir mencari chargeran Hape, jadi kami berdua belum sempat dipertemukan. Nah kebetulan dia hari ini lagi pulang kampung ke Batusangkar. Mudah-mudahan gue bisa ketemu dengannya, lumayan bisa nambah temen sekaligus sharing-sharing tempat menarik di Batusangkar.

Dia menyuruh gue pergi ke Lapangan Cindua Mato. Tempatnya seperti alun-alun gitu. Namun, SMS yang gue kirim sedaritadi tidak kunjung sampai. Tidak ada tanda chek-list pada pesannya. Gue terpaksa beli pulsa telepon. Pengen nangis rasanya pas gue ngasih duit ke tukang pulsa (jatah makan gue dua kali lenyap gitu aja). Sudah dipastikan sampe besok pagi, gue bakalan ngemilin pulsa SMS.

"Halo, ya, aku sekarang sedang di depan Papan Panjat Tebing," jawabnya dalam telepon. Terlihat begitu banyak sekali orang-orang yang tengah menikmati suasana sore hari di Alun-alun Cindua Mato. Bingung yang mana bentuk parasnya, karena gue belum pernah sekali pun bertemu dengannya. "Ya udah tunggu aja di situ, Gi. Aku ke sana sekarang." lanjutnya.

Seorang gadis berkerudung hitam berjalan gontai ke arah gue, dengan kamera besar menggantung di badannya. Apa ini orangnya? Lantas, ia kemudian melambaikan tangannya. 
"Welcome to Batu Sangkar, Yogie" ucapnya.
"Hay, akhirnya bisa ketemu juga, hihihi," balas gue.
"Gimana perjalanannya? Eh, kita ngobrolnya di rumah aja yu!!"

Seorang malaikat kecil telah datang menghampiri gue.