Minggu, 14 Desember 2014

Mencari Permata Di Harau

Halaman 26

Mengelilingi Lembah Harau amatlah menyenangkan. Udara yang masih segar. Hijau di mana-mana. Sangat jelas keindahan alamnya. Lembah yang ada di Kecamatan Harau ini memiliki tebing-tebing granit yang menjulang tinggi dengan bentuknya yang unik dan terjal berwarna-warni mengelilingi lembah.

Pertamax-tamax, gue yang didampingi dua 'guide cuma-cuma' ini mengunjungi sebuah air terjun. Dari pertigaan kami mengambil jalan ke arah kanan. Berbagai sarana seperti tempat duduk, jalan setapak, tempat bermain anak-anak, Mushalla, WC dan kios-kios souvenir, makanan dan minuman, bahkan tempat pacaran pun telah dibangun di objek wisata ini, untuk kemudahan dan kenikmatan para pengunjung.
Welcome to Harau

Sarasah Bunta (sarasah=air terjun). Itulah nama lokasi pertama yang kami kunjungi di Harau. Mata gue bener-bener dimanjakan dengan suasana yang tercipta. Air terjun dipadu dengan warna-warni batu kapur. Bukit-bukit menjulang. Suara keras air terjun semakin menambah takjub. Apalagi sejak gue masuk ke Lembah Harau ini, banyak banget pemandangan air terjun dari kejauhan. Menurut masyarakat setempat, di Lembah Harau terdapat sekurang-kurangnya 36 air terjun di musim penghujan. Gilee banyak amit!!! Pengen banget nyemplung ke bawah air terjun. Bertapa di selah-selah bebatuan. Tapi sayang, stok pakaian gue udah abis *membleh*.
Serasah Bunta

Puas dengan Air Terjun Bunta, kami berangkat ke jalur satunya lagi. Jalur yang kalau kita dari arah masuk tadi berbelok ke kiri dari pertigaan. Di jalur yang ini, kami bertemu dengan air terjun yang posisinya berada pas di sisi jalan. Namanya Sarasah Aka Berayun atau dalam bahasa Indonesianya Air Terjun Akar Berayun. Sama seperti sebelumnya, air terjun masih berduet dengan warna batuan kapur. Cipratan airnya sampai mengenai kulit mulus gue yang hanya numpang lewat. Cipratannya membuat kulit terasa sejuk nomnom. 
Kami terus memacu kuda besi tanpa berhenti sedetikpun di Sarasah Aka Berayun. Karena tujuan kami bukanlah air terjun itu.

Sebuah jembatan kecil menghadang laju kami. Dari situ, kami sudah bertemu dengan rumah-rumah penduduk. Jalan mendadak berubah menjadi tanah dan becek. Sesekali ban motor nyelip di lumpur yang tergenang oleh air hujan. Motor gak bisa bergerak maju. Semakin lama jalan semakin buruk saja. Kaki dan celana kami udah kotor tidak karuan. Apalagi ban motor, jangan ditanya lagi. Butek banget liatnya.
View sepanjang perjalanan

View Harau

"Mer, masih jauh gak lokasinya?" tanya gue penasaran. 
"Bentar lagi kok," ucapnya sambil mendorong motor mba Leni yang keselip lumpur.
Motor mba Leni yang matic kewalahan melawan ganasnya lumpur. Gas sudah ditarik sekuat tenaga tapi si motor hanya jalan di tempat. Ban berputar cepat di tempat tanpa bergeser sedikit pun. Semuanya kewalahan mengeluarkan motor dari jeratan lumpur ganas. Seriusan nih jalannya? Tapi mau balik lagi, udah terlanjur gupak di lumpur. Ancur-ancur sekalian deh!

Setelah melewati jalanan terakhir yang super duper buruk blusuk, sampailah kami di sebuah portal gitu. Mentok. Portal dikunci mati. Gak bisa maju lagi dengan si motor. Cukup heran melihat ada sebuah portal melintang di ujung pelosok kayak gini. Toh gak ada perumahan ataupun diskotik di depan sana. Hanya hutan.

Dari situ kami berjalan kaki masuk ke dalam hutan. Motor di parkir di depan portal. Was was juga sebenernya.  Takut kalo si Motor raib gitu aja. Soalnya sepi banget. Rumah pun nyaris gak ada. Untuk keamanan, ban motor dikunci pakai gembok. Setidaknya kalau ada yang nyolong, ban motornya gak bisa muter.
Parkir motor yang sepi

Pemandangan di sekitar lumayan indah plus serem. Sepi jek!! Cuma ada rumah pondok kayu gitu, tapi belum ada penghuninya. Dibilang rumah penduduk tapi tempatnya jauh dari keramaian. Gak mungkin banget. Dibilang cottage tapi tempatnya sepi. Udah gitu jalanan menuju ke sini ancur banget. Siapa yang mau nginep di situ coba? #Peduli amat gue.
Cotage yang aneh. Sepi.

Kembali mencari permata di Harau. Setapak demi setapak kami bertiga memasuki hutan. Entah si Meri mau ngasih supraise apaan ke kita! Karena dia penyebab ini semua. Dia yang mengajak kami pergi ke sini. Mba Leni pun baru pertama kali "nyasar" ke ujung sini. Kata Meri, dia pernah ke sini bersama teman backpacker yang lainnya, dan di dalam hutan sana ada sesuatu yang akan membuat mata kami tercengang dibuatnya. Awas aja kalau sampe gak ada yang bisa dimasukin ke kamera, gue iket di portal terus gue telanjangin #Ngancem.

Setelah beberapa lama berjalan, kami menemukan sebuah aliran sungai gitu. Bening banget airnya. Kami terus menelusuri aliran sungai. Lama kelamaan, suara gemercik air semakin deras terdengar. Kami pun melangkah menuju asal suara tersebut berada, dan. . . TARAAAAA, sampai juga di Air Terjun . . . . Apa yah namanya? Si Meri juga gak tau apa nama air terjun tersebut. Jadi gue namain aja air terjun ini "Air Terjun Blangsak", karena sepanjang perjalanan bener-bener blangsak banget, ancur, butuh tenaga ekstra dan daya tahan tubuh prima #Asal Jeplak. (Ket: Setelah dikonsultasi dengan bang Dbon, nama air terjunnya adalah Sarasah Muray bukan Sarasah Blangsak, hahaha).

Air terjunnya sih pendek gak tinggi-tinggi banget, tapi airnya itu bening bana (bana=bener). Udara di sekitar sejuk menusuk relung jiwa #Lebai. Di sekelilingnya masih terlihat bersih dan asri. Belum banyak orang yang tau dengan tempat ini. Gak seperti di tempat wisata Harau yang lain seperti Sarasah Bunta dan Aka Berayun yang sudah penuh dengan wisatawan dan bangunan-bangunan kecil. Tempat ini pas banget buat yang lagi pingin bersantai sendiri dan cocok banget kalau ada yang ingin merencanakan bunuh diri. Dijamin gak ada yang tau lo udah modar di sini.
Serasah Blangsak!!!

Harau memang dijadikan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa gitu. Lembah Harau memiliki luas 270,5 hektar. Tempat ini ditetapkan sebagai cagar alam sejak 10 Januari 1993. Di sini terdapat berbagai spesies tanaman hutan hujan tropis dataran tinggi yang dilindungi, plus sejumlah binatang langka asli Sumatera. Seakan gak mau rugi dengan perjalanan yang sudah ditempuh, kami langsung memasang pose untuk diabadikan ke dalam lensa. Mereka berdua membuka spanduk yang sengaja dibawa dari rumah bertuliskan "Couchsurfing Indonesia". Oke siap, satu, dua, tigaaa. . . Pret pret pret, jepret. Selesaiii! Waktunya pulang. 
Serasah Murai. Couchsurfing.

Sebenernya sih malay banget alias males pulang. Bukan karena air terjunnya yang indah, atau bukan kami betah disini, tapi kami males banget mengarungi lumpur ganas sekali lagi.

Di perjalanan, masih di Lembah Harau, kami berhenti di sebuah tebing tinggi gitu yang berada pas di sisi jalan. Kata Meri, di sinilah biasanya orang sering latihan Rock Climbing. Manjat-manjat tebing gitu, tapi tebingnya asli bukan bikinan kayak di GOR. Di dinding tebing banyak terlihat bercak-bercak bubuk magnesium yang menandakan kalau tebing ini memang sering digunakan latihan manjat. Pemandangan di sini juga tidak kalah kerennya. Gue beneran diapit oleh dua bukit cadas terjal dengan ketinggiannya hampir mengalahkan menara sutet.
jejak magnesium bekas panjat tebing

benteng alam

Gue sudah seperti berada di dalam benteng alam gitu. Lantas gue berteriak sekencang-kencangnya. Kata Meri bukit ini bisa memantulkan suara-suara gitu atau dalam bahasa kerennya disebut "Echo". "Hoi oi oi oi oii." Ternyata bener-bener bisa memantulkan suara. "Emak mak mak mak mak, aku ku ku ku, sudaaah dah dah dah dah, sampei pei pei pei pei, Padang pad pad pad pad paad #LOH.
Tebing Echo

Pukul 04.00 WIB. Dari tebing climbing Harau, gue berpisah dengan Meri dan mba Leni yang langsung pulang ke Batusangkar. "Sampai ketemu lagi Meri dan mba Leni. Makasih sudah mau nemenin gue jalan-jalan. Seneng bisa jalan dengan kalian." Mereka berdua pun perlahan-lahan hilang dari peredaran pandangan gue. Lantas, gue pun balik ke rumah bang Dbon. Sampai di TKP:
"Sepertinya ada yang kurang. Tapi apa yah?? . . . . TANDA TANGAAAN!! Si Meri belum TANDA TANGAAAN!! Huaaaaa!! Padahal niat ketemu dia itu mau minta tanda tangannya, tapi malah kelupaan. Dasar sib nasib." Emang sih, gue masih belum terbiasa dengan ritual baru ini. Ritual tanda tangan dari teman-teman yang telah membantu atau bertemu sepanjang perjalanan. Gak heran banyak yang terlewat. Apa guenya yang udah pikun!

Sore ini bang Dbon mau pergi ke Gunung Marapi. Mau absen dulu ke sana, katanya. Dikira lagi di sekolah, pakai absen segala! Gue pun sore ini harus pergi menuju Kota Bukittinggi. Tadinya gue mau ikut ke Gunung Marapi dengannya, tapi berhubung waktunya sudah tidak cukup lagi karena tanggal 24 gue harus sudah sampai di Sibolga, Sumatera Utara. Padahal di Sumatera Barat ini masih banyak tempat yang belum disinggahi. Tapi apa boleh buat, gue sudah terlanjur janji harus sampai di Sibolga tanggal segitu. Mungkin next, gue bisa menjamah seluruh tempat-tempat indah di Sumbar, termasuk gunung tersebut.
Setelah packing-packing, gue pamit sama keluarga bang Dbon dan gak lupa pamitan sama si kucing lucu, Pupu.

"Nih pakai aja Gi," Bang Dbon melepaskan sebuah acesoris yang menggantung di leher Pupu, kemudian memberikannya ke gue.
"Wew, serius nih, Bang. Nanti Pupu gak pakai kalung lagi dong."
"Tenang aja, gue udah buat penggantinya." Dia menunjukan kalung baru untuk Pupu dan langsung memasang di leher Pupu. 
Dan (mantan) kalung Pupu jadi milik gue. Lantas langsung gue pake di lengan sebelah kiri. Sebuah tali kecil karmantel yang menggantung sebuah batu coklat kecil berukir nama Pupu di bagian tengahnya. Dan ternyata, asesoris itu hasil karya tangan bang Dbon sendiri loh!!! Kreatif.

Tujuan gue selanjutnya adalah Kota yang paling terkenal di Sumbar. Bukittinggi. Bang Dbon ngajak berangkat bareng sampe Bukittinggi. Jalur kami memang searah. Tapi karena gue harus singgah sebentar ke daerah Guguak, jadi kami harus berpisah di simpang jalan. Padahal dia mau ngajakin gue singgah di Goa Wisata gitu di Kota Payakumbuh. Hemm, lain kali aja lah. Gue harus menemui seorang teman dulu di Guguak. Makasih bang Dbon atas kebaikannya. Ditunggu kedatangannya di Jawa terutama di Gunung Semeru dan gunung-gunung lainnya di Pulau Jawa *cipika-cipiki*.
Salam Payakumbuh

Ngapain gue ke Guguak. Ingat sama bang Ben yang di Solok itu?? Dia kan sedang menjalankan tugas di Payakumbuh nganterin Atlit Porprov. Nah, posko mereka itu berada di SMK Guguak yang kata bang Dbon agak lumayan jauh dari rumahnya. Tapi gak apa-apalah pamit sekali lagi sama bang Ben. Mumpung gue lagi ada di sini. Sekaligus biar lebih mengenal ruas-ruas jalanan di Sumbar.

Ternyata bener, lumayan jauh pake banget perjalanan ke Guguak. Udah gitu jalannya perkampungan gitu, banyak simpang, banyak cabang, jadi harus sering nanya. Sampai di TKP, cepet-cepet gue SMS bang Ben. Gak beberapa lama, dia pun keluar dengan beberapa temannya.
"Gimana Porprovnya bang Ben?"
"Lancar dong, hahaha."
Seperti biasa, dia memamerkan kepada teman-temannya, kalau gue mau pergi ke Sabang, Aceh. Mana temennya cewe semua lagi. Jadi malu. Gue disuruh bermalam bersama mereka sampai esok pagi. Tapi, gue sudah janji dengan teman di Bukittinggi kalau mau datang malam ini. 

Waktu sudah mau Magrib. Pamit sekali lagi sama bang Ben dan teman-temannya. "Sukses ya buat ke Sabangnya. Jangan lupa mampir lagi ke Solok." Teman-temannya bang Ben memberi semangat luar biasa buat gue.
Waktunya ngegas. Bergelut lagi dengan jalanan Sumbar. 

Sepertinya ada yang terlewat lagi. Hemmmm . . . . . TANDA TANGAAAN!! BANG DBON BELOM TANDA TANGAN SI BIRUUUUU!!! 
Salam Silaturahmi!!!