Rabu, 29 Oktober 2014

Lahirnya "Si Biru" dan Istana Basa


Halaman 22

Bisa membayangkan berada di dalam kereta api di Sumatera Barat, melihat pemandangan langsung ke arah Danau Singkarak dan bukit-bukit yang mengelilingnya, itu luar biasa sekali. Keindahan yang hanya ada di Sumatera Barat. 

Lintasan rel kereta api masih menemani perjalanan di sepanjang pinggiran danau Singkarak. Tugu perbatasan antara Kabupaten Solok dengan Kabupaten Tanah Datar pun terjelang setelah gue melewati hampir setengah danau. Yup, Danau Singkarak memang membentang di antara dua kabupaten tersebut. Ini merupakan kabupaten ke-14 yang telah gue lalui di Sumatera.

Tujuan gue selanjutnya adalah Batusangkar. Enam kilometer setelah melewati perbatasan, gue menemukan sebuah pertigaan setelah jembatan besi. Menurut bang Ben, setelah melewati jembatan besi, gue mesti belok ke kanan mengarah ke Batusangkar. Lantas, tanpa bertanya dan membuka atlas lagi, gue langsung mengikuti petunjuk bang Ben untuk menuju ibukota Kabupaten Tanah datar itu. Ayooooo gas terooos!!!!

Tiga provinsi dan empat belas kabupeten adalah sesuatu yang di luar dugaan. Gue gak nyangka, motor ini bisa melewati semuanya tanpa ada kendala mesin apapun. Mungkin lebih tepatnya belum ada masalah, karena perjalanan gue masih lah seumuran jagung. Namun, gue berharap keadaan si Motor akan terus baik-baik saja sampai gue mencapai garis finish di Sabang. Amin *sujud di aspal*.

Sepertinya gue belum ngasih nama buat si motor "blangsak" ini. Motor ini sudah menjadi teman seperjalanan gue sekarang, bahkan sampai sebulan kedepan nanti. Jadi, sudah sepatutnya Kuda Besi ini harus mempunyai sebuah nama yang super duper menggelegar, sampai-sampai kalau orang-orang denger namanya, kuping mereka bakalan berdarah. 

Suzuki Shogun SP 125. Itulah motor yang gue pakai untuk berkeliling Sumatera. Kira-kira nama apa yang cocok buat motor ini?? Timbul beberapa calon nama dari otak gue. Pertama adalah Suzu, awal kata dari Suzuki. Tapi udah kayak nama boyband korea aja. Lewaat. Terus yang kedua adalah Zuki. Tapi nama ini juga terdengar kampungan, udah kayak tukang supir angkot jurusan Pulogadung-Kampung Melayu. Lewaat. Selanjutnya Shogu, awal kata dari Shogun. Lumayan keren sih, tapi kebagusan ahk! gak cocok dengan penampilan dan kondisinya yang super memprihatinkan. Gue masih terus berpikir jauh memasuki alam bawah sadar #lebay. Tetiba gue teringat akan kata-kata dari bang Ben,
"Gw yakin lu sama si Biru bisa mencapai garis finish di Titik Nol Kilometer Sabang, Gi. Jaga baik-baik si Biru ini, karena dia udah jadi temen seperjalanan lu sekarang."

"Si Biru" yah!! Hemm, lumayan bagus, simpel dan mewakili keseluruhan motor. Baiklah, mulai saat ini, motor ini, Kuda Besi ini akan gue panggil dengan sebutan "Si Biru". Target kita bukan hanya Titik Nol Sabang, tapi setiap penjuru di Indonesia ini akan kita jelajahi dan kita taklukan semua, Buahahahaha. AYOOOOO, MAJUUUU TERUSS SI BIRUUUUUU!!! (Asap pekat semakin deras keluar dari knalpot Si Biru).

Si Biru. Suzuki Shogun SP 125. Motor yang gue beli (lebih tepatnya dibeliin bapak gue) pada tahun 2008 akhir, dengan status second alias bekas. Ada cerita unik gimana gue mendapatkan motor ini. Dulu, bapak gue ingin membelikan motor untuk dipakai berangkat kuliah. Gue dibebaskan memilih motor apapun yang gue mau. Lantas, segala macam tabloid gue baca, internet gue telusuri, dan iklan-iklan di tipi gue plototin untuk mencari beberapa jenis motor. Nah sewaktu di jalan, ada sebuah motor lewat di depan congor gue. Warna metalik dengan body ramping sederhana telah menghipnotis mata gue. Yup, motor itu adalah Shogun SP 125 angkatan pertama dengan striping terbaru. Gue langsung tertarik dengan motor itu, terutama dengan salah satu penumpangnya yang cantik bohay, booo!!! 

Gue langsung jatuh cinta dengan motor jenis itu. Bentuknya, stripingnya, warnanya dan segalanya yang ada di motor itu membuat gue buta dan berpaling dari motor-motor lain. Gue baru percaya kalau cinta itu benar-benar buta setelah gue melihat motor itu. Shogun dengan warna merah metalik menjadi favorit gue waktu itu. Gue dan si bapak langsung pergi ke dealer resmi untuk membeli motor tersebut. Namun ternyata dan ternyata, motor itu sudah tidak lagi diproduksi, alias tidak dijual lagi, alias stock di pabrik sudah abis. Mereka menjual Shogun SP 125 angkatan kedua yang model dan bentuknya sudah jauh berbeda dengan yang gue lihat sewaktu di jalan tempo hari. Gue disuruh membeli Shogun model terbaru tersebut, tapi gue menolaknya. Gue sudah terlanjur kecantol dengan motor yang tempo hari mencengangkan mata gue. Memang harus gue akui kalau pandangan pertama itu memang sangatlah mempesona.

Hampir semua dealer resmi di Tangerang dan sekitarnya gue singgahi. Dealer-dealer "serabutan" pun tak luput dari persinggahan gue. Namun hasilnya tetap sama. Habis. Pabrikan tidak memproduksi lagi model seperti itu. Perasaan gue jadi gak karuan. Mungkin bisa dibilang galau. Iyalah galau, hal yang sudah gue sukai, kini sudah tidak lagi diproduksi. Sebenernya masih ada sih yang menjual motor jenis itu, yaitu di dealer-dealer yang menjual motor-motor "cabutan" atau bekas. Warna Merah Metalik yang gue idam-idamkan juga terpajang. Betapa senangnya gue waktu melihat motor itu ada di dalam daftar jual toko tersebut. Namun kata si bapak, kalau di tempat kayak gini, kadang-kadang mesin motor sudah diotak-atik dan tidak orsinil lagi. Gue hanya bisa ngemut-ngemut jari bapak gue.

Galau itu merambat sampai ke alam mimpi. Gue jadi bermimpi mendapatkan Shogun SP 125. Namun di mimpi gue, warna motornya adalah biru, bukan warna merah seperti yang gue idam-idamkan. Nampak begitu nyata. Di alam mimpi, gue mengendarai motor biru itu berkeliling Jakarta dan Subang, sepertinya gue ingin memamerkan kepada semua orang kalau gue sudah jadian sama tuh motor. Namun gue sadar itu hanya hiasan tidur belaka. 
Keras kepala, mungkin itu yang bisa gue katakan untuk seorang Yogi. Bapak dan Mamak menyarankan untuk membeli motor yang lain yang masih baru fres from di open, bahkan teman-teman pun mengatakan hal serupa. "Beli aja Suzuki Ksatria atau motor gede yang kelihatan anak muda banget," kata mereka. Memang sih motor Ksatria dan motor-motor besar lainnya lebih digandrungi oleh anak muda pada waktu itu, apalagi di kampung gue hampir semua punya motor tersebut. Namun lagi-lagi gue tetap dengan pendirian gue.

Singkat kata, singkat cerita. Di saat semuanya sudah pasrah mencari, di saat semua sudah lelah. Ada dua sosok manusia datang ke rumah gue. Mereka menawarkan sebuah motor Shogun SP yang gue mau. Ah, ini mungkin buah dari kesabaran gue mencari. Pas gue liat motornya, bukan Merah Metalik yang mereka tawarkan, melainkan warna Biru Metalik. Karena sudah capek mencari ke sana ke sini, akhirnya gue membelinya. Yang penting gue bisa punya motor itu dan soal warna, bisa gue akali pakai spidol. 

Motor Shogun SP 125 Biru Metalik sudah ada di tangan gue. Sudah bisa gue peluk-peluk dan gue cipok. Gue langsung pergi ke kampus dengan motor ini, walaupun masih sering mati di tengah jalan (soalnya motornya pake kopling dan gue belom bisa pake kopling). Berkeliling Jabodetabek dan mudik ke Subang dengan "motor baru" idaman gue. Banyak orang yang berkomentar negatif tentang si biru: "Buat apa beli motor bekas? Aneh. Gak tau motor bagus, dan lain sebagainya." Tapi gue menganggap mereka hanya iri dengan semuanya. Gue cukup bangga dengan pilihan gue, terutama dengan mimpi gue yang jadi kenyataan. Makasih untuk Bapak dan Emak gue, terutama buat "Si Biru" yang udah mau nemenin gue kemana-mana.

Pukul 15.30 WIB. Lima puluh kilometer sudah perjalanan dari Kota Solok atau 18 km dari simpang jembatan besi, akhirnya gue sampai juga di Batusangkar. Gue langsung menuju ke tempat yang menjadi andalan pariwisata di sini, yaitu Istana Basa Pagaruyung. Si Biru pun gue "pecut" untuk menambah kecepatannya #Yakale kuda. Sekitar 8 km si Biru berlari, gue sudah melihat rumah Gonjong berukuran monster menyambut kedatangan gue dan si biru. "Welcome to Istana Basa Pagaruyung".

Pemandangannya sangat indah. Baru parkir motor, gue sudah disuguhi bentangan alam dengan udaranya yang sejuk. Di belakang istana nampak berdiri bukit-bukit yang dinamai Bukit Batu Patah. Katanya, dulu Istana Raja Alam ini berdiri tegak di puncak bukit tersebut. Tapi karena ada kerusuhan gitu pas zaman 1804an dan ada seseorang yang bermain-main dengan api, jadi istana tersebut terbakar hangus. Kemudian dibangun lagi masih di puncak yang sama, namun terbakar lagi. Kemudian coba dipindahkan dan didirikan kembali istana di Ranah Tanjung Bungo Pagaruyung, tapi lagi-lagi terbakar. Terus, terakhir dibangun kembali di Gudam. Daaaannnnn. . . .alhamdulillah pada zaman modern atau tepatnya tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran hebat, tapi kali ini bukan karena kesalahan manusia, melainkan akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan yang terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Batusangkar ini ludes terbakar. Yang sangat disayangkan yaitu ikut terbakarnya sebagian dokumen serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Miris banget gak sih nasib istana itu?
Pintu Gerbang Istana Pagaruyung

Bentangan alam di belakang Istana nampak segeerrr banaa!!

Di masa kerajaan, Istana Basa Pagaruyung memainkan peran ganda campuran (badminton keles campuran!). Yang pertama sebagai rumah tempat tinggal keluarga kerajaan dan yang kedua sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Minangkabau yang dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan “Rajo Alam” atau “Raja Diraja Kerajaan Minangkabau”.

Sedikit cerita, Pagaruyung menyiratkan nama sebuah kerajaan Minangkabau yang pernah berkuasa di wilayah tengah Sumatera. Dahulu dikuasai oleh kerajaan Dharmasraya, kerajaan Malayapura yang diperintah oleh raja pertama bernama Adityawarman, keturunan Jawa-Minangkabau. Namun karena gue bukan pakar sejarah, jadi untuk lebih jelasnya lagi silahkan baca buku sejarah karya Tatang.S tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Narsis dolo lah!!!

Narsis lagi

Istano Basa itu artinya istana yang besar atau agung. Istana ini merupakan obyek wisata budaya-budaya gitu dan sangat terkenal di Sumbar. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai. Puncak atapnya setinggi 60 meter dengan atap terbuat dari ijuk. Dinding bagian samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung. Pantes aja kebakaran terus, semua bahan yang dipakai untuk membangun istana berbahan dari kayu. Coba dibuat dari baja atau beton, dijamin stres tukang kulinya ngebangun istana yang arsiteknya rumit luar dalem.
istana dari belakang

taman di belakang istana pagaruyung

Objek wisata ini dilengkapi dengan surau, dan bangunan lain yang bernama Tabuah Rangkiang Patah Sambilan di samping kanan. Dinding yang terbuat dari kulit kayu tersebut dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran mempunyai falsafah, sejarah dan budaya Minangkabau. Di depan istana telah disediakan beberapa ekor kuda untuk jalan-jalan mengelilingi istana, tapi jangan lupa bayar kalau udah naik kuda. Karena gue hanya seorang gembel musafir, jadi gue lebih milih jalan kaki muter-muter di sekeliling istana. Di istana ini pun disediakan pakaian-pakaian adat minangkabau gitu, bagi yang berminat bernarsis ria ala kerajaan minang di depan istana. Tapi gue ingatkan sekali lagi. . . jangan lupa dibayar. Camkan itu!!! #Apaan seh.
Narsis ala kerajaan minang
Gagahnya Si Biru

Gak kerasa sudah jam setengah lima sore. Gue kembali lagi ke Kota Batusangkar, karena gue ingin bertemu dengan salah satu teman asli sini. Sebenarnya gue berkesempatan bertemu dengannya waktu di Kota Padang kemarin. Tapi karena dia ada kesibukan mendadak dan gue harus banting setir mencari chargeran Hape, jadi kami berdua belum sempat dipertemukan. Nah kebetulan dia hari ini lagi pulang kampung ke Batusangkar. Mudah-mudahan gue bisa ketemu dengannya, lumayan bisa nambah temen sekaligus sharing-sharing tempat menarik di Batusangkar.

Dia menyuruh gue pergi ke Lapangan Cindua Mato. Tempatnya seperti alun-alun gitu. Namun, SMS yang gue kirim sedaritadi tidak kunjung sampai. Tidak ada tanda chek-list pada pesannya. Gue terpaksa beli pulsa telepon. Pengen nangis rasanya pas gue ngasih duit ke tukang pulsa (jatah makan gue dua kali lenyap gitu aja). Sudah dipastikan sampe besok pagi, gue bakalan ngemilin pulsa SMS.

"Halo, ya, aku sekarang sedang di depan Papan Panjat Tebing," jawabnya dalam telepon. Terlihat begitu banyak sekali orang-orang yang tengah menikmati suasana sore hari di Alun-alun Cindua Mato. Bingung yang mana bentuk parasnya, karena gue belum pernah sekali pun bertemu dengannya. "Ya udah tunggu aja di situ, Gi. Aku ke sana sekarang." lanjutnya.

Seorang gadis berkerudung hitam berjalan gontai ke arah gue, dengan kamera besar menggantung di badannya. Apa ini orangnya? Lantas, ia kemudian melambaikan tangannya. 
"Welcome to Batu Sangkar, Yogie" ucapnya.
"Hay, akhirnya bisa ketemu juga, hihihi," balas gue.
"Gimana perjalanannya? Eh, kita ngobrolnya di rumah aja yu!!"

Seorang malaikat kecil telah datang menghampiri gue.

Rabu, 22 Oktober 2014

Perpisahan di Solok

Halaman 21

Minggu, 16 Desember 2012
Pagi ini gue harus pergi ke daerah Tanjung Paku, ke tempat bekas penelitian dulu selain di KTK. Gue pingin ketemu dengan seseorang yang dulu pernah nemenin gue waktu mencari data ke setiap rumah. Uni Santi namanya. Dia adalah seorang Kader Posyandu gitu. Namun karena gue sudah lupa jalan menuju ke sana, jadi gue minta dianterin bang Ben. Lokasinya ternyata gak jauh dari rumah bang Ben, tinggal belok kiri terus belok kiri lagi, terus kanan, terus kiri, kanan lagi, mentok, sampai dah.

Setibanya di rumah uni Santi, gue langsung mengetuk pintu rumah yang berada di kawasan komplek perumahan gitu. Tapi sudah beberapa kali gue gedor-gedor sambil teriak kayak makelar tanah, tidak kunjung ada jawaban. Sepertinya penghuni di rumah ini lagi pergi semua. Sekitaran rumahnya pun sepi banget, gak ada orang yang bisa ditanya. Gue masih terus mengetuk pintu rumahnya. Tiba-tiba ada tetangganya yang keluar. 
"Mungkin lagi pergi keluar orangnya," ucapnya.
Mungkin?? Masa iya tetangganya sendiri gak tau pergi ke mana! Padahal bersebelahan dan berdempetan rumahnya #Sewot.
"Kira-kira pergi ke mana bu?? lama gak yah??" tanya gue.
"Gak tau juga yah."
"Yasudahlah, titip salam sama Uni Santi, yah bu. Bilang kalau ada orang dari Jakarta mencarinya." 

Gue dan bang Ben langsung pergi pulang. Sebenarnya ada seorang lagi Kader Posyandu yang dulu membantu kita, tapi sekarang dia sudah pindah ke Pulau Bali.

Akhirnya kita pulang tanpa hasil. Saatnya gue membersihkan diri soalnya sejak dari kemarin sore gue beluman mandi. Sampai di kamar mandi, bak airnya kosong. Semalem bang Ben lupa nyalain mesin air. Jiaaah, emang di kontrakan ini rada-rada susah air. Mesin air cuma bisa nyedot air pas malam hari doang. Kalau siang hari entah kenapa si air gak mau kesedot sama tuh mesin, mungkin air di sini pada takut sinar matahari. Akhirnya gue, bang Ben dan Abel pergi ke rumah bang Ronald untuk numpang mandi.

Seperti biasa , Bang Ronald sedang duduk santai di teras depan rumahnya. Dengan bahasa minang, bang Ben ngomong sama bang Ronald. 
"Ya udah sana mandi, Gi," ucap bang Ronald
"Bang Ben sama Abel duluan aja, saya belakangan," saut gue.

Bang Ronald ini di rumahnya jualan souvenir-souvenir gitu. Sovenir-sovenir khusus buat orang nikahan atau sunatan yang nantinya untuk dibagikan untuk para undangan. Ternyata dia itu membeli barang-barang ini dari Pasar Asemka, Jakarta. Tempat murah kalau beli-beli sovenir grosiran gitu. Kebetulan Bapaknya bekerja di Statsiun Kota Jakarta yang lumayan dekat dengan Pasar Asemka. Pantes aja pas lihat bentuk-bentuk sovenirnya, gue ngerasa familiar banget, ternyata mereka beli di Jakarta juga. Secara gue juga sering beli sovenir di situ.

Orang Minang memang gak lepas dari berjualan atau berwirausaha. Sudah sebelas dua belas sama orang Cina. Di mana-mana, baik di dalam maupun di luar kampungnya, pasti jualan. Baik itu buka usaha Rumah Makan Padang, fotocopyan, jual pakaian dan perabotan di pasar kaget, buka toko sepatu serta accesoris, dan lain sebagainya. Rata-rata pasti sukses semua. Mungkin sejak dari dalam kandungan, mereka sudah diajarin hukum jual-beli sama ortunya. Atau pas lahir, mereka bukan diadzanin tapi malah dibacain tata cara berwirausaha yang baik dan benar. Tapi salut lah buat mereka-mereka ini.

Selesai mandi dan sarapan, gue bermain dengan si cantik Abel di rumah. Gabriela Abelva. Anak yang lucu berambut ikalnya. Cewe centil yang masih sekolah TK ini paling suka lagu Cherybell. Apalagi kalo pas lagi nyetel lagu Beautifull. Dia langsung ikutan bernyanyi dan bergaya layaknya anggota Cherybell. Cibi-cibi hap hap hap! Terus kalau dia lagi ngomong, gue mesti harus kudu ngelihat kamus bahasa Minang dulu. Sumpah, kecil-kecil udah pinter banget ngomong Minang. Ngidam apa yah ibunya sampai anaknya pinter bahasa Minang? Anak yang istimewaa!!! *gaya cibi-cibi*.
Gabriela Abelva

Cibi Cibi

Bang Ben meminta gue untuk nganterin dia ngambil mobil Pusling. Hari ini sampai seminggu ke depan, dia disuruh nganter dan menemani para atlit perwakilan Solok mengikuti acara Porprov atau Pekan Olahraga Tingkat Provinsi gitu, yang tahun ini diadakan di Kabupaten Lima Puluh, Sumbar. Rencananya hari Senin besok dia mau nganter ke sana, tapi karena ada perubahan jadwal jadi dimajuin berangkatnya hari ini juga. Otomatis gue harus berangkat juga hari ini. Bang Ben menyuruh gue tinggal di rumah sampai dia selesai acara. Tapi gak mungkin banget, acaranya aja masih lama selesainya dan lagi gue sudah terlalu lama di sini, makin ngerepotin mba Eva aja nanti.

Abis nganterin bang Ben, gue balik lagi ke Tanjung Paku sendirian. Siapa tahu uni Santi sudah ada di rumah. Kapan lagi gue bisa ke sini dan ketemu mereka. Sekali setahun aja gak mungkin. Sesampainya di TKP, lagi-lagi di rumahnya gak ada orang sama sekali. Nomer Hape beliau pun gue gak punya. Gue mengambil sekumpulan foto di dalam Box Motor. Foto yang gue bawa dari rumah. Foto itu sengaja gue cetak untuk dibagikan kepada orang-orang yang dulu telah membantu kami, agar mereka selalu ingat dengan kami. Termasuk foto yang gue kasih ke Amak kemarin.  

Gue menaruh dan memasukan kumpulan foto-foto tersebut lewat celah bawah pintu. Berharap pas beliau datang dan membuka pintu, beliau langsung melihat foto itu dan tahu kalau gue telah datang ke rumahnya.
Jam 13.00, saatnya bang Ben berangkat ke Lima Puluh. Gue juga harus meninggalkan keluarga kecil ini. Gue cek kembali barang-barang dalam cariel, lantas gue membawanya keluar. Tiba-tiba pas gue keluar, bang Ben sedang menuliskan sesuatu di Spakboard depan motor gue. 
"Huaaaa, kenapa dicoret-coret, Bang??" tanya gue sewot sambil menggosok-gosok tulisan mencoba menghapusnya. Ternyata dia menuliskan tanda tangannya. "Buset, pakai spidol permanen lagi!!!"
"Lu harus punya kenang-kenangan di Sumatera ini. Masa udah jauh-jauh gak ada yang bisa dikenang. Minimal lu ada kenang-kenangan tanda tangan setiap daerah yang lu singgahi nanti." 
"Heemm, Bener juga sih."
"Nih spidol buat lu." Dia melemparkan Spidolnya ke gue.
"Makasih bang Ben."

Akhirnya gue putuskan. Mulai saat ini, setiap gue singgah di suatu tempat, wajib dan atau harus ada tanda-tangan yang mewakili daerah tersebut. Tanda tangan bang Ben dengan tulisan Solok di bawahnya menjadi tanda tangan pertama yang tertulis di motor ini.

Ban Ben juga memberi sebuah kantung gitu, buat bungkus jerigen sama perentelan-perentelan yang lain. Kata bang Ben penampilan motor dan jokinya udah kayak gembel mutlak beneran. Acak-acakan, kebanyakan yang digantung di motor, gak rapih, semrawut banget dah pokoknya. Dari botol oli cadangan yang ngegantung di depan, sepatu yang ngegantung di belakang, dan di samping motor yang menggantung jerigen dekil penuh cipratan tanah.
"Namanya juga petualang gembel, hahaha," bela gue sambil tertawa. 
"Walaupun lagi ngegembel tapi jangan sampai kelihatan gembel-gembel banget. Gimana cewe mau deket ma lu kalau gak rapih begini?" ucap bang Ben sambil membungkus Jerigen dengan kantung polybag bergambar kepala tengkorak. Buset, Underground  banget! black metal. Gue malah jadi takut dikira geng motor jualan kolor nanti.

Saatnya berpisah dengan bang Ben, mba Eva dan si cantik Abel. Sedih rasanya meninggalkan mereka di saat gue udah mulai menyatu dengan keluarga kecil ini. Banyak yang gue pelajari dari keluarga sederhana ini. Gak ada yang bisa gue kasih ke mereka. Gue cuma bisa memberi salam sayang tanda pamit untuk bang Ben dan mba Eva. Untuk si cantik Abel, gue memberi sedikit uang untuk jajan. Namun, bang Ben menolaknya dan langsung memberikan lagi uang itu ke gue.
"Apa-apaan sih lu??" Dia memaksa memberikan kembali uang.
"Ini itung-itung buat ganti bensin kemarin, Bang." gue tetap menolak dengan keras kembalinya uang itu.
"Gua gak suka kalau lu ngasih-ngasih gituan. Kita itu udah kayak saudara." Kali ini bang Ben berhasil memasukan uang itu ke dalam saku jaket. Entah kenapa gue jadi terdiam pasrah.

Sekejap, gue langsung peluk bang Ben. Tubuh ini reflek begitu saja memeluk tubuhnya. Mata gue mulai bercucuran air mata. Gue coba menahannya sekuat tenaga. Namun semakin kuat gue menahan, semakin tidak bisa terbendung lagi. Air mata gue deras mengalir. Untuk pertama kalinya gue menangis seperti ini. Gue tidak malu lagi menangis di depan orang-orang. Hati ini seperti tertusuk benda tajam ketika mendengar kata "Saudara" dari mulut bang Ben. Rasanya perih sampai berlinang air mata. Isak tangis kebahagiaan. 
Sebenernya gue adalah orang yang paling benci menangis. Namun saat ini, gue tidak berhasil melanjutkan kebencian itu. Gue menangis terbawa suasana kekeluargaan.

"Terima kasih bang ben atas kebaikannya. Maaf udah ngerepotin. Maaf gak bisa ngasih apa-apa," gue terus mengucapkan terima kasih sama keluarga yang teristimewa ini.
"Udah jangan nangis lagi. Maaf juga kalau jamuannya kurang. Kapan-kapan pasti bisa ketemu lagi," jawab mba Eva dengan mata yang mulai memerah.
"Pulang dari Sabang wajib mampir lagi ke sini," ucap bang Ben sambil menepuk bahu gue.
Gue cuma bisa bilang "Pasti". Karena rute pulang sebenarnya adalah melalui Jalur Lintas Timur. Riau-Jambi-Sumsel. Jadi gak bakal lewat Sumatera Barat lagi. 

Hari yang sangat menyedihkan. Perpisahan yang sangat menyebalkan. Inikah yang dinamakan indahnya persaudaraan. Perasaan yang belum gue dapatkan ketika di rumah sendiri. Berat rasanya harus meninggalkan keluarga ini. Tapi perjalanan masih terlalu panjang. Masih banyak yang harus gue lakukan di luar sana. Gue usap air mata yang sudah membasahi wajah ini. Gue cuma bisa berdoa semoga keluarga ini tetap diberikan kesehatan serta kebahagiaan, dan di mana gue kembali suatu saat nanti, gue masih tetap melihat senyum bahagia dari mereka. 
Keluarga Baru yang Istimewa

Waktunya berangcuuuut, walaupun dalam perjalanan masih saja meneteskan air mata. "Aaaargh!! Harus kuat. Jangan cengeng begini. Masa anak cowo nangis."

Keluar dari Kota Solok, gue kembali memasuki Kabupaten Solok. Sampai di daerah Singkarak (16 km dari Kota Solok). akhirnya gue bisa bertemu dengan danau kedua setelah Danau Kembar, yang termasuk dalam 7 Danau Terluas di Sumatera. Gue melewati pinggiran hamparan air tersebut. Hembusan angin sepoi-sepoi membuat permukaan danau nampak seperti mengikuti alunan angin. Warna danau yang kebiru-tuaan, membuat gue pengen lompat dari atas pohon nyebur ke danau. Karena mengingat gue tidak bisa berenang dan sepertinya danau tersebut dalem banget, jadi gue urungkan niat tersebut. Lantas, gue berhenti di sebuah masjid pinggir danau untuk solat Dzuhur sekaligus menikmati pemandangan danau.
Kecamatan Singkarak


Panorama Singkarak
Danau Singkarak namanya. Merupakan danau terluas di Sumbar dan merupakan yang terluas kedua di Pulau Sumatera setelah Danau Toba di Sumatera Utara. Danau ini memiliki luas permukaan air mencapai 11.200 hektar dengan panjang maksimum 20 km, lebar 6,5 km, kedalaman 268 meter dan merupakan hulu Sungai Ombilin. Kira-kira sih segitu luasnya, soalnya gue pun belum sempet ngukur, dan lupa gak bawa meteran. Beneran deh, bener-bener gak sempet #Apaan Cee.

Kabupaten Solok memang dikenal dengan wisata danaunya yang tidak dimiliki daerah lain, seperti pesona Danau Kembar (Danau Diatas dan Danau Dibawah) dan Danau Singkarak. Di Gunung Talang (dekat dengan Danau Kembar), selain terlihat hamparan hijau kebun teh juga terdapat Danau Talang di bagian tengah gunung tersebut. Biasanya danau Singkarak ini sering menjadi jalur pacu balap sepeda "Tour De Singkarak". Dengan acara itu, pemerintah setempat sudah mampu menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi Kabupaten Solok. Ini yang harus ditiru oleh daerah-daerah lain.
Temen Seperjalanan gue

Luasnya danau Singkarak

Danau ini mengingatkan gue dengan teman-teman Seanuts. Dulu, setahun yang lalu, gue, Risda, Ira, dan Adis pergi menuju Bukittinggi dari Kota Solok. Gak disangka-sangka kami melewati sebuah danau yang amat luas. Bang Ben yang pada saat itu mengantar kami dengan mobil Puslingnya, berhenti di pinggiran danau untuk menikmati pemandangan sekitar. Untuk pertama kalinya kami melihat danau seluas ini. Gue sangat merindukan hari itu, hari di mana kami bisa tertawa gembira bersama, berfoto narsis ria, dan "menggila" bersama. Danau Singkarak pun menjadi saksi bisu persahabatan kami. Namun sayang, lagi-lagi kami harus berpisah. Solok pun sekali lagi harus menjadi tempat perpisahan buat kami. (Salam kangen untuk Risda, Adis dan Ira. Sukses dengan semua impian kalian).

My Team 2011 silam (Risda, Ira dan Adis

Selasa, 21 Oktober 2014

Kota Tuanya Sumatera Barat


Halaman 20

Belum jauh berangkat, tiba-tiba mobil berhenti di depan rumah dekat toko percetakan semalam. Terlihat bang Ronald sedang duduk santai sendirian di teras depan rumah. Bang Ben memanggil dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Oia, bang Ronald ini masih kerabat dekat dengan bang Ben. Ia adalah sodaranya mba Eva gitu. Jadilah kita ini Piknik Keluarga Ben dengan satu orang penyusup dari planet lain. Jarak dari Solok ke Sawahlunto itu sekitar 35 km. SAWAHLUNTOOO, tunggu kedatangan kami!!! (Api membara terpancar di kedua bola mata gue).

"Selamat Datang Di Kota Sawahlunto". Akhirnya, sampai juga di kota ke-5 di Sumatera. Dua jam perjalanan yang menyiksa gue. Aseli, gue mabok berat. Gue emang gak biasa naek mobil bagus. Apalagi jalannya berkelok-kelok, naik turun. Bawaannya mau muntah aja #orang dusun.

Sawahlunto merupakan kota tambang di Sumatera Barat. Menurut artikel yang gue baca, dimulai dengan ditemukannya cadangan batu bara pada pertengahan abad ke-19 oleh geolog Belanda bernama William Hendrik De Greve (namanya mirip tukang cakwe di eropa), Sawahlunto mulai memproduksi batu bara sejak 1892, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda membangun jalur kereta api pada tahun 1894. Selama seratus tahun lebih batu bara di Sawahlunto terus ditambang. Hingga akhirnya batu bara yang tersisa hanya bisa dieksploitasi sebagai tambang dalam saja.

Memasuki Kota, kami melewati sebuah masjid dengan menara menjulang tinggi di sampingnya. Namanya Masjid Raya Sawahlunto Nurul Islam. Kata bang Ben, dulu masjid ini adalah bangunan PLTU pertama di Sawahlunto. Tapi karena debit air sungai Batang Lunto berkurang, jadi bangunan ini disulap menjadi masjid karena kekurangan air untuk menggerakan turbin PLTU, kemudian cerobong asap atau menara yang tingginya sekitar 80 meter itu dialihfungsikan menjadi menara masjid gitu.

Kami berhenti di sebuah statsiun kereta api. Ternyata statsiun itu adalah sebuah museum kereta api gitu dan baru diresmikan pada tanggal 17 Desember 2005 oleh Bapak Jusuf Kalla yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Katanya, museum ini adalah yang pertama di Sumatera dan yang kedua di Indonesia setelah museum kereta api di Ambarawa, Semarang ibukota Jawa Tengah.
di depan museum kereta api sawahlunto
Jalur kereta api di Sawahlunto bisa tembus sampai ke Kota Padang. Pembangunan jalur kereta dari Padang menuju Sawahlunto dimulai pada masa nenek moyang gue pertama kali dapet PMS yaitu tanggal 6 Juli 1889. Dibangunnya jalur kereta ini bertujuan untuk memperlancar transportasi angkutan batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven yang sekarang dikenal dengan sebutan Teluk Bayur, Padang. Akibat menurunnya produksi batu bara sejak tahun 2000-an, aktivitas pengangkutan batu bara dengan kereta api berhenti total. Tapi di tahun 2005 sudah dihidupkan kembali sebagai museum kereta api.

Di dalam museum, kita bisa menonton sebuah film tentang sejarah pembangunan stasiun Sawahlunto. Ada juga foto-foto lama tentang stasiun di Sumbar. Tapi sayang museumnya udah tutup, jadi gue gak bisa liat-liat ke dalam. Huaa, rugi udah jauh-jauh cuma bisa lihat dari luar doang, padahal gue pengen nonton film Harry Porter di dalem (eh maaf ini bukan XXI). Kata petugasnya, museum ini buka setiap hari kecuali hari Senin (Buka jam 07.30-16.00) dengan tiket masuk 3000 untuk umum dan 2000 untuk anak-anak dan pelajar.
foto-foto kereta api tua

Gagal masuk, kami berjalan mengelilingi statsiun. Dan luar biasa banget, gue menemukan beberapa gerbong kereta tua tepat di samping statsiun. Sebuah lokomotif tua bernama Mak Itam dan Gerbong antik berwarna hijau berdiri gagah di sebuah depo lokomotif di samping kiri statsiun itu. Mak Itam itu sejenis kereta api uap yang sudah berumur ratusan tahun. Keren abis! Gue seperti berada di zaman para koboi-koboi gitu (kayak pernah ngalamin zaman koboi aja). 
depo kereta api

parkiran depan museum

foto keluarga ben bersama kereta tua "mak itam"

Museum Kereta Api Sawahlunto memang memiliki koleksi berbagai aset kereta api. Di depan statsiun juga terpajang beberapa gerbong kereta barang yang sudah berumur puluhan tahun. Beberapa rangkaian gerbong kereta dari zaman yang berbeda dan ratusan peralatan yang pernah digunakan dalam pengoperasian kereta api di masa lalu ada di sini. Dari mulai alat-alat sinyal atau komunikasi, brankas, dongkrak rel, timbangan, lonceng penjaga, baterai lokomotif dan lain sebagainya.
si kecil abel lagi begayaan

narsis dolo lah!!!

gue dan bang ronald

Sebenarnya di sini disediakan kereta wisata dari Padang Panjang - Solok - Sawahlunto. Tapi kereta wisata itu beroprasi hanya setiap hari minggu saja. Katanya, jalur kereta wisata tersebut melintasi terowongan yang disebut Lubang Kalam yang panjangnya mencapai 800 meter dan yang lebih bikin gue terus-terusan netesin iler sambil masang mupeng alias muka kepengen. Katanya kereta itu nantinya akan melewati tepian Danau Singkarak. Danau yang sudah gue incar dalam perjalanan ini. Betapa menyenangkannya kalau bisa menyaksikan danau dari dalam kereta antik. Tapi, hari ini memang bukan hari keberuntungan gue. Mungkin si Dewi Fortunanya lagi mau ngapel malam mingguan. 

Bangunan-bangunan di sekitar sini juga sangat antik, terlihat kuno-kuno gimana gitu. Selain Masjid Nurul Iman yang berada di samping museum kereta yang sangat bersejarah, dari depan museum, gue bisa melihat pemandangan pasar tua, gereja tua, orang-orang tua dan bangunan-bangunan tua lainnya, juga tulisan "SAWAHLUNTO" berwarna kuning berdiri tegak di atas salah satu bukit. Persis kayak di Holiwud-holiwud gitu. 

Letaknya yang berada di dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan yang masih ditutupi hutan lindung dari 26,5% wilayahnya menjadikan kota seluas 273,45 km² ini seperti berada pada sebuah lembah yang dikelilingi bukit. Pengen rasanya gue pergi ke atas bukit yang ada huruf-huruf Sawahlunto. Namun karena jalan ke sana sangat curam dan repot banget kalau pakai mobil, jadi lagi dan lagi cuma bisa gigit jempol kaki anjing.
agak mirip lah sama yang di holiwud

kota sawahlunto

view dari depan museum kereta api

Setengah puas di sekitaran museum, kami lanjut pergi ke tempat berikutnya. Kata bang Ben, kita akan menuju sebuah danau yang gak jauh dari pusat kota. Di perjalanan, gue melihat tiga buah menara beton yang masih berdiri kokoh. Menara itu akrab dipanggil Silo. Silo itu dulunya dipakai sebagai tempat penampungan batu bara gitu. Namun, hingga kini Silo masih berfungsi sebagai "alarm" kota. Maksudnya, alarm tersebut sebagai penanda aktivitas para pekerja tambang di Sawahlunto. Jadi si Silo itu nantinya akan menimbulkan suara sirine setiap pukul 07.00, 13.00 dan 16.00 waktu setempat. Unik banget gak sih?

Sekitar 10 km dari Museum Kereta Api, sampailah kami di danau tersebut. Sebut saja Danau Wisata Kandi. Danau Kandi adalah sebuah Danau bekas galian tambang yang terletak di Desa Salak, Kecamatan Talawi. Danau ini terbentuk karena jebolnya tanggul penahan aliran Sungai Ombilin. Oleh Pemerintahan Kota Sawahlunto, kawasan ini dijadikan sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Cerdas, dari bencana mencadi wisata. Kita memang harus bisa memanfaatkan sesuatu yang menurut sebagian orang bencana, menjadi suatu daya tarik tersendiri. Waktunya berfoto ria, pret pret pret.
Danau Kandi
Chibi chibi Abel
Puas dengan pemandangannya, kami kembali lagi ke pusat kota Sawahlunto. Kami melewati sebuah kebun binatang mini gitu, gak jauh dari danau kandi. Taman Satwa Kandi namanya. Mobil berhenti di pinggir jalan, karena si kecil Abel pengen banget melihat hewan-hewan di sana. Kebetulan salah satu kandang hewan berada persis di pinggir jalan, jadi gak usah masuk beli tiket. Tapi kalo kebun binatang mah di Jawa juga banyak keleess! Udah gak menarik lagi buat gue. Zzzzzz

Sudah puas ngelihat gajah. Kami kembali lagi ke kota karena sudah gak ada yang unik selain gajah yang bermata dua, berkuping lebar dan belalainya yang panjang (emang kayak gitu). Sampai di kota, kami berhenti di taman-taman gitu. Taman Segitiga namanya. Tempatnya rame banget, mungkin karena ini adalah malam minggu jadi banyak yang walking-walking around ke sini. Dari yang piknik keluarga seperti kita sampai yang bokinan malam mingguan bersama sang kekasih. Bikin ngiri.

Di taman, terlihat ada keramaian gitu. Penasaran dengan apa yang terjadi, gue pun menghampiri kerumunan orang tersebut. Tepat di depan gedung tua dengan menara pada bagian tengah yang bertuliskan Bukit Asam, ternyata sedang ada pertunjukan kuda lumping. Namun saya lebih tertarik dengan bangunan tua itu. Bangunan ini adalah Kantor PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin yang dibangun pada tahun 1916 dan telah ditetapkan oleh pemerintah setempat sebagai cagar budaya dan objek wisata. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak sekali berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sekarang, kota ini berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Salut!!!
Kantor Bukit Asam
Beberapa alat musik pengiring kuda lumping sangat santer menghidupkan suasana di taman. Para pemain sedang sibuk kerasukan berbagai macam hewan gaib. Ada yang kerasukan macan stres, monyet kena ayan, kuda rabies, dan hewan-hewan aneh lainnya. Si kecil Abel malah ketakutan duluan sebelum bisa foto bareng sambil ngolomohin besi karat. Akhirnya gue nonton sendirian sambil "cebok mata", ngelihat yang bening-bening (dibaca : kaca sesajen kuda lumping).

Adzan Magrib sudah mulai berkumandang. Sudah gelap, gak bisa lagi mengunjungi tempat wisata lainnya. Padahal masih ada tempat wisata keren lainnya yang wajib dikunjungi, diantaranya ada terowongan Mbah Suro dan museum-museum tua lainnya. Rugiii. Kurang puaas. Saptitank mana saptitank!! pengen gue minum tuh aer dalem septitank. Hadeeew!!! *nunduk lesu*.

Sedikit kesal sih dengan mereka. Coba gue berangkat sendiri pakai motor, bisa bebas, gak banyak waktu yang terbuang dan pasti puas banget jalan-jalannya. Namun apa mau dikata. Walau bagaimana pun mereka sudah berusaha untuk menjamu gue dengan baik, sudah mau meluangkan waktunya buat gue. Seneng juga bisa jalan-jalan sama keluarga bang Ben apalagi ngelihat Abel yang nampak gembira banget selama di perjalanan. Kekecewaan gue jadi sedikit terobati ketika melihat mereka bisa bersenang-senang bersama, tersenyum riang menyambut dan nemenin gue. Ini sudah bukan jamuan antara teman, tapi ini adalah jamuan kekeluargaan. Gak ada alasan buat gue kesal dengan mereka. Dari sini gue belajar bahwa perjalanan itu gak selamanya menuju tempat-tempat menarik, tapi dengan silaturahmi dan kebersamaan itu lah yang menjadi perjalanan lebih menarik.  

Menikmati malam minggu bersama keluarga baru di kota yang tidak pernah terpikirkan oleh gue untuk bisa sampai ke sini. Di bawah tugu patung pekerja tambang, kami bermain-main bersenang-senang di taman sembari makan jagung bakar. Lampu-lampu di malam hari nampak begitu anggun menghiasi bangunan-bangunan tua. Para pengunjung pun semakin ramai berdatangan. Andai suasana ini terus berlanjut. . . Sampai jumpa Kota Tua. Mungkin lain kali gue masih bisa bertemu lagi.
Patung Pekerja Batu bara di Taman Segitiga Sawahlunto

Sampai di rumah, Abel sudah tertidur nyenyak, yah wajar karena dia satu-satunya orang yang gak bisa diam karena terlalu senang. Gue dan bang Ben ngobrol-ngobrol sambil nonton TV di ruang depan. Bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Bang ben menyuruh gue mencari pekerjaan di sini sekaligus nyari calon istri (obrolannya udah berat), tapi gue masih harus melanjutkan impian untuk menuju garis finish di Sabang dan melihat setiap sisi Indonesia. Tapi misalkan ada cewe super cantik yang suka sama gue, bisa gue pikir ulang tawaran bang Ben tadi. 

Mata gue udah ngantuk luar biasa. Mungkin efek dari rasa lelah. Bang Ben masih terus mengoceh ngalor ngidul, namun mata gue udah gak bisa lagi dikompromi. Ocehan bang Ben malah seperti dongeng pengantar tidur buat gue. Redup dan semakin redup. Akhirnya mata gue tertutup, dan jadilah bang Ben ini ngobrol sendirian sama karung beras. 


Salam Silaturahmi

Kamis, 16 Oktober 2014

Untuk Kedua Kalinya

Halaman 19


"Jalan aja terus ke arah Terminal Lama. Gak jauh dari terminal ada Statsiun. Rumah abang dekat Statsiun Solok." Itulah pesan dari temen gue di Kota Solok.

Sampai juga di Kota Solok. Melihat jam tangan sudah menunjukan angka 20.00 WIB. Hujan sudah berhenti, tapi gue masih malas melepaskan ponco. Perempatan lampu merah ini nampak sudah tidak asing lagi buat gue. Dari lampu merah, gue berjalan lurus sampai ada sebuah masjid yang amat sangat besar menyambut. Masjid berkubah kuning terang dengan sedikit corak berwarna hijau. Masjid yang dulu masih belum selesai dibangun itu sekarang sudah terlihat cantik menawan. Hemm, bukan waktunya untuk bernostalgia!
Masjid Kota Solok

"Misi bang, Kalo arah ke Terminal Lama ke mana ya??" tanya gue kepada salah satu pemuda yang lagi jalan.
"Lurus aja, terus nanti ada perempatan belok ke kiri, nanti belok lagi kanan, terus bla bla bla bla."
"@$#@%^$^*%&^$%*&^." 
"Ya udah saya anterin ke sana," jawab Pemuda itu. Pemuda itu pun nebeng di belakang gue. Gak beberapa lama, sampailah kami di terminal kecil. 

"Lurus aja, Mas. 100 meter lagi juga sampai statsiun," ucapnya sambil menunjuk tangannya ke depan.
"Makasih bang udah mau nganterin," jawab gue. 

Gue berjalan pelan menuju statsiun sambil melihat kanan kiri jalan mencari keberadaan teman gue. Gimana kabar temen gue di sini yah, udah lama gak ketemu!

"Gieeee!!!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak. Gue menghentikan laju motor. Suara itu terdengar dari belakang sana. Gue langsung menengok ke arah suara. Ternyata itu adalah bang Ben, teman gue. 

"Akhirnya ketemu juga. Kok bisa tau kalau itu saya, Bang. Padahal saya lagi pake ponco??"
"Iyalah tau, gua sering lihat foto-foto lu di Facebook. Jadi gua hapal banget motor lu yang biru itu," ucapnya sambil tangannya menepuk-nepuk spion motor, "terus cuma lu doang yang bawa barang sebanyak ini," lanjutnya.

Hahaha, gue memang sering update foto-foto perjalanan tiap daerah yang gue lewati di Facebook pakai Hape Smartphone, dan motor gue ini sering jadi modelnya gitu. Udah gitu penampilan gue bener-bener mencolok banget dengan bawaan seabreg-abreg. Gak heran kalau gue dibilang jualan kolor.


Kira-kira begini lah costum gue kalo lagi keujanan *ngakak (foto di ambil waktu di  Sumatera Utara)

Gue dibawa ke rumah yang berada 50 meter masuk ke dalam gang sempit. Untuk pertama kalinya gue singgah di rumah bang Ben. Dia sekeluarga mengontrak di rumah ini. Istri dan anaknya dipanggil untuk menemui gue yang masih beres-beres di luar. Abel, anak yang dulu sering dia ceritakan, akhirnya bisa bertemu juga. Memang cantik dan lucu, persis seperti apa yang dulu bang Ben ceritakan. Baru aja nyampe, gue udah disuruh makan sama mba Eva, istrinya bang Ben. Dia sudah menyiapkan makanan daritadi. Ternyata kedatangan gue sudah ditunggu-tunggu oleh mereka. Hiks, jadi terharu!

Ini kedua kalinya gue datang ke Solok setelah tahun 2011 lalu mencari sesuap beras di sini. Gue sudah pernah cerita kan tentang kerjaan gue dulu. Kalau masih belum jelas, gue ceritain sedikit lagi. Gini ceritanya: Gue dulu pernah kerja Penelitian di SEANUTS. Artinya bukan "Kacang Laut" atau kacang berbentuk kuda laut. SEANUTS itu singkatan dari "ASEAN NUTRISURVEY". Kereen kan? Itu tuh penelitian tentang kesehatan gitu. Penelitiannya mencakup se-Asia Tenggara. Dan gue bekerja sebagai pencari data perwakilan dari Indonesia bersama dengan si Adis yang di Padang itu, dan dua teman gue yang lain (Risda dan Ira). Sebenarnya masih ada 13 orang lagi yang berpartisipasi dalam pencarian data. Tapi beda-beda kelompok gitu. Gue bangga banget bisa ikut berpartisipasi dalam penelitian besar ini. Lanjoot!!

Nah kerjanya itu, keliling-keliling mencari data tentang kesehatan anak-anak dari satu provinsi ke provinsi lain. Kalau di Sumatera ini, kelompok gue mendapat tugas di daerah Solok, Pekanbaru (Riau), Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir (Sumatera Selatan). Tiap daerah, kita menetap cuma sebentar. Di Solok sendiri kita cuma 10 hari. Kebetulan bang Ben bekerja jadi Driver Ambulans gitu di puskesmas. Nah, dia itu yang sering ngenterin kita pergi ke mana-mana. Jalan-jalan, anter jemput ke penginapan, belanja, nyari makan, pergi ke kamar mandi. Pokoknya kita sama bang Ben udah nyobat banget dah.

Selesai makan, gue diajak pergi ke rumah temannya. Ternyata rumah temannya itu adalah tempat percetakan undangan gitu. Bang Ben ikut bantuin temennya nyetak surat undangan. Lumayan lah buat penghasilan tambahan di rumah. Sambil nungguin bang Ben sibuk bekerja, gue mencharger Hape di komputer milik temannya, soalnya kalau di colokan biasa, lama gila penuhnya. Sampe gue tiba di bulan pun kaga bakalan keisi-isi tuh dayanya. 

Temen-temennya bang Ben ramai sekali berdatangan. Mereka lalu menggelar lapak di sebuah meja. Benda-benda kecil seperti mahyong di sebarkan di atas meja. Itu domino yang gue liat waktu di warkop di Padang kemarin. Gue dikenalin ke semua orang yang ada di situ. Dengan bahasa Minang, bang Ben menjelaskan kepada mereka kalau gue sedang keliling Sumatera menuju ke Sabang naik motor. Jadi malu. Bukan cuma di sini saja bang Ben ngenalin gue ke orang-orang. Setiap kami bertemu temannya, pasti bang Ben langsung cerita kalau gue ini lagi berpetualang pakai belalang tempur #yakalee baja hitam RX. Kayaknya bang Ben bangga banget punya temen kayak gue atau lebih tepatnya aneh. Dan tampang mereka itu spechless banget, udah kayak liat Alien yang baru keluar dari WC umum. Entah gue harus bersikap senang apa sedih.

Sabtu, 15 Desember 2012
Mata gue berasa berat banget. Padahal udah jam 9 pagi. Ini karena gue semaleman begadang nemenin bang Ben bikin undangan. Hari ini gue mau ikut pergi ke tempat kerjanya bang Ben yaitu di Puskesmas KTK. Mba Eva mengeluarkan beberapa piring berisi makanan ke ruang tamu. Seperti biasa, masakan di Sumatera selalu identik dengan cabe merah. Setiap makanan pasti merah. Rasanya juga pedes banget, apalagi kalau kena mata. Sumpah gak boong, rasain aja sendiri.

Kami berangkat menuju Puskesmas KTK. Motor gue diistirahatkan dulu untuk hari ini. Lantas, kami berdua berangkat dengan motor Satria zaman dulunya bang Ben yang nasibnya hampir sama... Ngebuuul knalpotnya. Tapi wajarlah motor 2 tax, lah kalau motor gue tulisannya doang 4 tax, kelakuannya udah mirip motor 2 tax. Berasap pekat.

Tidak ada perubahan dari puskesmas ini, juga rumah-rumah di sekitarnya, masih sama sepinya seperti dua tahun silam. KTK itu singkatan dari Kampai Tabu Kerambil, sebuah kecamatan di Lubuk Sikarah. Tempat ini dulu menjadi wilayah kerja tim gue selama 5 hari. Berjalan dari satu rumah ke rumah lain untuk mencari anak-anak dan orang tuanya, menawarkan apakah bersedia untuk di ambil datanya atau enggak. Persis kayak sales obat yang lagi nawarin panci. 
Puskesmas KTK, Kota Solok
Gue minta bang Ben untuk nganterin ke tempat Amak. Tempat dulu gue tinggal selama berkerja di Solok. Bang Ben langsung mengambil mobil dinasnya. Mobil andalannya. Mobil putih berlambang "Bhakti Husada". Gue dan bang Ben pergi dengan mobil Pusling alias Puskesmas Kelilingnya. Mobil yang dulu sering kami pakai jalan ke mana-mana. Dulu ada cerita lucu waktu kami sedang jalan-jalan malam pakai mobil ini. Di sebuah pesawahan, bang Ben sengaja menyalakan sirine mobil pusling. Seketika itu, orang-orang yang lagi pada nongkrong di pinggir jalan langsung pada ngibrit kabur terbirit-birit pas denger suara sirine. Bahkan motor yang berlawanan arah langsung muter balik lagi. Hahaha, dikiranya ada razia kali!!! Pas mereka tau kalau itu mobil pusling yang cuma iseng lewat, mereka cuma bengong dengan wajah penuh kebodohan. Sampai-sampai kepala mereka berubah jadi keledai kayak di film kartun.

Rumah Amak itu letaknya berada di belakang Rumah Sakit Umum Solok. Terlihat Amak sedang membersihkan ikan di halaman rumahnya. Gue langsung keluar dari mobil dan menghampiri beliau. Pasti si Amak kaget banget ngeliat gue. Di depan pagar gue menyapa Amak.

"Asalamualaikum Amak??"
"Walaikumsalam."
"Masih ingat gak sama saya, Amak??"
". . . . . ." Amak bengong.
10 detik kemudian "Sapa yah??" tanya Amak bingung.
"Ini saya, Yogi dari Jakarta yang dulu pernah nginep di sini," gue mencoba menjelaskan.
Amak tambah bengong.

Gue berusaha menjelaskan. Sampai bingung mu ngejelasin apa lagi, tapi si Amak masih saja lupa. Maklum umurnya memang sudah sangat tua. Mungkin memory otaknya sudah penuh sampai luber berceceran jadi gak bisa menampung kenangan lagi.

Bang Ben turun dari mobil dan menghampiri kami yang sudah sangat kebingungan.
"Eh Ben, gimana kabarnyo nih??" tanya amak kepada bang Ben.
Siaaal, giliran bang Ben langsung ingat. Oia, Amak ini sama bang Ben sudah saling kenal. Dulu Amak pernah jadi guru bang Ben sewaktu SD.
"Ini loh Amak yang dulu kerja di puskesmas, yang sering Ben antar," bang Ben mencoba meyakinkan. 

Gue mengambil sesuatu yang gue tinggalkan di dalam mobil. Lantas gue berikan kepada Amak. Mudah-mudahan ini bisa membuat memori Amak balik lagi.
"Ini Amak, foto kita dulu!!" si Amak terdiam melihat foto itu.
Beberpa jam kemudian. . . . .(Lama amat) Akhirnya si Amak ingat juga sama gue. Ternyata dia pangling ngelihat muka gue yang agak berbeda apalagi rambut gue yang sudah gondrong gak beraturan kayak abis kesetrum. Untung, gue bawa foto-foto bareng Amak waktu zaman dulu, dan untung aja gue bawa bang Ben, kalau gak, bisa-bisa gue diteriakin mau mencabuli nenek-nenek di atas usia tua renta. Amit-amit ihk!!!

Kita pun bercerita banyak, termasuk kejadian rumah Amak yang pernah kebakaran.
"HAAHH, seriusan itu Amak!! terus gimana!! gak kenapa-kenapa kan!! kok bisa!!" #Kepo Gitu.
Kata Amak, itu kejadiannya pas lagi gak ada orang di rumah. Untung keburu ketahuan tetangga, jadi gak semuanya habis terbakar. Yang hangus cuma bagian dapur dan sebuah kamar dekat dapur yang dulunya jadi tempat gue tidur. 

What the hell!! ini semakin menegaskan, kalau gue itu membawa aura negatif buat semua orang. Waktu itu gara-gara ketemu gue, hape bang Andre jatoh gak ketemu. Terus gue beli es cendol di pinggir jalan, gerobaknya langsung tiguling, jatoh ke selokan. Kayaknya gue kudu mandi kembang sambil ngemilin kemenyan biar aura negatifnya hilang. 

Amak menyuruh kami makan dan nginep di sini. Sayang kami harus pulang, karena gue berencana mau pergi ke Sawahlunto siang ini. 
"Saya pamit dulu Amak. Makasih Amak karena dulu sudah mau direpotin sama saya dan teman-teman. Amak dapat salam dari teman-teman yang lain."
"Hati-hati ya, Gi. Kapan-kapan mampir lagi ke sini."
"Pasti itu, Amak." spontan gue peluk Amak. Orang-orang yang gak akan pernah gue lupakan seumur hidup.
Gue dan Amak
Tim gue dan Amak 2011 silam

. . . . . . . .
Di perjalanan menuju puskesmas, "nanti aja ke Sawahluntonya, nunggu gw pulang kerja. Biar gw anterin ke sana."
"Emang pulang jam berapa? Gak apa-apa kalo bang Ben sibuk, saya bisa jalan sendiri ke sana."
"Gue keluar jam dua. Dah tunggu gue pulang kerja aja dulu." Paksa bang Ben.
Dalam hati gue menggerutu, "kelamaan kalau nunggu sampai dia pulang. Jam dua aja baru pulang. Mau nyampe sana jam berapa!! Hemm, tapi kalau gue tinggal, gak enak juga. Gak sopan. Gue kan cuma tamu." Gue pun menjawab, "Ya udah, gimana kata tuan rumah aja dah."
"Nah gitu dong."
. . . . .

Selesai kerja, pukul 02.30 WIB, kita berdua pergi ke tempat pamannya bang Ben. Dia berencana mau minjem mobil sama Omnya gitu buat jalan ke Sawahlunto. Gila, kayak orang tajir aja jalan pakai mobil. Tapi gak apa lah, sesekali keliling naek mobil. 

Sesampainya di TKP, rumahnya masih kelihatan sepi. Bang Ben langsung menelepon Omnya.
"Dima Om??"
". . . . . ."
"Ambo alah di rumah nih."
". . . . . ."
"Ok, ditunggu."
tuuut
Ternyata si Om masih ada di kantor. Jiaah, alamat lama kalo begini adanya!

Satu jam kemudian akhirnya pamannya datang juga (gue udah mau bunuh diri dari atas pohon). Pamannya yang berprofesi jadi guru ini ternyata mempunyai banyak sepeda ontel. Di dalam rumahnya, berjejer 13 biji ontel dengan berbagai macam rasa. . .eh tipe maksudnya. Ini sepeda dipakai semua gak yah? apa sepedanya di sewain ke tukang ojek sepeda? atau mungkin dulunya Om ini nyewain sepeda buat perang lawan penjajah?? Au ahk gelap, ngapain juga gue mikirin yang gak penting.

Bang Ben malah asik ngobrol dengan sodaranya itu. Hadeeww, keburu kemaleman dah ini mah!!! Pengen rasanya gue nendang tuh sepeda ontel terus teriak.
"Kapan Kita Berangkat, Arrrrgggh!!!"

Tapi sebelum gue melakukan hal memalukan itu, bang Ben langsung meminta ijin untuk meminjam mobilnya. Huft, legaaa. Saatnya gue teriak BERANGCUUUT!!!

Gue menyuruh bang Ben ngajak mba Eva dan Abel biar perjalanannya tambah rame. Gak seru kalau cuma kita berdua doang yang pergi. Bangku belakang pun juga masih kosong. Lantas, dia menelepon istrinya dengan bahasa Minang yang gue gak tau terjemahannya. Mungkin intinya, mereka disuruh siap-siap karena kita mau bertamasya ria. 

Ternyata gue bener, mba Eva dan Abel sudah menunggu di depan gang rumah, siap untuk jalan-jalan. Waktu sudah jam 04.00 sore. Sudah teramat sore. Gue udah gak sabar, kaki udah gatel, tangan udah kesemutan, greget banget pengen ngacak-ngacak septiteng. Gimana cerita selanjutnya! Tempat-tempat apa aja yang bakal gue temui! atau sama sekali gue tidak menemui apa-apa. Baca terus kelanjutan ceritanya walaupun gue tau kalian sudah muak dengan cerita ini. hahaha.