Selasa, 21 Oktober 2014

Kota Tuanya Sumatera Barat


Halaman 20

Belum jauh berangkat, tiba-tiba mobil berhenti di depan rumah dekat toko percetakan semalam. Terlihat bang Ronald sedang duduk santai sendirian di teras depan rumah. Bang Ben memanggil dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Oia, bang Ronald ini masih kerabat dekat dengan bang Ben. Ia adalah sodaranya mba Eva gitu. Jadilah kita ini Piknik Keluarga Ben dengan satu orang penyusup dari planet lain. Jarak dari Solok ke Sawahlunto itu sekitar 35 km. SAWAHLUNTOOO, tunggu kedatangan kami!!! (Api membara terpancar di kedua bola mata gue).

"Selamat Datang Di Kota Sawahlunto". Akhirnya, sampai juga di kota ke-5 di Sumatera. Dua jam perjalanan yang menyiksa gue. Aseli, gue mabok berat. Gue emang gak biasa naek mobil bagus. Apalagi jalannya berkelok-kelok, naik turun. Bawaannya mau muntah aja #orang dusun.

Sawahlunto merupakan kota tambang di Sumatera Barat. Menurut artikel yang gue baca, dimulai dengan ditemukannya cadangan batu bara pada pertengahan abad ke-19 oleh geolog Belanda bernama William Hendrik De Greve (namanya mirip tukang cakwe di eropa), Sawahlunto mulai memproduksi batu bara sejak 1892, dan kemudian pemerintah kolonial Belanda membangun jalur kereta api pada tahun 1894. Selama seratus tahun lebih batu bara di Sawahlunto terus ditambang. Hingga akhirnya batu bara yang tersisa hanya bisa dieksploitasi sebagai tambang dalam saja.

Memasuki Kota, kami melewati sebuah masjid dengan menara menjulang tinggi di sampingnya. Namanya Masjid Raya Sawahlunto Nurul Islam. Kata bang Ben, dulu masjid ini adalah bangunan PLTU pertama di Sawahlunto. Tapi karena debit air sungai Batang Lunto berkurang, jadi bangunan ini disulap menjadi masjid karena kekurangan air untuk menggerakan turbin PLTU, kemudian cerobong asap atau menara yang tingginya sekitar 80 meter itu dialihfungsikan menjadi menara masjid gitu.

Kami berhenti di sebuah statsiun kereta api. Ternyata statsiun itu adalah sebuah museum kereta api gitu dan baru diresmikan pada tanggal 17 Desember 2005 oleh Bapak Jusuf Kalla yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia. Katanya, museum ini adalah yang pertama di Sumatera dan yang kedua di Indonesia setelah museum kereta api di Ambarawa, Semarang ibukota Jawa Tengah.
di depan museum kereta api sawahlunto
Jalur kereta api di Sawahlunto bisa tembus sampai ke Kota Padang. Pembangunan jalur kereta dari Padang menuju Sawahlunto dimulai pada masa nenek moyang gue pertama kali dapet PMS yaitu tanggal 6 Juli 1889. Dibangunnya jalur kereta ini bertujuan untuk memperlancar transportasi angkutan batubara dari Sawahlunto ke Pelabuhan Emmahaven yang sekarang dikenal dengan sebutan Teluk Bayur, Padang. Akibat menurunnya produksi batu bara sejak tahun 2000-an, aktivitas pengangkutan batu bara dengan kereta api berhenti total. Tapi di tahun 2005 sudah dihidupkan kembali sebagai museum kereta api.

Di dalam museum, kita bisa menonton sebuah film tentang sejarah pembangunan stasiun Sawahlunto. Ada juga foto-foto lama tentang stasiun di Sumbar. Tapi sayang museumnya udah tutup, jadi gue gak bisa liat-liat ke dalam. Huaa, rugi udah jauh-jauh cuma bisa lihat dari luar doang, padahal gue pengen nonton film Harry Porter di dalem (eh maaf ini bukan XXI). Kata petugasnya, museum ini buka setiap hari kecuali hari Senin (Buka jam 07.30-16.00) dengan tiket masuk 3000 untuk umum dan 2000 untuk anak-anak dan pelajar.
foto-foto kereta api tua

Gagal masuk, kami berjalan mengelilingi statsiun. Dan luar biasa banget, gue menemukan beberapa gerbong kereta tua tepat di samping statsiun. Sebuah lokomotif tua bernama Mak Itam dan Gerbong antik berwarna hijau berdiri gagah di sebuah depo lokomotif di samping kiri statsiun itu. Mak Itam itu sejenis kereta api uap yang sudah berumur ratusan tahun. Keren abis! Gue seperti berada di zaman para koboi-koboi gitu (kayak pernah ngalamin zaman koboi aja). 
depo kereta api

parkiran depan museum

foto keluarga ben bersama kereta tua "mak itam"

Museum Kereta Api Sawahlunto memang memiliki koleksi berbagai aset kereta api. Di depan statsiun juga terpajang beberapa gerbong kereta barang yang sudah berumur puluhan tahun. Beberapa rangkaian gerbong kereta dari zaman yang berbeda dan ratusan peralatan yang pernah digunakan dalam pengoperasian kereta api di masa lalu ada di sini. Dari mulai alat-alat sinyal atau komunikasi, brankas, dongkrak rel, timbangan, lonceng penjaga, baterai lokomotif dan lain sebagainya.
si kecil abel lagi begayaan

narsis dolo lah!!!

gue dan bang ronald

Sebenarnya di sini disediakan kereta wisata dari Padang Panjang - Solok - Sawahlunto. Tapi kereta wisata itu beroprasi hanya setiap hari minggu saja. Katanya, jalur kereta wisata tersebut melintasi terowongan yang disebut Lubang Kalam yang panjangnya mencapai 800 meter dan yang lebih bikin gue terus-terusan netesin iler sambil masang mupeng alias muka kepengen. Katanya kereta itu nantinya akan melewati tepian Danau Singkarak. Danau yang sudah gue incar dalam perjalanan ini. Betapa menyenangkannya kalau bisa menyaksikan danau dari dalam kereta antik. Tapi, hari ini memang bukan hari keberuntungan gue. Mungkin si Dewi Fortunanya lagi mau ngapel malam mingguan. 

Bangunan-bangunan di sekitar sini juga sangat antik, terlihat kuno-kuno gimana gitu. Selain Masjid Nurul Iman yang berada di samping museum kereta yang sangat bersejarah, dari depan museum, gue bisa melihat pemandangan pasar tua, gereja tua, orang-orang tua dan bangunan-bangunan tua lainnya, juga tulisan "SAWAHLUNTO" berwarna kuning berdiri tegak di atas salah satu bukit. Persis kayak di Holiwud-holiwud gitu. 

Letaknya yang berada di dataran tinggi yang merupakan bagian dari Bukit Barisan yang masih ditutupi hutan lindung dari 26,5% wilayahnya menjadikan kota seluas 273,45 km² ini seperti berada pada sebuah lembah yang dikelilingi bukit. Pengen rasanya gue pergi ke atas bukit yang ada huruf-huruf Sawahlunto. Namun karena jalan ke sana sangat curam dan repot banget kalau pakai mobil, jadi lagi dan lagi cuma bisa gigit jempol kaki anjing.
agak mirip lah sama yang di holiwud

kota sawahlunto

view dari depan museum kereta api

Setengah puas di sekitaran museum, kami lanjut pergi ke tempat berikutnya. Kata bang Ben, kita akan menuju sebuah danau yang gak jauh dari pusat kota. Di perjalanan, gue melihat tiga buah menara beton yang masih berdiri kokoh. Menara itu akrab dipanggil Silo. Silo itu dulunya dipakai sebagai tempat penampungan batu bara gitu. Namun, hingga kini Silo masih berfungsi sebagai "alarm" kota. Maksudnya, alarm tersebut sebagai penanda aktivitas para pekerja tambang di Sawahlunto. Jadi si Silo itu nantinya akan menimbulkan suara sirine setiap pukul 07.00, 13.00 dan 16.00 waktu setempat. Unik banget gak sih?

Sekitar 10 km dari Museum Kereta Api, sampailah kami di danau tersebut. Sebut saja Danau Wisata Kandi. Danau Kandi adalah sebuah Danau bekas galian tambang yang terletak di Desa Salak, Kecamatan Talawi. Danau ini terbentuk karena jebolnya tanggul penahan aliran Sungai Ombilin. Oleh Pemerintahan Kota Sawahlunto, kawasan ini dijadikan sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Cerdas, dari bencana mencadi wisata. Kita memang harus bisa memanfaatkan sesuatu yang menurut sebagian orang bencana, menjadi suatu daya tarik tersendiri. Waktunya berfoto ria, pret pret pret.
Danau Kandi
Chibi chibi Abel
Puas dengan pemandangannya, kami kembali lagi ke pusat kota Sawahlunto. Kami melewati sebuah kebun binatang mini gitu, gak jauh dari danau kandi. Taman Satwa Kandi namanya. Mobil berhenti di pinggir jalan, karena si kecil Abel pengen banget melihat hewan-hewan di sana. Kebetulan salah satu kandang hewan berada persis di pinggir jalan, jadi gak usah masuk beli tiket. Tapi kalo kebun binatang mah di Jawa juga banyak keleess! Udah gak menarik lagi buat gue. Zzzzzz

Sudah puas ngelihat gajah. Kami kembali lagi ke kota karena sudah gak ada yang unik selain gajah yang bermata dua, berkuping lebar dan belalainya yang panjang (emang kayak gitu). Sampai di kota, kami berhenti di taman-taman gitu. Taman Segitiga namanya. Tempatnya rame banget, mungkin karena ini adalah malam minggu jadi banyak yang walking-walking around ke sini. Dari yang piknik keluarga seperti kita sampai yang bokinan malam mingguan bersama sang kekasih. Bikin ngiri.

Di taman, terlihat ada keramaian gitu. Penasaran dengan apa yang terjadi, gue pun menghampiri kerumunan orang tersebut. Tepat di depan gedung tua dengan menara pada bagian tengah yang bertuliskan Bukit Asam, ternyata sedang ada pertunjukan kuda lumping. Namun saya lebih tertarik dengan bangunan tua itu. Bangunan ini adalah Kantor PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin yang dibangun pada tahun 1916 dan telah ditetapkan oleh pemerintah setempat sebagai cagar budaya dan objek wisata. Di kota yang didirikan pada tahun 1888 ini, banyak sekali berdiri bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda. Sekarang, kota ini berkembang menjadi kota wisata tua yang multi etnik, sehingga menjadi salah satu kota tua terbaik di Indonesia. Salut!!!
Kantor Bukit Asam
Beberapa alat musik pengiring kuda lumping sangat santer menghidupkan suasana di taman. Para pemain sedang sibuk kerasukan berbagai macam hewan gaib. Ada yang kerasukan macan stres, monyet kena ayan, kuda rabies, dan hewan-hewan aneh lainnya. Si kecil Abel malah ketakutan duluan sebelum bisa foto bareng sambil ngolomohin besi karat. Akhirnya gue nonton sendirian sambil "cebok mata", ngelihat yang bening-bening (dibaca : kaca sesajen kuda lumping).

Adzan Magrib sudah mulai berkumandang. Sudah gelap, gak bisa lagi mengunjungi tempat wisata lainnya. Padahal masih ada tempat wisata keren lainnya yang wajib dikunjungi, diantaranya ada terowongan Mbah Suro dan museum-museum tua lainnya. Rugiii. Kurang puaas. Saptitank mana saptitank!! pengen gue minum tuh aer dalem septitank. Hadeeew!!! *nunduk lesu*.

Sedikit kesal sih dengan mereka. Coba gue berangkat sendiri pakai motor, bisa bebas, gak banyak waktu yang terbuang dan pasti puas banget jalan-jalannya. Namun apa mau dikata. Walau bagaimana pun mereka sudah berusaha untuk menjamu gue dengan baik, sudah mau meluangkan waktunya buat gue. Seneng juga bisa jalan-jalan sama keluarga bang Ben apalagi ngelihat Abel yang nampak gembira banget selama di perjalanan. Kekecewaan gue jadi sedikit terobati ketika melihat mereka bisa bersenang-senang bersama, tersenyum riang menyambut dan nemenin gue. Ini sudah bukan jamuan antara teman, tapi ini adalah jamuan kekeluargaan. Gak ada alasan buat gue kesal dengan mereka. Dari sini gue belajar bahwa perjalanan itu gak selamanya menuju tempat-tempat menarik, tapi dengan silaturahmi dan kebersamaan itu lah yang menjadi perjalanan lebih menarik.  

Menikmati malam minggu bersama keluarga baru di kota yang tidak pernah terpikirkan oleh gue untuk bisa sampai ke sini. Di bawah tugu patung pekerja tambang, kami bermain-main bersenang-senang di taman sembari makan jagung bakar. Lampu-lampu di malam hari nampak begitu anggun menghiasi bangunan-bangunan tua. Para pengunjung pun semakin ramai berdatangan. Andai suasana ini terus berlanjut. . . Sampai jumpa Kota Tua. Mungkin lain kali gue masih bisa bertemu lagi.
Patung Pekerja Batu bara di Taman Segitiga Sawahlunto

Sampai di rumah, Abel sudah tertidur nyenyak, yah wajar karena dia satu-satunya orang yang gak bisa diam karena terlalu senang. Gue dan bang Ben ngobrol-ngobrol sambil nonton TV di ruang depan. Bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Bang ben menyuruh gue mencari pekerjaan di sini sekaligus nyari calon istri (obrolannya udah berat), tapi gue masih harus melanjutkan impian untuk menuju garis finish di Sabang dan melihat setiap sisi Indonesia. Tapi misalkan ada cewe super cantik yang suka sama gue, bisa gue pikir ulang tawaran bang Ben tadi. 

Mata gue udah ngantuk luar biasa. Mungkin efek dari rasa lelah. Bang Ben masih terus mengoceh ngalor ngidul, namun mata gue udah gak bisa lagi dikompromi. Ocehan bang Ben malah seperti dongeng pengantar tidur buat gue. Redup dan semakin redup. Akhirnya mata gue tertutup, dan jadilah bang Ben ini ngobrol sendirian sama karung beras. 


Salam Silaturahmi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar