Selasa, 07 Oktober 2014

Wisata Legenda Kota Padang


Halaman 16

Hari ini kota Padang sangat terik disinarnya oleh matahari. Dan karena kesotoyan gue, jadilah gue ini sate ubur-ubur kesasar di kota. Gue mengambil jalur berbeda dari jalur awal gue datang ke rumah Adis. Niatnya sih biar lebih mengenal jalanan di Kota Padang. Tapi hasilnya bisa ditebak sendiri lah... Nyasar.

Di perjalanan, tak sengaja gue menemukan sebuah pertigaan yang mengarah ke sebuah tempat wisata yang cukup terkenal di Padang, yaitu batu Malin Kundang. Cakep. Dari jalur lintas utama, gue langsung ambil jalur kiri menuju tempat wisata yang sangat terkenal itu. Tadinya gue mau pulang dulu dan pergi jalan-jalannya sama teman-teman yang lain, tapi gue takut ngerepotin, secara mereka sekarang lagi pada sibuk ujian, terus nanti jadi bolak-balik juga. 

Si Biru gue pacu lebih kuat, berusaha menaiki sebuah bukit kecil. Kemudian turunan panjang pun terjelang. Mesin motor gue matikan untuk menuruni tanjakan. Swing, seperti naik roler coster. Terlihat lautan luas dengan pantai-pantainya sudah sangat dekat. Di depan gue sekarang sudah nampak papan bertuliskan "Batu Malin Kundang berjarak 100 meter" lagi ke arah kanan, tapi gue lebih memilih jalan lurus terus. Siapa tau gue bisa menemukan tempat yang lebih bagus di depan sana. 

Sekitar 20 km dari jalur lintas, gue sudah tiba di ujung jalan. Gak ada lagi jalan terusan alias buntu. Suasananya nampak sepi. Apa gue nyasar? Gak ada orang yang bisa ditanyai. Gue beranikan diri meyusuri jalan setapak. Gue parkir motor di depan sebuah rumah. Gue terus berjalan mengikuti jalan tanah setapak. Semakin dalam gue masuk, suasananya semakin ramai. Akhirnya ada orang juga yang bisa gue tanya. Gue mendekati sekumpulan emak-emak yang lagi ngegosip ria di bawah pohon kelapa. Ternyata gue tidak salah sasaran. Gue berada di jalan yang benar menuju pantai.
Kira-kira beginilah ujung jalan itu.

Di depan gue sekarang adalah pantai dan laut yang luas. Kiri kanan gue, banyak orang-orang yang berjualan souvenir-souvenir ala tempat wisata di sisi jalan. Suasananya makin ramai dengan orang-orang yang sedang menikmati pemandangan sekitar. Terlihat sebuah patung-patung berbentuk puing-puing kapal karam, ada yang bentuknya tali-tali, gentong-gentong, keramik pecah, dan. . . . Jangan-jangan ini??? Huaaaa, ini dia patung Maling Kundang yang durjanah itu!!! Ternyata di sini lah letak batu Malin Kundang lagi guling-guling di pasir. Tripod langsung gue pasang, kamera dalam keadaan timer,  muka udah dicuci pakai aer aqua, rambut pun juga demikian. Waktunya gue bernarsis ria. Jepret pret pret.

Puing-puing kapal Malin Kundang

Nampak di belakang ada pulau kecil. Pulau Pisang Kecil

Patung Malin Kundang sang anak durjana...eh durhaka deng!!!
Batu Malin Kundang adalah sebuah batu yang menyerupai manusia tertelungkup atau sujud-sujud di pantai gitu. Menurut masyarakat sekitar, batu tersebut diyakini sebagai Malin Kundang yang telah dikutuk oleh ibunya. (Malin Kundang adalah karakter dalam dongeng yang berubah menjadi batu setelah durhaka sama ibunya). Nah yang puing-puing kapal tadi itu adalah kapal yang dulu dipakai Uda Malin Kundang berlayar di lautan. Berdasarkan cerita, Malin Kundang dikutuk oleh ibunya karena tidak mengakui ibunya sendiri setelah bepergian ke daerah lain dan menjadi seorang yang kaya raya (Untuk adik-adik di rumah, jangan sampai durhaka sama orang tua yah! Jangan seperti om Malin, nanti kalian bisa dikutuk jadi batu nisan).
Lin Malin, coba kau tak durhaka sama ibu mu!!! gak akan jadi batu kau sekarang.
Batu malin kundang merupakan bagian dari objek wisata Pantai Air Manis. Pantai ini adalah tempat wisata favorit karena memiliki gelombang yang rendah dan pemandangan indah Gunung Padang. Ada juga sebuah pulau kecil bernama Pisang Kecil. Dari pagi hingga sore atau pas air laut sedang surut, kita bisa berjalan kaki menuju pulau tersebut. Nah kalau tadi gue mengikuti Petunjuk arah yang menandakan "batu Malin Kundang 100 meter lagi" ke arah kanan, pasti  gue akan melewati pinggiran Pantai Air Manis untuk menuju Batu Malin Kundang tersebut.

Lanjut, masih seputaran Kota Padang. Tujuan selanjutnya yaitu mencari Masjid Agung Padang. Biasanya kalau di kota besar pasti ada masjid yang menjadi kebanggaan warga setempat. Pencarian pun dimulai. Gue bertanya di mana letak masjid tersebut. Tapi mereka malah kelihatan kayak orang bingung. Masa sih di kota gak ada masjid agung? Gue yakin, pasti setiap ibukota provinsi mempunyai masjid yang unik dan mewah kayak yang gue temui di Kota Bengkulu.

Gue masih penasaran dengan masjid agung tersebut. Di sebuah ruas jalan, gue melewati sebuah bangunan yang sangat besar dan futuristic banget. Bangunannya berciri khas bangunan Minang dengan atap gonjong, tapi dengan gaya yang lebih modern. Gue pun penasaran dengan bangunan tersebut. Untuk sementara, gue buang dulu pencarian masjid agung. Lantas, gue memutar balik arah menghampiri bangunan futuristic tersebut, mencari gerbang masuk menuju ke dalam area. Dan...Eng...Ing...Eng...Ternyata eh ternyata, ketika gue sudah gak ada niat untuk mencari lagi, dia malah muncul dengan sendirinya. Yup, bangunan yang gue temui ini adalah masjid yang gue cari. Masjid besar kebanggaan warga Padang. 

Gue memasuki gerbang yang terbuat dari seng. Aneh. Kenapa pintu masuknya dari seng? Lantas, gue mengacuhkannya dan melanjutkan jalan. Tiba-tiba seorang satpam berteriak manggil gue. 
"Hooooiii, kamu. Jangan ke sana!!" Langkah gue terhenti dan berbalik menghampiri satpam yang berbadan besar itu. Dia keluar dari Pos satpam.
"Mau ngapain kamu?"
"Mau ke dalem mesjid pak?" jawab gue.
"Gak boleh masuk."
"Lhoo, kenpa pak, masjid kan dibangun untuk umum. Masa dilarang?"
"Kamu gak liat. Lagi banyak pekerja. Kalau kamu udah siap ketiban martil sih gak apa-apa," ucap satpam gerbang tersebut. Ternyata kalo gue perhatiin dengan cermat, banyak sekali kuli-kuli dan alat-alat berat di sekeliling masjid. Pantes aja aneh, pintu gerbangnya terbuat dari seng, ternyata masjidnya masih dalam tahap penyelesaian. Heemmm, pantes aja orang-orang belum pada tau. Masjidnya aja belum selesai. Makasih pak satpam, akhirnya mata gue gak jadi kelilipan paku. Entah gimana ceritanya kalo gue ke Sabang nanti dengan mata penuh dengan paku. 
Masjid Raya Kota Padang (Masih belum selesai)


Suatu saat pasti bisa sholat di dalam masjid ini. Amin

Pukul 16.00 WIB, gue kembali ke basecamp. Bang Anto langsung minjem motor gue dan kabur gitu aja. Gak beberapa lama, bang Anto sudah datang dengan membawa tebengan. Seorang wanita berkerudung. Siapa lagi nih? Tanpa sempat bertanya ini itu, bang Anto langsung ngajak gue pergi ke suatu tempat. Termasuk wanita berkerudung itu. Kami bertiga berhenti di atas sebuah jembatan yang cukup melegenda di Padang dan seantero Indonesia. Jembatan Siti Nurbaya.

Pemerintah Kota Padang memang telah mengabadikan sebuah judul novel dengan membangun sebuah jembatan yang menjadi satu-satunya penghubung antara Kota Padang dengan Bukit Gado-gado atau dikenal juga dengan nama Bukit Sentiong yang terbelah oleh Sungai Batang Arau. Jembatan ini juga menghubungkan daerah Muaro dengan kampung seberang Padang. Di bagian kiri dan kanan jembatan ini, terdapat akses untuk para pejalan kaki. Selain itu, bagian lain yang unik dari jembatan ini adalah kombinasi lampu di pinggir jembatan yang membentuk seperti Gonjong. Dari atas jembatan, gue pun bisa melihat pemandangan kota tuanya Padang serta perahu-perahu nelayan yang sedang merapat. 
Suasana Jembatan Siti Nurbaya

Sore hari seperti ini, Jembatan ini berubah fungsi menjadi sarana kongkow-kongkow bagi para muda-mudi. Di sepanjang jembatan, berjejeran orang berjualan makanan dan minuman gitu. Ada sate Padang, pisang bakar, serta aneka rasa minuman yang dapat dinikmati dan harganya pun cukup merakyat. Pas banget buat kantong para backpacker kayak gue. 

Di sekitaran jembatan Siti Nurbaya, ada lokasi yang dikisahkan sebagai kuburan Siti Nurbaya. Kata bang Anto, kuburan itu terletak di Gunung Padang yang dapat dilalui melalui jembatan ini dengan menggunakan sepeda motor maupun kendaraan roda empat sampai di kaki Gunung Padang. Dari kaki gunung itu kita harus mengikuti jalan setapak yang gak terlalu sulit untuk dilalui. Next, mungkin gue bisa mengunjungi kuburan legend tersebut.
Perahu-perahu yang bersandar di Sungai Batang Arau

Pemerintah Kota Padang memang sangat sukses mengangkat cerita legenda menjadi tempat wisata yang paling diminati para pengunjung dari dalam maupun dari luar Sumatera. Hal yang patut dicontoh oleh daerah-daerah lain di Indonesia. Sukses terus untuk pariwisata Indonesia.

Gue masih penasaran dengan kakak berkerudung nan manis itu. 
"Siapa namanya?" Gue mulai bertanya.
wajahnya tersenyum. Manis sekali. "Namaku Pici," (Kayak sebuah nama makanan yah #Itu Kue Poci. Mirip sebuah slogan yah! Pini-Pidi-Pici #Maklum orang Sunda gak bisa nulis "V"). 

Kak Pici ini lagi Backpackeran juga di Sumatera Barat, tapi dia pake pesawat gitu, bukan naik motor kayak orang stres bin benga kayak gue. Cewe asli Jawa ini sudah dua hari yang lalu berkeliling Payakumbuh, Sumbar. Dia bercerita panjang lebar tentang wisata di sana dan itu cukup membuat hati gue kepedesan sampe iler gue gak berenti netes. Semangat gue telah di racuni oleh Kak Pici. Gue jadi bertekad untuk pergi mengunjungi Payakumbuh. 

Lanjut JJS alias Jalan-Jalan Sore di Kota Padang. Dari jembatan Siti Nurbaya, kami pergi ke Pantai Padang yang letaknya gak begitu jauh. Di Pantai Padang, gak seperti pantai-pantai biasanya yang banyak pasirnya dan bisa maen air sesuka dewek. Karena ombak di sini bisa bikin kalian jadi ikan asin gak laku kalo sampe nyebur ke laut. Makanya di pinggirannya dibangun tembok penghalang ombak gitu. Kami bertiga hanya duduk-duduk di tembok itu, sambil melihat proses matahari terbenam dengan diiringi music-music pengamen jalanan. 
Sunset di Pantai Padang

Puas dengan sunset, kami pergi mencari sesuap makanan. Emang dasar perut orang Jawa, yang dicari Kak Pici tidak lain dan tidak bukan adalah bakso. Bang Anto tau di mana tempat makan bakso yang lumayan enak. Lantas, kami bertiga menuju salah satu warung bakso yang cukup besar se-padang. Tulisannya "Bakso Tono". Orang Jawa banget nih kayaknya, namanya aja berakhiran "O". Enak banget emang baksonya menurut gue, nampol banget di lidah. Dan lagi-lagi, emang rezeki mah gak ke mana. Kak Pici yang mentraktir kita semua. yeay!!

Sampai di Basecamp, mba Pici langsung bergegas ngambil tasnya di kamar. Belum sempet masuk ke rumah, gue sudah disuruh ikut nganter ke bandara. Yup, Kak Pici sekarang sudah harus balik lagi ke Jawa. Sebelumnya, kami pergi ke tempat Sherly dan langsung menciduknya. Sherly ikut bersama gue. Jalanan di Padang seketika berubah menjadi sirkuit balapan liar. Gimana enggak, jadwal penerbangan Kak Pici yaitu pukul 20.30, dan sekarang sudah pukul 19.30 lewat. Perjalanan ke bandara itu ngabisin waktu sekitar satu jam waktu normal. Karena bang Anto bukan Manusia Normal, dia sudah jauh melesat tak terlihat. Sedeng banget tuh orang. Gue tau kenapa dia ngajak Sherly ikut bareng gue, karena pasti gue bakalan ketinggalan jauh di belakang, jadi si Sherly bisa ngasih tau rute ke bandara kalau gue sampai kehilangan jejak bang Anto. Gue yang menyadari kualitas motor gue yang di bawah standart Bajaj, cuma bisa berdoa mudah-mudahan ban pesawatnya ketusuk paku. Lumayan kan jadi punya waktu banyak karena nungguin pilotnya nambal ban dulu. 

Gue dan Sherly sampai di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) sekitar pukul 20.40 WIB. Gue dan Sherly berjalan setengah berlari menuju pintu Chek-in. Telat banget nyampenya. Pasti pesawatnya udah lepas landas.
Setibanya di depan pintu chek-in. "Lhooo kok??" tanya gue heran. Bang Anto malah asik ngobrol dengan Kak Pici.
"Kok, belum berangkat? Ketinggalan pesawat yak?" tanya gue cemas. 
Mereka cuma tersenyum
"Yah, sayang banget tiket pesawatnya angus. Gara-gara saya makan baksonya kelamaan nih pasti." gue terus neyocos.
"Gak kok, Gi. Bukan salah kamu. Pesawatnya dellay." Jawab Kak Pici dengan senyumannya yang manis.
Syukurlah, doa gue terkabul juga. Pesawatnya ternyata dellay. Tapi telat bukan gara-gara ban pesawat bocor melainkan pilotnya lagi ngelapin kaca pesawat dulu. 

Sembari nunggu Kak Pici chek-in, kami ngerumpi di teras BIM. Cewe yang tinggal di Jawa Tengah ini ternyata pergi ke Padang dengan tiket promo dari salah satu maskapai penerbangan gitu. Gak tanggung-tanggung, harga tiketnya itu cuma 25.000 perak doang. Mobil Bus dari Jakarta ke Bandung aja harga tiketnya gak segitu. Ini cuma seharga kolor boxer kawe, udah bisa pulang pergi Jakarta-Padang-Jakarta alias PP. Buseeettt dah!! Murah banget. 
Tiba-tiba, suara "halo-halo" dari setiap sudut bandara sudah terdengar, pertanda pesawatnya sudah siap berangkat. 
"Aku pamit dulu yak semuanya!!"
"Hati-hati di jalan, Kak Pici. Salam buat Tugu Pancoran. Gak ada barang yang ketinggalan kan di Bescamp??" Tanya gue mastiin. Perasaan gue gak enak soalnya.
"Kalopun ada ikhlasin aja lah. Toh gak sempet lagi buat balik ke bescamp," jawab dia.
"Sampai ketemu lagi di Padang. Kalo udah sampai, kabari kita." Bang Anto kayaknya berat banget ngelepas dia pergi. Yah, siapapun pasti akan kehilangan seorang teman yang sudah sangat akrab. Apalagi kalo orang tersebut cantik dan manis kayak Kak Pici. Bener-bener berat melepasnya. Sayang dia sudah punya suami di Jawa sana #Jleb.
Tapi, kenapa gue juga berasa berat banget ditinggal kak Pici. Ah, sudahlah lupakan.
Salam Silaturahmi!!!

Pukul 23.00 WIB, gue dan bang Anto nongkrong di warung kopi deket Kampus UBH deket basecamp. Beberapa anak muda sedang asik bermain kartu domino di meja segi empat. Unik menurut gue. Dominonya itu sendiri bukan terbuat dari kertas yang cuma 2 dimensi gitu, tapi terbuat dari bahan plastik dan berbentuk 4 dimensi. Kayak main mahyong di Cina. Tak...tak...tak...Bunyi sentakan Domino di meja terdengar sangat nyaring. Gue jadi pengen nyobain maen!

Bang Anto dan gue mesan mie lontong gitu. Jadi satu bungkus mie rebus dicampur dengan irisan lontong. Satu porsinya murah dan banyak banget lagi. Kata bang Anto, menu di sini memang khusus untuk kantong-kantong para mahasiswa dan anak kos-kosan. Kita berdua makan sambil ngobrolin berbagai macam hal. Dari bang Anto, gue belajar banyak banget tentang sebuah perjalanan. Ketika gue tanya kenapa dia tidak mencoba pergi menjelajah ke luar Sumatera atau luar negeri sana. Dan dengan santai dia cuma menjawab "Aku mau melihat 'rumput' di kampung sendiri dulu sebelum aku melihat 'rumput' tetangga, Gie. Aku gak mau, ketika aku berada di kampung orang nanti dan ditanya tentang tempat-tempat wisata apa saja yang ada di kampung ku sendiri, aku takut tidak bisa jawab. Kenalilah negerimu sendiri sebelum mengenali negeri orang lain."

 Gue jadi merasa tersindir. Malu sendiri. Kalau gue ditanya tempat apa saja yang bagus di Subang atau Jawa Barat, pasti gue cuma bisa jawab Gunung Tangkuban Perahu dan selebihnya bengong. Padahal banyak banget tempat-tempat yang bagus di Jawa Barat. Yup, bang Anto bener. Kita boleh lebih terpesona akan keindahan rumput tetangga. Namun akan malu jadinya kalau ditanya tentang "rumah" sendiri malah diam seribu kebodohan. Gue berjanji, selesai perjalanan dari Sumatera ini gue akan mengeksplore "tanah" sendiri, wisata di tempat sendiri, sebelum gue mengexplore "tanah" orang lagi. 
Kenyaaang!!! *tepok-tepok perut*. Waktunya kita pulang untuk istirahat tidur. Setibanya di Basecamp. 
"CASAN HAPE ANDROID gue MANAAA??? ILANGGGGG!!!!" 
Gue acak-acak isi dalam cariel... Gak ada. Gue obrak abrik seisi kamar... Tetep gak ada. Ini sih kayaknya kebawa sama kak Pici. Matilah gue! Ternyata bukan barang dia yang ketinggalan di sini, tapi barang gue yang kebawa sama dia. Pantes perasaan gue berat ditinggal kak Pici. Aaarrrgh, terus gue ngecas pake apa??? Mana baterai hape gue udah sekarat. *mewek bebusah sambil garuk-garuk tembok*.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar