Rabu, 29 Oktober 2014

Lahirnya "Si Biru" dan Istana Basa


Halaman 22

Bisa membayangkan berada di dalam kereta api di Sumatera Barat, melihat pemandangan langsung ke arah Danau Singkarak dan bukit-bukit yang mengelilingnya, itu luar biasa sekali. Keindahan yang hanya ada di Sumatera Barat. 

Lintasan rel kereta api masih menemani perjalanan di sepanjang pinggiran danau Singkarak. Tugu perbatasan antara Kabupaten Solok dengan Kabupaten Tanah Datar pun terjelang setelah gue melewati hampir setengah danau. Yup, Danau Singkarak memang membentang di antara dua kabupaten tersebut. Ini merupakan kabupaten ke-14 yang telah gue lalui di Sumatera.

Tujuan gue selanjutnya adalah Batusangkar. Enam kilometer setelah melewati perbatasan, gue menemukan sebuah pertigaan setelah jembatan besi. Menurut bang Ben, setelah melewati jembatan besi, gue mesti belok ke kanan mengarah ke Batusangkar. Lantas, tanpa bertanya dan membuka atlas lagi, gue langsung mengikuti petunjuk bang Ben untuk menuju ibukota Kabupaten Tanah datar itu. Ayooooo gas terooos!!!!

Tiga provinsi dan empat belas kabupeten adalah sesuatu yang di luar dugaan. Gue gak nyangka, motor ini bisa melewati semuanya tanpa ada kendala mesin apapun. Mungkin lebih tepatnya belum ada masalah, karena perjalanan gue masih lah seumuran jagung. Namun, gue berharap keadaan si Motor akan terus baik-baik saja sampai gue mencapai garis finish di Sabang. Amin *sujud di aspal*.

Sepertinya gue belum ngasih nama buat si motor "blangsak" ini. Motor ini sudah menjadi teman seperjalanan gue sekarang, bahkan sampai sebulan kedepan nanti. Jadi, sudah sepatutnya Kuda Besi ini harus mempunyai sebuah nama yang super duper menggelegar, sampai-sampai kalau orang-orang denger namanya, kuping mereka bakalan berdarah. 

Suzuki Shogun SP 125. Itulah motor yang gue pakai untuk berkeliling Sumatera. Kira-kira nama apa yang cocok buat motor ini?? Timbul beberapa calon nama dari otak gue. Pertama adalah Suzu, awal kata dari Suzuki. Tapi udah kayak nama boyband korea aja. Lewaat. Terus yang kedua adalah Zuki. Tapi nama ini juga terdengar kampungan, udah kayak tukang supir angkot jurusan Pulogadung-Kampung Melayu. Lewaat. Selanjutnya Shogu, awal kata dari Shogun. Lumayan keren sih, tapi kebagusan ahk! gak cocok dengan penampilan dan kondisinya yang super memprihatinkan. Gue masih terus berpikir jauh memasuki alam bawah sadar #lebay. Tetiba gue teringat akan kata-kata dari bang Ben,
"Gw yakin lu sama si Biru bisa mencapai garis finish di Titik Nol Kilometer Sabang, Gi. Jaga baik-baik si Biru ini, karena dia udah jadi temen seperjalanan lu sekarang."

"Si Biru" yah!! Hemm, lumayan bagus, simpel dan mewakili keseluruhan motor. Baiklah, mulai saat ini, motor ini, Kuda Besi ini akan gue panggil dengan sebutan "Si Biru". Target kita bukan hanya Titik Nol Sabang, tapi setiap penjuru di Indonesia ini akan kita jelajahi dan kita taklukan semua, Buahahahaha. AYOOOOO, MAJUUUU TERUSS SI BIRUUUUUU!!! (Asap pekat semakin deras keluar dari knalpot Si Biru).

Si Biru. Suzuki Shogun SP 125. Motor yang gue beli (lebih tepatnya dibeliin bapak gue) pada tahun 2008 akhir, dengan status second alias bekas. Ada cerita unik gimana gue mendapatkan motor ini. Dulu, bapak gue ingin membelikan motor untuk dipakai berangkat kuliah. Gue dibebaskan memilih motor apapun yang gue mau. Lantas, segala macam tabloid gue baca, internet gue telusuri, dan iklan-iklan di tipi gue plototin untuk mencari beberapa jenis motor. Nah sewaktu di jalan, ada sebuah motor lewat di depan congor gue. Warna metalik dengan body ramping sederhana telah menghipnotis mata gue. Yup, motor itu adalah Shogun SP 125 angkatan pertama dengan striping terbaru. Gue langsung tertarik dengan motor itu, terutama dengan salah satu penumpangnya yang cantik bohay, booo!!! 

Gue langsung jatuh cinta dengan motor jenis itu. Bentuknya, stripingnya, warnanya dan segalanya yang ada di motor itu membuat gue buta dan berpaling dari motor-motor lain. Gue baru percaya kalau cinta itu benar-benar buta setelah gue melihat motor itu. Shogun dengan warna merah metalik menjadi favorit gue waktu itu. Gue dan si bapak langsung pergi ke dealer resmi untuk membeli motor tersebut. Namun ternyata dan ternyata, motor itu sudah tidak lagi diproduksi, alias tidak dijual lagi, alias stock di pabrik sudah abis. Mereka menjual Shogun SP 125 angkatan kedua yang model dan bentuknya sudah jauh berbeda dengan yang gue lihat sewaktu di jalan tempo hari. Gue disuruh membeli Shogun model terbaru tersebut, tapi gue menolaknya. Gue sudah terlanjur kecantol dengan motor yang tempo hari mencengangkan mata gue. Memang harus gue akui kalau pandangan pertama itu memang sangatlah mempesona.

Hampir semua dealer resmi di Tangerang dan sekitarnya gue singgahi. Dealer-dealer "serabutan" pun tak luput dari persinggahan gue. Namun hasilnya tetap sama. Habis. Pabrikan tidak memproduksi lagi model seperti itu. Perasaan gue jadi gak karuan. Mungkin bisa dibilang galau. Iyalah galau, hal yang sudah gue sukai, kini sudah tidak lagi diproduksi. Sebenernya masih ada sih yang menjual motor jenis itu, yaitu di dealer-dealer yang menjual motor-motor "cabutan" atau bekas. Warna Merah Metalik yang gue idam-idamkan juga terpajang. Betapa senangnya gue waktu melihat motor itu ada di dalam daftar jual toko tersebut. Namun kata si bapak, kalau di tempat kayak gini, kadang-kadang mesin motor sudah diotak-atik dan tidak orsinil lagi. Gue hanya bisa ngemut-ngemut jari bapak gue.

Galau itu merambat sampai ke alam mimpi. Gue jadi bermimpi mendapatkan Shogun SP 125. Namun di mimpi gue, warna motornya adalah biru, bukan warna merah seperti yang gue idam-idamkan. Nampak begitu nyata. Di alam mimpi, gue mengendarai motor biru itu berkeliling Jakarta dan Subang, sepertinya gue ingin memamerkan kepada semua orang kalau gue sudah jadian sama tuh motor. Namun gue sadar itu hanya hiasan tidur belaka. 
Keras kepala, mungkin itu yang bisa gue katakan untuk seorang Yogi. Bapak dan Mamak menyarankan untuk membeli motor yang lain yang masih baru fres from di open, bahkan teman-teman pun mengatakan hal serupa. "Beli aja Suzuki Ksatria atau motor gede yang kelihatan anak muda banget," kata mereka. Memang sih motor Ksatria dan motor-motor besar lainnya lebih digandrungi oleh anak muda pada waktu itu, apalagi di kampung gue hampir semua punya motor tersebut. Namun lagi-lagi gue tetap dengan pendirian gue.

Singkat kata, singkat cerita. Di saat semuanya sudah pasrah mencari, di saat semua sudah lelah. Ada dua sosok manusia datang ke rumah gue. Mereka menawarkan sebuah motor Shogun SP yang gue mau. Ah, ini mungkin buah dari kesabaran gue mencari. Pas gue liat motornya, bukan Merah Metalik yang mereka tawarkan, melainkan warna Biru Metalik. Karena sudah capek mencari ke sana ke sini, akhirnya gue membelinya. Yang penting gue bisa punya motor itu dan soal warna, bisa gue akali pakai spidol. 

Motor Shogun SP 125 Biru Metalik sudah ada di tangan gue. Sudah bisa gue peluk-peluk dan gue cipok. Gue langsung pergi ke kampus dengan motor ini, walaupun masih sering mati di tengah jalan (soalnya motornya pake kopling dan gue belom bisa pake kopling). Berkeliling Jabodetabek dan mudik ke Subang dengan "motor baru" idaman gue. Banyak orang yang berkomentar negatif tentang si biru: "Buat apa beli motor bekas? Aneh. Gak tau motor bagus, dan lain sebagainya." Tapi gue menganggap mereka hanya iri dengan semuanya. Gue cukup bangga dengan pilihan gue, terutama dengan mimpi gue yang jadi kenyataan. Makasih untuk Bapak dan Emak gue, terutama buat "Si Biru" yang udah mau nemenin gue kemana-mana.

Pukul 15.30 WIB. Lima puluh kilometer sudah perjalanan dari Kota Solok atau 18 km dari simpang jembatan besi, akhirnya gue sampai juga di Batusangkar. Gue langsung menuju ke tempat yang menjadi andalan pariwisata di sini, yaitu Istana Basa Pagaruyung. Si Biru pun gue "pecut" untuk menambah kecepatannya #Yakale kuda. Sekitar 8 km si Biru berlari, gue sudah melihat rumah Gonjong berukuran monster menyambut kedatangan gue dan si biru. "Welcome to Istana Basa Pagaruyung".

Pemandangannya sangat indah. Baru parkir motor, gue sudah disuguhi bentangan alam dengan udaranya yang sejuk. Di belakang istana nampak berdiri bukit-bukit yang dinamai Bukit Batu Patah. Katanya, dulu Istana Raja Alam ini berdiri tegak di puncak bukit tersebut. Tapi karena ada kerusuhan gitu pas zaman 1804an dan ada seseorang yang bermain-main dengan api, jadi istana tersebut terbakar hangus. Kemudian dibangun lagi masih di puncak yang sama, namun terbakar lagi. Kemudian coba dipindahkan dan didirikan kembali istana di Ranah Tanjung Bungo Pagaruyung, tapi lagi-lagi terbakar. Terus, terakhir dibangun kembali di Gudam. Daaaannnnn. . . .alhamdulillah pada zaman modern atau tepatnya tanggal 27 Februari 2007, Istano Basa kembali mengalami kebakaran hebat, tapi kali ini bukan karena kesalahan manusia, melainkan akibat petir yang menyambar di puncak istana. Akibatnya, bangunan yang terletak di Kecamatan Tanjung Emas, Batusangkar ini ludes terbakar. Yang sangat disayangkan yaitu ikut terbakarnya sebagian dokumen serta kain-kain hiasan. Diperkirakan hanya sekitar 15 persen barang-barang berharga yang selamat. Miris banget gak sih nasib istana itu?
Pintu Gerbang Istana Pagaruyung

Bentangan alam di belakang Istana nampak segeerrr banaa!!

Di masa kerajaan, Istana Basa Pagaruyung memainkan peran ganda campuran (badminton keles campuran!). Yang pertama sebagai rumah tempat tinggal keluarga kerajaan dan yang kedua sebagai Pusat Pemerintahan Kerajaan Minangkabau yang dipimpin oleh seorang raja yang dikenal dengan “Rajo Alam” atau “Raja Diraja Kerajaan Minangkabau”.

Sedikit cerita, Pagaruyung menyiratkan nama sebuah kerajaan Minangkabau yang pernah berkuasa di wilayah tengah Sumatera. Dahulu dikuasai oleh kerajaan Dharmasraya, kerajaan Malayapura yang diperintah oleh raja pertama bernama Adityawarman, keturunan Jawa-Minangkabau. Namun karena gue bukan pakar sejarah, jadi untuk lebih jelasnya lagi silahkan baca buku sejarah karya Tatang.S tentang kerajaan-kerajaan di Indonesia.
Narsis dolo lah!!!

Narsis lagi

Istano Basa itu artinya istana yang besar atau agung. Istana ini merupakan obyek wisata budaya-budaya gitu dan sangat terkenal di Sumbar. Bangunan ini terdiri dari 11 gonjong, 72 tonggak dan 3 lantai. Puncak atapnya setinggi 60 meter dengan atap terbuat dari ijuk. Dinding bagian samping dan belakang terbuat dari kulit ruyung atau buluh betung. Pantes aja kebakaran terus, semua bahan yang dipakai untuk membangun istana berbahan dari kayu. Coba dibuat dari baja atau beton, dijamin stres tukang kulinya ngebangun istana yang arsiteknya rumit luar dalem.
istana dari belakang

taman di belakang istana pagaruyung

Objek wisata ini dilengkapi dengan surau, dan bangunan lain yang bernama Tabuah Rangkiang Patah Sambilan di samping kanan. Dinding yang terbuat dari kulit kayu tersebut dilengkapi dengan beragam ukiran yang tiap-tiap bentuk dan warna ukiran mempunyai falsafah, sejarah dan budaya Minangkabau. Di depan istana telah disediakan beberapa ekor kuda untuk jalan-jalan mengelilingi istana, tapi jangan lupa bayar kalau udah naik kuda. Karena gue hanya seorang gembel musafir, jadi gue lebih milih jalan kaki muter-muter di sekeliling istana. Di istana ini pun disediakan pakaian-pakaian adat minangkabau gitu, bagi yang berminat bernarsis ria ala kerajaan minang di depan istana. Tapi gue ingatkan sekali lagi. . . jangan lupa dibayar. Camkan itu!!! #Apaan seh.
Narsis ala kerajaan minang
Gagahnya Si Biru

Gak kerasa sudah jam setengah lima sore. Gue kembali lagi ke Kota Batusangkar, karena gue ingin bertemu dengan salah satu teman asli sini. Sebenarnya gue berkesempatan bertemu dengannya waktu di Kota Padang kemarin. Tapi karena dia ada kesibukan mendadak dan gue harus banting setir mencari chargeran Hape, jadi kami berdua belum sempat dipertemukan. Nah kebetulan dia hari ini lagi pulang kampung ke Batusangkar. Mudah-mudahan gue bisa ketemu dengannya, lumayan bisa nambah temen sekaligus sharing-sharing tempat menarik di Batusangkar.

Dia menyuruh gue pergi ke Lapangan Cindua Mato. Tempatnya seperti alun-alun gitu. Namun, SMS yang gue kirim sedaritadi tidak kunjung sampai. Tidak ada tanda chek-list pada pesannya. Gue terpaksa beli pulsa telepon. Pengen nangis rasanya pas gue ngasih duit ke tukang pulsa (jatah makan gue dua kali lenyap gitu aja). Sudah dipastikan sampe besok pagi, gue bakalan ngemilin pulsa SMS.

"Halo, ya, aku sekarang sedang di depan Papan Panjat Tebing," jawabnya dalam telepon. Terlihat begitu banyak sekali orang-orang yang tengah menikmati suasana sore hari di Alun-alun Cindua Mato. Bingung yang mana bentuk parasnya, karena gue belum pernah sekali pun bertemu dengannya. "Ya udah tunggu aja di situ, Gi. Aku ke sana sekarang." lanjutnya.

Seorang gadis berkerudung hitam berjalan gontai ke arah gue, dengan kamera besar menggantung di badannya. Apa ini orangnya? Lantas, ia kemudian melambaikan tangannya. 
"Welcome to Batu Sangkar, Yogie" ucapnya.
"Hay, akhirnya bisa ketemu juga, hihihi," balas gue.
"Gimana perjalanannya? Eh, kita ngobrolnya di rumah aja yu!!"

Seorang malaikat kecil telah datang menghampiri gue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar