Kamis, 06 November 2014

I'm Not "Gila"!!!

Halaman 23

"Kalau saya gak 'gila' kayak gini, saya gak akan bisa bertemu dengan ibu, bapak dan teman-teman yang lainnya di Sumatera." Meraka pun hanya terdiam malu mendengar jawaban gue. Entah ngerti apa enggak omongan gue.

Seperti biasanya, gue selalu dibilang "orang gila" oleh setiap orang tua yang baru pertama kali berjumpa di Sumatera. Termasuk ibunya temen baru gue di Batusangkar. Emang salah gue apa sama mereka! sampai-sampai mereka selalu bilang kayak gitu!!! Apa gue dulu pernah menyakiti hati mereka? Apa dulu gue pernah tolak cinta mereka? Da aku mah apa atuh. Pengen beli cilok aja harus nunggu harga kopiah turun dulu. #Indikasi Gila. Tapi, ucapan mereka gak salah juga, yap, gue akuin itu, naik motor "butut" sendirian keliling Sumatera dengan persiapan minim. Gak heran banyak insan di Bumi Andalas ini yang mengatakan demikian.

Nama temen baru gue adalah Meri. Orang asli Batusangkar. Tinggi badan 155 cm, berbadan kecil dengan kulit lumayan putih. Rumahnya berada dekat simpang Asrama Polisi, gak begitu jauh dari Lapangan Cindua Mato. Gue masuk ke dalam rumah. "Ini ibu ku, Gie, dan ini Yogie, Bu." Dengan bahasa Minang, Meri mengenalkan dan menjelaskan tujuan gue "nyasar" di Sumatera ke ibunya. Ibunya kurang fasih berbahasa Indonesia, jadi harus diterjemahin dulu ke bahasa nasional. Gue sih udah agak sedikit ngerti dengan bahasa Minang, tapi kalau ngomongnya udah secepat kilat tanpa koma dan titik, langsung kusut aja tuh kata-kata di telinga gue.

Gue disuruh nginep di rumahnya, tapi gue takut merepotkan Meri dan keluarganya. Gue takut mengganggu kehidupan mereka jikalau gue tetap berada di sini #Sok jaim padahal butuh. Namun, karena hari sudah mulai gelap, udah gitu hujan turun deres banget, gue putuskan untuk bermalam dulu di rumah Meri #padahal emang niatnya mau nginep walaupun cuaca bagus. Rencananya besok siang, Meri mau pergi ke Limapuluh Kota untuk melihat Porprov (Pekan Olahraga Provinsi) Wall Climbing atau Panjat Tebing. Jadi, gue bisa berangkat bareng ke sana besok. 

"Meri sering mengajak teman-temannya bermalam di rumah. Bule-bule dari luar negeri juga sering nginap di sini." ucap ibunya ketika kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Meri memang salah satu member Couchsurfing (CS). CS itu adalah wadah untuk para traveler seluruh dunia gitu. Dari situ kita bisa berkenalan sesama Backpacker dari dalam maupun luar negeri.
"Gimana perjalanannya Gi?"
"Wah, harus dicoba sendiri, Mer. Susah diungkapkan."
"Pengen banget aku pergi sendiri keliling dunia, tapi. . . ." Meri mulai bercerita.

Suatu saat Meri pengen banget bisa berpetualang sendiri keluar dari Sumatera dan keliling negara lain, dan impiannya adalah bisa mengunjungi Negara Panser Jerman. Tapi, namanya juga anak perempuan, pasti susah banget dapet izin. Keinginannya terhalang izin dari orang tuanya. Emang sih, cewe yang ternyata jago karate ini adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga, jadi sangat-sangat dijaga banget keadaannya, apalagi adat di Minang ini, kalo seorang perempuan itu sangat dihormati sekali di keluarga, karena si perempuan lah yang akan meneruskan marga mereka.

Meri ternyata pernah mengikuti pendidikan dasar Pecinta Alam Indonesia atau Wanadri. Keren banget menurut gue, karena itu kan organisasi pecinta alam tertua di Indonesia dan pendidikannya itu bener-bener berat banget. Meri hampir saja lolos Diksar alias Pendidikan Dasar, tapi sayang pas hari-hari terakhir Diksar, dia jatuh sakit dan disuruh pulang oleh pembimbingnya. Namun dia gak menyerah sampai di situ. Suatu saat nanti, dia mau mengikuti lagi tes masuk Wanadri. Dia ngajakin gue daftar bareng Wanadri. Buaaahhh, pengen ikut sih. . . tapi gue kan gak bisa berenang! Kalau nanti pas tes berenang harus bisa lolos dari tangkapan buaya, jelas gue duluan yang dimakan tuh hewan predator. Dan gue pulang tinggal sisa-sisa tulang doang.

Senin, 17 Desember 2012
Sepiring nasi ketan hitam campur pisang kipas dan teh manis menambah ajib mulut di pagi ini. Pagi ini Meri mau ngajak gue jalan-jalan ke Nagari Pariangan. Nagari di sini bukan artinya negara, tapi bisa dibilang sebuah desa gitu. Pariangan merupakan desa tertua di Sumatera Barat dan bisa ditempuh dengan mengambil jalur lintas ke arah Padang Panjang dengan jarak hanya 15 km dari Batusangkar ke desa tersebut.
sarapan di pagi ini

Di tengah perjalanan, Meri ngajak gue mampir ke Balairung Sari, sebuah tempat untuk pertemuan atau musyawarah bagi masyarakat gitu. Mungkin bisa juga disebut dengan balai adat. Dari jalan utama kami berbelok ke arah kiri dan gak jauh dari situ, sampailah gue di tempat tersebut. Tempatnya mirip saung-saung gitu namun panjang beratap Gonjong. Di belakangnya ada kolam-kolam gitu dan terlihat sebuah jembatan penghubung menuju ke saung kecil yang berada di tengah kolam. Katanya, di sanalah tempat untuk para tetua adat yang akan memulai musyawarah. Kayak semacam moderator dan pembicaranya kali yak?
balairung sari

Sejak turun dari motor, Meri sibuk bolak-balik jungkir balik moto-motoin bangunan adat tersebut. Gue minta tolong motoin aja, dicuekin. Maklum, dia baru beli Kamera DSLR yang dia beri nama "Si Cano". Susah kalo punya mainan baru. Gak bisa diganggu, anteng sendiri, punya dunia sendiri, lama-lama kelihatan autis *ditendang Meri nyampe nyungsruk*.

Narsis di teras Balairung Sari

Siang ini terik matahari sangat terasa. Namun semilir angin berhembus pelan membelai batang padi yang masih hijau. Sawah yang bertingkat-tingkat terhampar luas sejauh mata memandang #sok puitis. Kami sampai di suatu persimpang jalan, tepat di depan jalan masuk beraspal yang sedikit menanjak. Tidak terlihat perkampungan dari tempat kami berdiri, hanya beberapa tukang ojek yang lagi mangkal di pos. Meri agak lupa dengan jalan masuknya. Namun, adanya sebuah papan petunjuk yang memuat tulisan tentang profil desa yang berada di dalam sana membuat Meri merasa yakin kalau inilah jalan masuk menuju desa Pariangan. Lantas, kami langsung mencoba masuk ke simpang tersebut.

Jalannya terus menanjak dan menanjak rendah. Sejauh ini, tidak juga kami jumpai ciri-ciri desa tua. Sudah tidak ada lagi pemukiman di depan sana, hanya hamparan sawah yang luas dan menghijau. Kami mulai curiga dengan jalan ini. Lantas, Meri menyuruh gue berhenti untuk bertanya kepada bapak-bapak yang sedang membawa hasil buminya.
"Misi pak, dima nagari pariangan ko?"
"cie duo tigo ampek limo rendoang balado." (kalo gue gak salah denger)
Kami kembali ke bawah, karena kata si bapak, kami sudah melewati desa tersebut. Desa Pariangan berjarak 200 meter setelah simpang tukang ojek yang kami temui.

Si Biru berhenti di depan sebuah kuburan atau makam, tapi makamnya itu gak normal seperti makam-makam pada umumnya. Gila, panjang banget kuburannya! Seriusan nih!! Saking panjangnya udah mirip truk gandeng yang ditarik kereta antar provinsi. Ini sih bisa buat nguburin 10 mayat.

Kata Meri itu adalah kuburan orang zaman dulu gitu. Menurut cerita, kuburan panjang ini merupakan kuburan Datuk Tantejo Gurhano. Mungkin beliau bisa dikatakan sebagai pemuka adat sini. Tapi masih gak kebayang tingginya kayak apa tuh orang? rumahnya sebasar apa? terus toiletnya segede apa? eenya juga kayak apa? Kalau sekarang orang kayak gitu masih hidup, pasti sudah jadi tukang metikin buah kelapa #Plaks (digampar arwah om Tantejo).
 
Makam datuk Tantejo

Di sekitaran sini juga banyak rumah-rumah Gadang khas Minangkabau atau Gonjong yang sudah berumur ratusan tahun. Ciri-ciri rumah yang sudah tua adalah warna kayunya yang hitam legam. Salut dengan desain rumahnya. Sudah berumur tua tapi masih kelihatan kokoh bangunan rumahnya. Betapa telitinya orang zaman dulu membangun rumah, hasilnya tidak rusak dimakan zaman. Beda kalau sekarang, baru hitungan bulan saja sudah pada retak temboknya. Kata Meri, kalau rumah itu sudah tidak dihuni lagi sama yang punya, rumahnya tidak diperbolehkan untuk dibongkar apalagi dibakar. Nantinya rumah itu akan dibiarkan begitu saja sampai rumah itu rubuh atau rusak dengan sendirinya.
Salah satu rumah tua

Kami memasuki salah satu gang kecil. Terdengar suara gemericik air sungai yang nampak begitu segar di telinga. Perlahan, sebuah masjid terlihat. Nama Masjid Islah tertera di sebuah papan di depan masjid. Diperkirakan mesjid ini sudah ada di awal abad ke-19. Masjid ini terletak di tengah perkampungan. Di halaman masjid, kami menaiki sebuah tanjakan, menikmati pemandangan sekelilingnya. Terlihat begitu banyak bangunan-bangunan khas dan juga sungai kecil yang mengalir deras diantara bebatuan. Meri terus merekam setiap sudut perkampungan dengan Si Cano kameranya.
Masjid Islah, Masjid tertua

View dari atas

Kabupaten Tanah Datar atau nama lainnya Luhak Nan Tuo, memang di yakini sebagai asal usul orang Minangkabau, tepatnya dari Dusun Tuo Pariangan ini. Pariangan merupakan nagari di Kecamatan Pariangan, Kabupaten Tanah Datar. Desa ini berada di tepi jalan yang menghubungkan Kota Batusangkar dan Kota Padang Panjang. Karena desa ini berada tidak jauh dari kaki Gunung Marapi (gunung yang masih aktif), jadi di sini juga terdapat pemandian air panas gitu, dan letaknya gak jauh dari Masjid Islah. Sampai sekarang, pemandian air panas tersebut masih digunakan warga sekitar untuk mandi dan mencuci.
welcome tu Pariangan!!!

Pukul 12.00 WIB kami kembali ke rumah. Waktunya pamitan sama keluarganya Meri. Walaupun cuma sebentar, tapi sangat begitu berkesan dengan keluarga ini, terutama ibunya Meri. Bahasa Minangnya yang cepat, dan kilat membuat gue harus mengheningkan cipta dulu 10 detik untuk bisa menelaah apa yang telah dia bicarakan. But, I like Mother.
"Makasih, Bu, sudah mau menerima saya di rumah yang sangat luar biasa nyaman dan masakannya yang ranca bana. Jadi keinget masakan Emak di rumah."
"Elok-elok di jalan, Gie. Hati-hati dijalan. Jangan lupa mampir ke sini lagi ya, Orang Gila!!!" 
"SAYA BUKAN ORANG GILAA!!!


Bersama Ibunya Meri








Tidak ada komentar:

Posting Komentar