Kamis, 20 November 2014

Misteri Sebuah Batu

Halaman 24

Ada yang tau Batu Angkek-angkek? atau ada yang sudah pernah memegang dan mengangkat batu tersebut? 

Menurut cerita setempat, barang siapa yang bisa mengangkat batu tersebut ke pangkuan yang mengangkatnya, maka segala keinginannya akan terkabul. 
Untuk mengobati rasa penasaran, gue ingin mencoba merasakan kekuatan batu tersebut. Kebetulan jalur yang kami lalui melewati desa tempat batu itu disimpan, yaitu jalur Sungayang (jalur Batusangkar-Payakumbuh). Gue jadi gak sabar mau megang tuh batu. Batu yang penuh dengan magis, batu yang menyimpan kekuatan goib dan penuh dengan tanda tanya. Lumayan, siapa tau batunya bisa gue jadiin cincin batu akik.

Gue dan Meri menaiki beberapa anak tangga. Masuk ke dalam rumah. Di dalam, gue disambut oleh sesosok ibu-ibu yang ternyata penjaga sekaligus pemilik rumah. Desa Balai Tabuh, Kecamatan Sungayang. Letaknya 9 km di sebelah utara Batusangkar. Benda sakral itu terletak di dalam rumah gadang berukuran sekitar 4x16 meter milik warga Suku Piliang. Katanya, rumah ini sudah berusia lebih dari 100 tahun lho!! 

Batu Angkek-angkek itu warnanya hitam dan di tengahnya terdapat lubang-lubang kecil gitu. Dari penampilan dan ukurannya, gue rasa batu itu mudah untuk diangkat, bahkan dengan satu lengan sekalipun. Namun ada tata cara untuk mengangkat batu tersebut, yaitu pertama, mengucapkan salam ketika masuk, terus duduk diantara dua kaki atau duduk seperti orang solat, kemudian sebelum mengangkat batu, baca dulu kalimat syahadat dan basmalah, terus yang terakhir. . . pulang. Kok pulang!!!. . . Pulang dulu minta restu orang tua. Udah dapet restu, nyatakan niat yang kita inginkan dan mulai untuk menguji apakah batu tersebut terangkat atau tidak.

Percaya atau tidak, tapi lebih baik sih percaya #Maksa. Ternyata benar, berkali-kali gue mencoba untuk mengangkat batu tersebut sampe hampir kecepirit, sama sekali gak bisa keangkat sedikit pun. Batunya sih kecil, ukurannya sedang kayak cobek tukang gado-gado yang berdiameter 50 sentimeter. Tapi berat banget, sumpah! Segala daya upaya dan pepaya sudah gue lakukan untuk mengangkatnya, namun tidak sanggup jua, bahkan untuk sekedar menggesernya. Da aku mah apa atuh! ngangkat batu aja susah payah, apalagi ngangkat kamu ke pelaminan #TSAH.

Ibu penjaga batu yang duduk di samping pintu masuk, memberitahu bagaimana caranya untuk mengangkat Batu Angkek-angkek. Gue kembali ke posisi siap siaga. Gue ucapkan salam, syahadat, bismilah, surat qulhu (dibaca Al-Ikhlas), surat yasin (satu ayat di depan dan satu ayat di belakang), dan terakhir menyatakan keinginan dalam hati. Tangan gue sudah dalam posisi di bawah batu. Gue melirik ke arah Meri. Raut wajahnya jelas mengatakan, "Ayo, lo pasti bisa, Gie. Jangan lupa gue nitip satu permintaan kalo lo berhasil." Gue kembali menatap batu. Tajam. Gue tarik nafas dalam-dalam. Udara terpusatkan di perut. Hup. Dengan segenap kekuatan bulan dan bintang, Batu Angkek-angkek berpindah juga ke pangkuan gue. Yeaaahh! Berhasil berhasil horeeei!!! *Gaya Dora dan Bots*. 

Mau tau gimana caranya agar si Batu bisa pindah ke atas pangkuan loe? Telepon gue, maka gue akan menjawabnya. Hahaha
Gue mengamati keseluruhan Batu Angkek-angkek. Bagian belakang yang berwarna kuning tembaga, terdapat tulisan “Allah” dan “Muhammad” gitu. Subhanallah, sesuatu banget. Entah darimana asalnya. Entah siapa yang menuliskannya. Cuma satu yang bikin gue penasaran. Anjelina joli suka makan tahu sumedang gak yah?

Meri sudah memasang kuda-kuda bersiap untuk mengangkat batu Angkek-angkek. Dulu dia sudah pernah datang ke sini dengan turis dari Jerman. Mister Jerman tersebut berulang kali mencoba memindahkan batu ke pangkuan, tapi tetap tidak berhasil juga mengangkatnya. Meri pun demikian, ia terlihat kesulitan untuk mengangkat batu yang lebih mirip dengan tempurung kura-kura itu, padahal Meri itu jago karate, jago naek gunung, jago masak, jago moto #Gak Ngaruh Sih. Kepada Meri, gue menjelaskan sedikit gimana triknya. Yah, walaupun masih agak sedikit kewalahan juga, namun akhirnya ia bisa juga memangku batu tersebut.

Permintaan dan keinginan gue sih gak banyak. Cuma mau keliling Indonesia dan Dunia, diberi keselamatan di jalan, dan bisa jadian dan berpetualang bersama Si Odah, wanita yang selalu menyetrumkan hati ku (So sweet banget kan!!!). Namun gue peringatkan dengan keras, jangan sampai kalian percaya sama itu batu, karena takdir itu Allah yang menentukan, bukan batu. Kalo pengen sesuatu mah berdoa aja sama Allah, jangan ke batu. Musrik tau gak sih!! Gue itu melakukan semua ini hanya untuk hiburan semata, buat seru-seruan saja. Tapi kalau beneran terkabul, ya gak apa-apa lah kalau gue mencobanya sekali lagi #LOL.
bentukna kecil, tapi beratnya minta ampun.Serius.

Hal yang paling menarik adalah untuk mencari jawaban mengapa batu ini bisa menjadi berat dan ringan dengan sendirinya. Jika diperhatikan keseluruhan batu, kemungkinan bahannya dari tembaga gitu. Namun mengapa batu ini bisa diangkat atau tidak, agak sulit untuk mencari logika ilmiahnya. Apalagi logika gue yang masih bobrok binti ndablek.

Menurut Sejarah,  Batu Angkek-angkek diawali dari mimpi Datuk Bandaro Kayo, salah seorang kepala kaum dari Suku Pilian. Ia didatangi oleh Syech Ahmad dan disuruh untuk mendirikan sebuah perkampungan yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Palangan. Pada saat pemancangan tonggak pertama, terjadi suatu peristiwa aneh gitu, yakni gempa lokal dan hujan panas gitu selama 14 hari 14 malam. Akibatnya diadakanlah musyawarah warga.

Warga suku bingung dan cemas. Tak lama setelah itu terdengar suara-suara dari lubang tempat pemancangan tonggak utama. Suara itu berbunyi permintaan agar warga mengeluarkan benda dari lubang tersebut. Datuak Bandaro Kayo pun mengumpulkan kembali warganya untuk mengambil benda di dalam lubang. Akhirnya, mereka tahu penyebab mengapa tonggak gak bisa dipancang serta bencana selama 14 hari itu. Setelah batu diangkat, bencana pun berhenti dan barulah pemacangan tonggak utama itu bisa dilakukan.
Sekarang batu ini dikenal dengan Batu Angkek-angkek atau dalam bahasa Indonesianya adalah Batu Angkat-angkat. Kata ibu penjaga yang gue lupa namanya, pengunjung tempat wisata batu ini tidak banyak, tetapi tiap pekan selalu ada. Jumlahnya tidak banyak antara 10 sampai 50 orang. Kalau pas liburan sekolah akan lebih banyak lagi. 

Mereka pada umumnya membawa sejuta tanda tanya dalam hati. Bahkan, tidak jarang ada yang mencobanya berulang-ulang kali. Penasaran dalam hati kenapa sang batu tak bisa juga diangkat-angkat. Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tanah Datar kemudian mengelolanya dengan menempatkan si ibu di tempat tersebut. 

Memang setiap daerah memiliki keunikan dan keanehan yang menjadi daya tarik wisata. Keajaiban itu menyebar dari mulut ke mulut yang akhirnya melegenda dan mengundang banyak orang untuk datang. Begitu pula dengan Batusangkar. Selain batu Angkek-angkek, di sini banyak sekali batu-batu yang memiliki peninggalan sejarah. Ada Batu Batikam, terus ada Batu Basurek dari zaman Raja Adityawarman, dan batu-batu lainnya yang tersebar di Tanah Datar. Di Nagari Pariangan juga ada sebuah batu prasejarah di dekat Masjid Tua. Bahkan nama Batusangkar pun diyakini dari sebuah nama Batu dan Sangkar. Namun belum dapat diketahui dengan pasti. Tidak diketemukan pasti di mana batu yang berada dalam sangkar ataupun batu berbentuk sangkar tersebut berada. Katanya ada yang bilang batu tersebut telah dibawa oleh orang Belanda ke negara asalnya. Entahlah, yang pasti di setiap penamaan pasti ada sebuah arti yang tersirat #Gaya. 

Pemandangan sekitaran desa ini gak kalah indah dengan Desa Pariangan. Rumah-rumah Minang masih banyak berdiri tegak di pinggir jalan. Pokoknya serasa berada di Minangkabau dah (emang elo lagi di mana, kunyuk??). Apalagi pas kami sampai di atas sebuah bukit, gue bisa melihat desa dengan rumah-rumah gadang di kelilingi hijaunya perbukitan. Indahnya. Sayang gak ada kamera profesional yang pake lensa teleskop, jadi meskipun berada jauh tetap bisa mengambil gambar sampe ke dalem-dalem kamar mandinya.

Meri ngajak mampir ke rumah temennya. Sempat nyasar-nyasar dulu, akhirnya sampai juga di rumah yang kita tuju. Namanya mba Leni. Ternyata eh ternyata, dia itu kenal sama mba Pici. Mereka pernah jalan bareng waktu ke luar negeri, dan kemarin pas mba Pici jalan-jalan ke Sumbar tanpa sengaja bertemu lagi di Payakumbuh. Jiaaahh, dunia memang sempit. Maklum saja, Mba Leni juga salah satu anggota Couchsurfing sama seperti Meri. 

Sekitar jam 15.00 WIB, kami lanjut berangkat menuju Payakumbuh. Mba Leni ikut menemani kami. Kebetulan dia ada urusan di sana. Di perjalanan, atau tepatnya di perbatasan antara Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Lima Puluh Kota, hujan turun cukup deras. Untung gue pake ponco, jadi Meri bisa nyelip di belakang ponco walaupun tetap saja celana kami basah kuyup. Sampai di Pasar Payakumbuh (56 km dari Batusangkar), kami berhenti menunggu mba Leni yang sedang menjemput temannya. Habis itu kami lanjut menuju Gedung Olahraga (GOR) tempat diadakannya Porprov. Jarak menuju GOR lumayan jauh lah dari Pasar Payakumbuh.

Sampai di GOR yang terletak di Sarilamak ibukota Kabupaten Lima Puluh Kota, sekitar pukul 04.00 sore. Mba Leni dan temannya pergi ke rumah-rumah yang berada di belakang GOR untuk menyelesaikan urusan jual beli rumah gitu. Selagi mba Leni menyelesaikan urusannya, gue dan Meri pergi mencari tempat diadakannya perlombaan Panjat Tebing. Namun pas sampai di TKP, acara Panjat Tebingnya sudah selesai. Para panitia sedang sibuk merapihkan alat-alat panjat. Penonton bubar. Jiaaaahh, udah jauh-jauh, ujan-ujanan, sampai di GOR selesai acaranya. Gagal deh ngelihat perlombaan manjat.

Terlihat Meri sedang memperhatikan salah satu panitia panjat tebing.
"Kayaknya aku pernah lihat orang itu," ucapnya.
"Tukang Mie Tek-tek kali Mer," jawab gue bercanda.
"Krik krik krik." Garing.
"Oh iya aku ingat!!! itu pembimbing aku waktu pendidikan Wanadri di Bandung." Memori di otak Meri sudah kembali pulih.
Dengan raut wajah ragu-ragu, Meri menghampiri orang tersebut. Ternyata memang benar, dia anggota Wanadri. Orang yang pernah ditemui sewaktu pendidikan dulu. Pembimbingnya dulu. Dia kebetulan menjadi panitia Panjat Tebing di Porprov tahun ini. Meri pun berbincang-bincang bernostalgia bersama cowok tersebut. Katanya besok pagi akan diadakan lagi lanjutan pertandingan Panjat Tebing. Besok merupakan pertandingan yang terakhir alias final. Akhirnya Meri masih bisa melihat orang-orang manjat-manjat tembok keesokan hari. 

Sudah jam enam sore. Terlampau sore. Lanjut mencari rumah bang Dbon. Dbon itu adalah anggota Backpacker Padang juga. Bang Anto menyarankan gue untuk menghubunginya jika sudah tiba di Payakumbuh. Dia langsung menelepon gue dan menjelaskan rute menuju rumahnya. Bla bla bla obladi oblada. Sip. Alamat sudah disave. Waktunya mencari!!!

Dari GOR, patokannya ketika ada perempatan, belok ke arah Batu Balang dan gak jauh dari situlah rumahnya berada. Begitulah penjelasan dari bang Dbon. Waktu sudah mulai gelap. Gue pun hanya meraba-raba, menebak jalanan di Payakumbuh terus mencari rumahnya yang sudah masuk kawasan Lima Puluh Kota. Jalanan sudah buntu. Gue pun meneleponnya lagi. 
"Bang ke mana lagi? Saya udah ke sini ke situ, ke sana kemari, gak juga nemu rumah abang."
"Kamu sudah sampai mana??"
"Gak tau nih, tapi ada pertigaan gitu." Gue kebingungan.
"Kejauhaan, muter balik lagi gie. Patokannya warung," jawabnya.
Kami memutar balik motor. Biar gak nyasar lagi, gue meneleponnya sambil mengendarai motor. Gak beberapa lama, terlihat ada seseorang yang sedang menelepon di pinggir jalan. Orang itu melambaikan tangan ke arah kami yang masih 100 meter darinya. 
"Selamat datang di Payakumbuh,"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar