Senin, 29 September 2014

Behind the Polisi


Halaman 13

Polisi. Siapa sih yang suka sama mereka! Gue yakin kebanyakan orang gak suka dengan jabatan itu. Apalagi sama polisi lalu lintas yang sering nilang. Apek. Jujur gue paling benci dengan polisi tukang tilang. Suka mencari-cari kesalahan si pengendara.  Pasal ini lah, pasal itu lah, tapi ujung-ujungnya duit. Mending kalo nilangnya baik-baik. Udah marah-marah, muka disangar-sangarin, ngancem apalah, tapi akhirnya dia nawarin bantuan. Iya, bantuan biar gak di sidang atau lebih tepatnya nyogok. Enggak banget. Nyari duit mengatasnamakan pasal. Gue suka heran ama polisi yang kayak gitu. Apa mereka gak malu dengan pangkat mereka? Kemana kah polisi yang selama ini digadang-gadang mengayomi masyarakat?

Perjalanan dengan menggunakan motor atau kendaraan lain, pasti akan mengalami razia atau tilang. Seperti kejadian waktu gue di Bengkulu. Ketika gue lagi asik berkendara. Tiba-tiba banyak polisi berdiri di pinggir jalan. Razia. Siaall! Gue ketakutan. Gimana kalo nanti surat kendaraan gue ditahan, dan suruh ikut sidang. Prosesnya bisa sampe dua minggu dan gue mesti terdampar di Bengkulu. Milih "jalan damai".... gue rasa gak banget. Duit gue limited edition cuy! 

Sudah banyak motor yang diberhentikan. Gue pelankan laju motor. Gue mencoba berpikir mencari jalan lain. Tapi gue sadar, ini bukan jawa. Jalan lintas hanya satu. Sisi kiri kanan gue sedaritadi hanya laut dan pasir. Gak mungkin gue minjem tongkat Nabi Musa buat ngebelah laut. Terlalu banyak mikir, sampe akhirnya gue gak sadar kalo sudah ada di depan pak polisi. "Selamat siang, Pak?" tanya polisi itu. Wadooh, mati dah gue!! "Siang, Pak." Gue mencoba tersenyum, walaupun dalam hati gue kecut. Seperti biasa, gue diminta untuk mengeluarkan surat-surat motor. Tangan gue gemeter gak karuan. SIM gue keluarin dari dompet. "STNKnya mana?" tanya polisi itu dengan wajah sangar. HAH, gue lupa. STNK? mana STNK? 

Gue cari di dalam dompet, tapi gak ada. Wajah polisinya jadi tambah sangar. Gue panik. Gue terus mencari di dalam tas kecil. Polisi sudah mulai murka, "ayo ikut saya!" ajak polisi. "Bentar pak, ini STNKnya. Dapet." Gue segera memberikan STNK yang terbungkus selembar kertas putih. Polisi itu membaca dengan teliti, juga selembar kertas putih itu.
"Kamu lagi keliling Sumatera?"
"Iya Pak" jawab gue heran kenapa dia bisa tau kalo gue lagi keliling Sumatera.
"Oo, hati-hati saja di jalan," cetus pak polisi seraya memberikan surat-surat. "Surat jalannya jangan sampai hilang," lanjut polisi tadi.

Gue baru inget, gue punya surat jalan dari polsek di kampung gue. Karena gue orangnya suka teledor, jadi gue bungkus STNK motor gue dengan surat jalan itu. Tapi namanya udah takut dan panik, gue jadi lupa kalo punya kartu AS.

Satu lagi pengalaman gue tentang polisi. Waktu gue sampe di Kota Muko-muko (ibukota dari Kabupaten Muko-muko), hari sudah kelewat malem. Gak sesuai perkiraan. Jarak yang ditempuh baru sekitar 310 km sejak dari Kota Bengkulu. Gue putuskan untuk lanjut terus menuju Sumatera Barat. Namun, hujan turun lagi. Kali ini hujannya lebih frontal dari sebelumnya. Udah turunnya membabi buta, angin berhembus kencang, ditambah gledek AKA petir jedar-jedor yang lumayan bikin pangkreas gue jantungan. Gue berteduh di sebuah bengkel yang sudah tutup.  Ngeri kesamber gledek. Basah kuyup, menggigil, pantat gatel, udah kayak tikus kecebur di got comberan. 

Tidak terasa sudah satu jam gue duduk sendirian di sini. Cuaca mulai bersahabat. Daripada gue menunggu ketidakpastian berhentinya hujan, gue pun melanjutkan perjalanan ditengah hujan rintik-rintik. Jam tangan sudah menunjukan angka 09.00 malam, namun gapura perbatasan belum juga kelihatan. Beruntung jalan yang gue lewati ramai oleh rumah-rumah penduduk, bukan hutan-hutan yang gelap sunyi. Badan gue udah super kedinginan, menggigil sampai ke ubun-ubun pantat. Gak kuaat!!!

Gue melihat sebuah bangunan di pinggir jalan sebelah kanan. Bangunan bercat coklat seperti di kebanyakan tempat yang sudah tidak asing lagi. Polsek Lubuk Pinang, begitulah nama yang tertera di plang sisi jalan. Gue putuskan untuk berhenti dan istirahat di sana. Kebetulan di depan kantor ada seseorang yang sedang duduk sendiri di bangku kayu panjang. Gue lihat kakinya, ternyata masih nempel di tanah. Gue lihat punggungnya, gak ada tanda-tanda bolong (takutnya dedemit sawit).
"Pak perbatasan masih jauh gak??"
"Lumayan lah 10 km lagi. Mau ke mana?"
"Jauh juga ya Pak, hemm. Saya lagi turing ke Sabang Pak." Gue kemudian menjelaskan sambil menggigil badai. "Boleh gak saya bermalam di sini pak??"
Dia terdiam. Menatap gue tajam. Ragu.
Gue mencoba menjelaskan maksud perjalanan gue. "Yasudah, nginep aja. Gak apa-apa." Jawab pak polisi itu. Yipi!! Sebenarnya gue paling males berhubungan sama polisi. Tapi apa boleh buat. Pikiran gue udah gak karuan, gak bisa mikir. Yang ada di pikiran gue cuma istirahat di tempat yang aman.

Kami berdua bercerita di bawah mendungnya malam di depan gedung yang lebih mirip "sarang penyamun" dari pada Polsek. Sumpah gelap banget suasana di sekitarnya. Namanya pak Nur. Ternyata pak Nur ini asli dari Purwokerto. Dia ditugaskan di polsek sini sudah lebih dari 3 tahun. Dia bercerita tentang usaha kebun sawitnya yang gue pikir sangat menjanjikan banget, karena tiap seminggu sekali, sawit sudah bisa dipanen dan lahan di Sumatera ini masih tergolong murah harganya. Pak Nur sudah mempunyai beberapa hektar kebun sawit di Muko-muko. Bagi orang jauh seperi gue, dia bilang harus mempunyai orang yang bisa dipercaya mengurus kebun sawit. Lebih enak lagi kalau gue pindah ke sini dan ngurus sendiri. Hemm, walaupun gue gak punya otak, tapi mesti mikir beribu-ribu kali untuk tinggal di daerah kayak gini. Gilaaa, gak ada yang bisa dilihat selain pohon sawit!!! 

Perkebunan kelapa sawit merupakan areal perkebunan yang sangat luas dan sangat diminati oleh para investor dan masyarakat di Muko-muko. Komoditinya bisa mencapai 90 ton lebih dalam setahun. Karena selain harganya yang tinggi dan stabil, kelapa sawit juga merupakan bahan baku beberapa industri besar, juga sebagai bahan baku BBM alternatif (Bio Diesel). Selain sawit, kebun Karet juga merupakan tanaman unggulan kedua yang diminati. Pantes aja, sejauh mata memandang, sejauh roda berputar, yang gue liat cuma hutan sawit dan karet dari ujung selatan sampai ujung utara Provinsi Bengkulu. 
Depan kantor Polsek di Pagi hari

Lagi asik ngobrol, tiba-tiba ada sebuah mobil datang. Terlihat dua orang pemuda turun dari mobil dan menghampiri kami. Yang satu memakai kemeja hitam garis putih dan satu lagi memakai kaos coklat khas polisi. Ternyata mereka adalah temannya pak Nur yang dapet tugas jaga malam. Perasaan suram gue ternyata bener. Gue gak bisa cocok dengan polisi. Baru saja datang, mereka sudah melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Belum sempet gue jawab pertanyaan satu, udah dibanting lagi dengan pertanyaaan lain. Dah gitu, nada bicaranya keras banget, mirip orang medan. Mereka udah kayak introgasi tukang maling jemuran. Matilah gue ini dibantai sama mereka!!! Kayaknya gue salah milih tempat nginep. Begimana ini???  

Semua surat-surat dalam dompet disuruh dikeluarin. Dari KTP, SIM, STNK, surat jalan, ngebongkar isi dalam tas cariel. Mereka pikir gue membawa senjata dan bom rakitan dalam cariel. Gue pun diminta ngebuka sarung tripod yang mereka kira itu meriam. Hadew ribet amat mau nginep semalem doang. Untung gue gak disuruh buka celana, soalnya di situ ada Senjata Caliber 69 (khusus 17 tahun kesamping). Belum puas dengan apa yang mereka lakukan terhadap gue, padahal gue udah ngasi kartu AS. Surat Jalan. Tapi gak ngaruh sama mereka. Beragam pertanyaan kembali mereka lontarkan mulai dari nama orangtua, alamat, asal, tujuan, nomer Hp, nomer KTP, nomer sepatu pak lurah, dan nomer semfuck (dibaca sempak). Tusuk gue aja sekalian pak!!!

Sejam lebih gue di cecer abis-abisan. Bukannya mau istirahat malah dibuat pening pala gue. Namun, ternyata eh ternyata penilaian gue terhadap mereka nol besar. Yang gue kira mereka itu galak, seram, judes, jutek kayak ketek, tapi lama kelamaan mereka malah jadi baik dan seneng bercanda. Yang tadinya suasana mencekam, mencair begitu saja. Kita malah ketawa ketiwi bareng. Katanya, mereka melakukan itu semua cuma melaksanakan tugas sebagai polisi. Mereka harus waspada dengan orang-orang baru seperti gue. Siapa tau teroris gitu, siapa tau gue mau maling sepatu mereka, sekarang kan lagi zaman teror meneror. Dan sialnya katanya, mereka sengaja mau ngerjain gue karena lucu ngelihat muka gue yang gugup dan polos. Pantes buat dikerjain. Somplak!!! 

Nama polisi yang memakai kaos sebut saja bang Cris dan yang memakai kemeja bernama bang Arjunoko. Bang Cris ini adalah orang Medan sedangkan bang Arjunoko keturunan Jawa tapi sudah lama bertugas di Sumatera dan pernah lama bertugas di Medan. Hemm, pantes aja nada bicaranya keras banget kayak supir metromini jurusan Cileduk-Blok M. Kata mereka, dulu ada orang yang keliling Sumatera dan sempat singgah sebentar di Polsek ini juga. Namun orang itu berpetualang dengan memakai sepeda. Gilaa!! Sakti banget tuh orang. Pakai motor aja pantat gue udah beraroma daging kebakar apalagi pakai sepeda. Gue gak mau ngebayangin, pokoknya salut banget buat mereka yang berpetualang pakai sepeda.

Entah ada angin apa, tengah malam suntuk mereka ngajakin gue tanding Playstation (PS). Tentu saja tantangan ini gak bakalan gue tolak. Padahal tenaga gue udah lemah banget pengen tidur. Tapi denger orang ngajakin main PS itu rasanya...kayak ditantangin cewe cipokan. Semangat membara. Gue kira mainnya di luar gitu, di tempat rentalan. Ternyata eh ternyata pemirsa, main PSnya itu di dalam Polsek. Eh buset dah, di polsek main PS. Gak salah nih??
"Ini Polsek gaul, Gus," cetus bang Arjunoko yang memanggil gue dengan nama tengah gue.
"Apa gak diomelin sama atasan, Bang??"
"Sapa juga yang mau ngomel Gus, yang tugas di sini gaul-gaul semua, hahaha," ucap bang Cris tertawa. Gue cuma berpesan sama atasan mereka, tolong dimaafin yah kelakuan mereka ini. hahaha.
Di sini memang sengaja diadain PS, biar yang jaga malam gak bete. Gaool banget dah nih Polsek. Patut dicontoh. Asal jangan keterusan aja maen PS-nya. Tau-tau nanti ada yang nyolong motor, atau tau-tau ada cewe cakep lewat kan gak ketauan.

PS sudah siap, permainan sudah di-setting, bangku sudah pewe alias dalam posisi wuenak, jempol tangan sudah pemanasan. Kita bertiga bermain bola dengan sistem liga gitu. Siapa yang ada di dasar klasemen liga, dia yang kalah dan harus mentraktir makan. Pak Nur udah tidur pules, jadi gak bisa ikutan maen. Oke, pertandingan pun dimulai. Redeee!!!

"Ya, peluit sudah dimulai. Bola dibagi-bagi terus dikali terus ditambah. Digocek sana, gocek sini, lari dari sisi lapangan, umpan terobosan, sundul pake gigi dan GOOOOOLLL" (Gaya komentator Liga Tarkam).

Dan sudah jelas siapa yang jadi juara liganya. "I'm Winneeerrr!!!" Tapi mereka gak mau ngalah begitu aja. Ronde kedua pun dimulai.

"Ya, peluit sudah dimulai lagi. Bola dibagi kepada Cristiano Ronaldo, Ronaldo mengoper kepada Bambang Pamungkas, digocek sana, gocek sini, lari dari sisi lapangan, Bambang mengumpan terobosan kepada Maradona, oh ternyata ditangkis oleh Topik Hidayat. Tapi oh tidak, dari belakang Mikel Jordan berlari untuk melakukan slam dunk dan GOOOOOoooLLL" (gaya komentator sarap). 

Kali ini gue akui kehebatan mereka, bang Arjunoko keluar jadi juaranya. Tapi sudah dua kali pertandingan liga, bang Cris selalu berada di dasar klasemen alias kalah telak. Itu artinya dia harus mentraktir kita makan. Asek, makan gratis!!! 

Jam dinding sudah menunjukan angka 02.00 dini hari. Buset, jam segini masih belum tidur. Bagaimana perjalanan besok?? Pertandingan pun kita akhiri. Gue membereskan bangku panjang untuk tempat tidur. Tapi sebelumnya, dua polisi "somplak" itu bilang, "Hati-hati gus, di sini rada-rada angker. Bangku-bangku suka bergerak sendiri, pintu kantor suka terbuka sendiri dan di dalam sel tahanan sering terdengar suara-suara berisik. Kalo diperhatiin emang beneran serem juga. Asyeeeemmm!!! Jadi gak bisa tenang tidur gue.

Rabu, 12 Desember 2012
Keesokan harinya bang Cris menepati janjinya. Pagi-pagi dia mentraktir kita makan lontong sayur di warung depan Polsek. Para polisi sudah mulai berdatangan ke Polsek. Sebelum gue berangkat, alangkah bagusnya kalau foto bareng dulu sama bapak polisi-polisi gaul ini. Jarang-jarang gue foto sama polisi. Okeh, pasukan berbaris, saatnya kita TOBAR alias foto bareng. Pret pret pret. Selesai. Waktunya BERANGCUUUUTTT!!!

Suasana di pagi hari


Makasih banget buat segenap penghuni Polsek Lubuk Pinang terutama Bang Arjunoko, bang Cris dan pak Nur yang sudah mau nerima dan nemenin malam gue di Lubuk Pinang, Muko-Muko ini. Kapan-kapan kita tanding PS lagi, itu juga kalau kalian sudah jago mainnya. Minimal kalian sudah bisa masukin bola pake pantat *Ngakak*. Gak salah milih Polsek ini sebagai tempat bermalam. Orangnya seru-seru, lucu dan gaul-gaul. Pengalaman yang gak bakal ada kalau gue bermalam di hotel-hotel. Yang pasti kebencian gue terhadap polisi sudah agak berubah. Gue sadar gak semua polisi itu "hina" seperti yang gue pikirkan. Hanya karena satu orang polisi yang kurang ajar, mereka yang baik-baik jadi terbawa-bawa jelek. So, jangan mudah menuduh si A, si B, si C, itu kejam. Kenali dulu orangnya. Masih banyak polisi baik di Indonesia ini.
"Salam Silaturahmi"




Personil Polsek Lubuk Pinang beserta Kapolsek. Salam Silaturahmi.

Minggu, 28 September 2014

Aku bukan bang Toyib!!!


Halaman 12

Keluar dari Kota Bengkulu, gue langsung memasuki wilayah Kabupaten Bengkulu Tengah, kabupaten ke-9 di Sumatera. gue mampir di SPBU daerah Pondok Kelapa untuk mengisi jerigen yang sudah kosong. Tapi pegawainya bilang gak diperbolehkan ngisi jerigen. Dengan sedikit memelas, gue menjelaskan kalau gue lagi keliling Sumatera. "Gak bisa, Mas", jawab orang itu. Huft, medit banget nih orang. Pelit!! padahal gue udah memasang muka diambang kehancuran. "Memang sudah aturannya begitu, Mas," lanjut pegawainya. Ya sudahlah, gue harus mengikuti peraturan yang ada. Daripada dia nanti dipecat gara-gara melanggar aturan.

Gak lama berjalan, gue sudah tiba di Kabupaten Bengkulu Utara. Kabupaten ke-10 gue. Memang di Kabupaten Bengkulu Tengah yang beribukotakan Karang Tinggi, hanya dua kecamatan saja yang masuk di Jalur Lintas Barat (cuma 15 km perjalanan sudah melintasi kabupaten). Kalo gak percaya, buka aja peta, lihat dengan menggunakan mikroskop. Pasti keliatan jelas jalannya, bahkan kalo lagi beruntung, bisa keliatan orang lagi mandi di sungai.

Perjalanan kali ini masih ditemani suasana laut Bengkulu. Apalagi setelah melewati daerah Lais, gue menemukan tempat yang sangat keren buanget. Tempatnya itu berupa tebing-tebing tinggi gitu, berwarna gradasi kuning oranye dan tepat berada di pinggir laut. Pemandangan yang jarang gue temui di Jawa. Ditambah pula dengan birunya air laut yang menjadikan pemandangan tersebut laksana lukisan dari Allah SWT. Cakep!!!

Berasa pengen terjun bebas dari tebing

Namun sebelum gue tiba di tempat seindah ini, hampir aja nyawa gue masuk ke dalam jurang. Gimana tidak. Waktu sedang asik memacu kuda besi dengan sepenuh hati, gue melihat sebuah tikungan di depan. Pas melintasi tikungan, jalan tiba-tiba langsung mengecil, hanya cukup untuk satu motor. Ada sebagian jalan yang amblas atau abrasi. Kalo amblasnya pas di dataran rendah sih gak masalah, tapi ini di dataran agak tinggi, cuy!!! Lengah sedikit saja, bisa-bisa gue ditemani dengan si motor langsung terjun bebas masuk ke jurang. Tapi rasa kaget yang gue rasakan, terbayar lunas ketika melihat pemandangan tebing-tebing seindah ini.
kalo dari kota bengkulu ke padang lewat jalur barat, pasti lewatin tempat ini

Lanjut perjalanan. Masih di Bengkulu Utara dengan ibukotanya Arga Makmur. Sampailah gue di Pasar Ketahun (90 km dari Kota Bengkulu). Gue melihat sebuah Logo Pertamina. Langsung si motor gue belokan ke kanan jalan. Gue memantau sekeliling SPBU. Jangan-jangan di SPBU ini gak boleh mengisi jerigen juga. Dari kajauhan gue melihat seorang petugas pertamina berpakaian serba hitam, berbeda dengan petugas biasanya yang memakai baju merah. Gue menghampiri petugas berbaju hitam tersebut dan mengajak ngobrol petugas yang lebih mirip tukang aer keliling di komplek perumahan. Setelah lobi-lobi sambil masang muka melas-mules, akhirnya gue diijinin juga ngisi bensin dalam jerigen. Alhamdulillah.

Perjalanan dari Pasar Ketahun  masih seputar pemandangan birunya laut. Memang garis pantai yang dimiliki Kabupaten seluas 4.424,60 km2 ini cukup panjang yaitu 260 Km lebih. Tapi kadang-kadang pemandangan laut tersebut berubah drastis menjadi jalur wisata kebon sawit dan gak ketinggalan pohon karet yang membosankan. Gimana gak bosan, sejauh mata memandang yang ada cuma sawit sawit dan karet. Ada sih rumah, tapi cuma satu dua dan itu pun dengan jarak 10 km baru bisa ketemu rumah lagi. Untung gue jalan lewat sini pas siang hari, kalau malem-malem, gak kebayang deh gimana horornya. 

Sampai juga di perbatasan Kabupaten Muko-Muko (140 km dari Kota Bengkulu). Kabupaten terakhir di Bengkulu sebelum memasuki Provinsi Sumatera Barat. Sudah 11 Kabupaten terlewati di Sumatera ini. Di daerah Muko-muko Selatan, hujan turun begitu derasnya. Ponco segera gue pakai. Beginilah resiko jalan di musim ujan. Tiap hari pasti kebasahan, sampai sepatu pun gak pernah kering-kering. Udah hujan deres, tiba-tiba si motor mati. Apeess!!! Gue membuka ikatan jerigen dan langsung mengisi tangki dengan bensin cadangan.

Hujan mulai berhenti. Gue merapihkan ponco di areal SPBU sambil ngisi BBM. Kuda besi gue akhirnya bisa menyambung hidup lagi. Gue bertanya kepada seseorang pengendara motor yang baru selesai mengisi bensin.
"Misi bang mau tanya, Sumatera Barat masih jauh gak yah??"
"Oh jauh banget Mas, tiga jam lagi perbatasan," jawab dia sambil mengikat barang bawaannya di belakang motor.

Waktu sudah pukul lima sore. Gue segera memacu gas menuju Sumbar. Di perjalanan, tiba-tiba ada sepeda motor menghampiri ke sisi kanan gue. Motor itu terus menyeimbangi laju motor gue. Gue langsung melihat si pengendara motor tersebut. Ternyata dia adalah orang yang tadi gue tanya sewaktu di SPBU.
"Mau ke mana mas?" tanya dia sambil menyeimbangi laju motor gue.
"Mau ke Padang, Bang," jawab gue.
"Lagi jualan pakaian yah, Mas??"
Eh buset, dikira gue lagi jualan kolor!!! "Bukan bang, saya lagi turing. Keliling Sumatera."

Kita berdua bercerita sambil mengendarai motor. Ternyata eh ternyata kata orang tersebut, biasanya orang Jawa itu kalau jualan di Sumatera pakai tas gede kayak gue ini. Hemm, tapi gak gitu juga kaleees!!! Masa muka keren kayak gini dibilang tukang kolor *garuk-garuk aspal*.

Nama orang itu adalah Andi. Dia ternyata asli orang Serang, Banten. Dia menghampiri gue karena melihat plat nomer motor gue yang berinisial B (Jakarta). Dia ini sudah tiga tahun bekerja di sini sebagai tukang antar roti. Istrinya pun juga orang asli Muko-Muko. Memang sebagian besar penduduk Muko-muko ini adalah transmigran yang berasal dari Jawa (37 %), Sunda (6,3 %), Minang (5,4 %), dan sisanya dari Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai, Lembak, serta lainnya. Bengkulu, termasuk Muko-muko, memang sejak zaman Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu.

Gue diajak singgah di rumahnya, tapi gue putuskan untuk jalan terus karena gue harus nguber waktu untuk sampai di Sumbar. Padahal pantat gue udah pegel banget inih. Minta dikompres pake batu es.

Oia. Kalau ditanya, bosan gak sih jalan sendirian naek motor? gue pasti bakal jawab, sangat teramat bosan dan ngantuk pake banget. Secara gak ada temen ngobrol di jalan. Cuma kuda besi gue yang terkadang gue ajak curhat kalau gue lagi kangen sama tukang combro. Namun gue punya solusi bagaimana cara mengatasi rasa bosan di jalan dan berasa ngantuk. Caranya yaitu, pikirkanlah sesuatu hal yang membuat si otak selalu berpikir. Jauhkan dari pikiran ngantuk dan cape. Misal, gue selalu berpikir tentang perencanaan rute selanjutnya, tempat-tempat menarik apa saja yang harus dikunjungi nanti, mikirin keluarga di rumah, ngebayangin masa depan gue yang suram, sampai "bokep" pun gue bayangin. Hina banget kan? Tapi semua itu agar si otak tidak kosong melompong. Karena sekalinya pikiran kita kosong, seketika itu pula rasa bosan dan kantuk akan melayang-layang masuk ke dalam pikiran. Jadi, mending mikirin kebo telanjang daripada kalian nyipok pohon sawit akibat ngantuk. 

Jika suasana sekitar sangat kuat pengaruhnya bikin kalian bosan dan ngantuk, sampe mikirin anjing cipokan pun dah gak mempan lagi menghilangkan kantuk, apalagi mikirin macan pake beha. Kalau sudah begini, gue punya jurus andalan. Gue pasang headseat dalam-dalam ke lubang telinga. Gue setel lagu Mp3 andalan. Lagu ini memang dikhususkan jika suasana kantuk udah gak bisa gue kendalikan. Lagu-lagu ini bisa bikin mata gue melek lima senti sambil ikut bernyanyi dan bergoyang di atas motor. Langsung saja kita mainkan lagunya. Putar terooos lagunya bang!!!

Sayang, aku!!
Bukanlah Bang Toyib 
Yang tak pulang pulang
Yang tak pasti kapan dia datang
Sabar, Sayang!!
Sabarlah sebentar
Aku pasti pulang
Karna aku, bukan aku, bukan bang Toyib
eeee a, eeeee aaa
Sudah tunggu saja, diriku dirumah (timpak din ding Hoooyy)
#Wali Band - Aku Bukan Bang Toyib.

Denger lagu ini, gue jadi merinding. Mudah-mudahan gue bukan salah satu dari keturunannya bang Toyib yang tiga kali puasa tiga kali lebaran kuda, gak pulang-pulang ke rumah. Amin. Hehehe

Senin, 22 September 2014

Berpisah dengan Keluarga Shincan


Halaman 11

Selasa, 11 Desember 2012
Pagi ini gue nganterin Oscar dan Angel pergi ke sekolah lagi. Ini terakhir kalinya gue nganterin mereka ke sekolah. Yup, karena hari ini gue akan melanjutkan kembali perjalanan menuju Sabang. 
Di depan gerbang sekolah, "Nanti siang kita jalan lagi ya O'om!!" Angel berkata dengan polosnya.
"O'omnya mau pulang hari tau!" jawab Oscar. Seperti biasa, mereka selalu berdebat. Perdebatan lucu.
"Terus kapan ke sini lagi O'om? kita keliling lagi nanti," tanya Angel.
Sambil tersenyum gue cuma bilang, "Pasti!" Gue mengepalkan tangan.
"Janji ya O'om??"
"Iyaah, toss dulu dong." Kedua telapak tangan gue angkat dan gue buka selebar-lebarnya. Mereka pun membalas dengan menepak tangan gue, dan mereka langsung berlari masuk. 

Sedih juga rasanya berpisah dengan mereka. Sebelum berangkat meninggalkan kota, gue pengen banget mengunjungi satu lagi objek wisata yang belum sempet gue datengin kemaren. Benteng Marlborough. Padahal benteng ini tepat berada di depan Kampung Cina, tapi dari kemarin gue cuma numpang lewat doang muter-muter di sekeliling benteng. Kang Sunar bersedia mengantarkan gue masuk ke dalam benteng. Dia bela-belain telat masuk dinas.
Bagian depan benteng

Pukul 08.00 kita berdua pergi menuju benteng. Namun, sesampainya di Benteng Marlborough, belum ada penjaga yang datang, sepi, dan pintu gerbang bentengnya pun masih tertutup rapat. Kita kepagian datangnya. Gagal sudah gue melihat ke dalam benteng bersajarah tersebut. Tiba-tiba Kang Sunar turun ke bawah jembatan yang ada di depan gerbang. Dia pun memanggil gue, menyuruh gue mengikuti jejaknya. Dengan sedikit mendaki tembok, ternyata kami sudah sampai di balik gerbang yang terkunci tadi. Jadilah kami itu bagai Ninja dari Majapahit yang menerobos pertahanan Benteng Takeshi. Tapi, kok ada pintu gerbang lagi di depan? Wealah!! dan kali ini tembok besar dan tinggi menghalangi jalan kami. 

Ternyata untuk masuk ke dalam benteng, kami harus melalui dua gerbang yang sangat besar. Kang Sunar terus mencari celah untuk bisa melewati gerbang kedua. Dia pergi ke sana pergi ke sini, naek sana, naek sini, loncat sana sini, salto, kayang, nari piring sambil salto, udah kayak Jacki Chan lagi kebelet pipis.

Kang Sunar yang sudah berada di atas tembok nyuruh gue manjat. Gilaaaa!!! Gue harus manjat tembok setinggi 3 meter lebih. Gue jelas gak berani. Dia mah enak tiap hari digenjot terus buat latihan fisik. Lah, kalau gue? Cuma orang kerempeng yang bisanya tidur sambil diiringi musik gambang kromo. Kalau lagi sial terus jatoh gimana? Masa baru 3 hari di Sumatera tiba-tiba harus pulang lagi ke Subang karena jempol kaki keseleo.

Karena gue males mendaki tembok, kang Sunar ngajak jalan ke bagian belakang benteng. Siapa tau ada pintu lain yang lupa digembok. Pemberontakan kami terhadap Kaisar Tong Feng pun masih terus berlanjut. Sesampainya di belakang benteng, lagi-lagi pintu gerbang besar menghadang kami. Gerbangnya masih tertutup lengkap dengan rante segede betis ngegantung melilit di pegangan gerbang tersebut. 

Kang Sunar mendorong pintu tersebut. Kreeekkk, terdengar suara pintu bergesekan dengan lantai. Gerbangnya bergeser. Namun, rante besar melarangnya untuk terbuka. Pintu hanya terbuka satu jengkal. Gue coba mengintip ke dalam sana. Gak banyak yang bisa gue liat, hanya sebuah meriam tua yang berdiri kokoh dengan taman-taman hijau di sekitarnya. Kang Sunar masih terus kayak Jacki Chan kebelet boker, mencari jalan masuk ke dalam benteng. Apa boleh buat. Sepertinya memang belum ditakdirkan masuk ke dalam sana. Namun dari sini, gue bisa melihat langsung pemandangan biru lautan lepas. Mungkin karena posisi benteng yang berada di atas bukit kecil jadi pemandangan sekitar nampak begitu jelas. Terlihat juga Pantai Tapak Padri dari benteng.

Menurut Artikel yang gue baca. Banteng Marlborough atau yang bahasa kerennya Fort Marlborough adalah benteng peninggalan Inggris di kota Bengkulu. Benteng yang kalau dilihat dari atas seperti Kura-kura ini didirikan oleh East India Company (EIC) tahun 1714-1719 di bawah pimpinan gubernur Joseph Callet sebagai benteng pertahanan Inggris. Konon, benteng ini merupakan benteng terkuat Inggris di wilayah timur setelah benteng St. George di Madras, India. 
Fort Marlborough

Nama benteng ini menggunakan nama seorang bangsawan dan pahlawan Inggris, yaitu John Churchil, Duke of Marlborough I. Benteng ini tergolong yang terbesar di kawasan Asia. Benteng ini didirikan di atas bukit buatan, menghadap ke arah Kota Bengkulu dan memunggungi Samudera Hindia. Gak nyangka, gue bisa melihat kebesaran kekuatan penjajah kolonial pada masanya dengan bangunan benteng yang besar tiada terperi yang masih terjaga kelengkapannya. Saluuut!!!

Tidak berhasil menculik Putri Hime dari dalam Fort Marlborough, pukul 09.30 WIB, gue pun berangkat dari Kota Bengkulu. Makasih sebesar-besarnya buat kang Sunar dan Mami, terutama Dua Bocah Ngeselin-Oscar si Shincan dan Angel si Himawari. Pasti bakalan kangen banget sama bawelnya mereka berdua. Sebelum berangkat, kang Sunar menyelipkan uang di tangan gue. Rezeki gak boleh ditolak, hehehe. 

Gue mendapatkan lagi satu pengalaman yang berharga. Mungkin kalo gue gak senekad ini. Gue gak bakalan bisa sampe dan ketemu dengan saudara-saudara gue di Sumatera. I love adventure. 
Menerobos benteng takeshi

Tujuan gue selanjutnya adalah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Provinsi di mana gue bakalan gila tempat wisata. Berangcuuuut!!!

Sabtu, 20 September 2014

Tour di Bumi Rafflesia

Halaman 10

Di Kota Bengkulu, gue dapet guide yang mau nemenin gue keliling kota. Siapa lagi kalo bukan Oscar dan Angel. Seperti halnya para guide, mereka berdua dengan lugas dan pede menerangkan setiap tempat dan jalan yang kita lewati di kota seluas 144.52 km2 ini. Terbilang pintar untuk bocah seumuran mereka. Terkadang lucu kalau mereka lagi ngejelasin. Kadang mereka kompak menjelaskan, namun terkadang mereka berdebat karena berbeda penjelasan. Mirip kayak perdebatan Jakarta Of Lawyer versi Shincan.

Pertamax, kami pergi mengunjungi Museum Bung Karno atau rumah pengasingan yang berada di pusat kota di Jalan Sukarno-Hatta, Anggut Atas, Bengkulu. Ttidak jauh dari Kantor Walikota Bengkulu. Lokasinya berjarak sekitar 1,6 km dari Kampung Cina.

Di bangku sekolah dulu, kalian pastinya tau tentang tempat pengasingan Ir. Soekarno atau lebih akrab dipanggil bung Karno di Bengkulu pada 1938-1942 (kalau yang gak tau, mungkin Kalian lagi ijin pipis atau alpa pas pelajaran sejarah). Nah, di rumah ini tersimpan benda-benda peninggalan bung Karno yang memiliki nilai-nilai sejarah. Ada sepeda ontelnya bung Karno, beragam buku koleksi bung Karno, sejumlah foto-foto yang dipajang di beberapa ruangan gitu. Bahkan, ada pula surat cinta bung Karno untuk Ibu Fatmawati #So Sweeett Buanget. Terpajang juga kursi, meja, pintu, jendela, lemari hingga tempat tidur yang digunakan bung Karno. Sampai sebuah mesin jahit antik yang dulunya dipakai Ibu Fatmawati ada di sini. Bahkan kalau masih ada ember bekas rendeman baju beliau, mungkin bakalan dipajang juga di sini.
Gue dan Oscar

Selain Museum Bung Karno, sekitar 500 meter, ada wisata museum sejarah lainnya, yaitu Rumah Fatmawati. Lokasinya dekat Bundaran Simpang Lima di depan Kantor Walikota Bengkulu. Sayang, dua bocah itu sudah pengen pergi ke pantai, jadi gue gak sempat masuk ke Museum Fatmawati. Sumpah, dari tadi berisik banget nih bocah. Gak konsen gue melihat pemandangan sekitar. "Cape lah Om, Cape lah Om, kita ke pantai!" sambil betot-betot baju gue, mereka terus dan terus  maksa gue pergi ke pantai. Aaargh!!! (ket: Cape=Cepat).
Angel sedang merajok pengen main di pantai

Gak lama kami meninggalkan Rumah Bung Karno, terlihat sebuah masjid yang sangat amat gede banget. Gue pun tertarik untuk menghampirinya. Lantas gue bujuk dua bocah itu, gue berjanji ngajak maen kuda-kudaan di atas kabel listrik kalau mereka mau mampir ke masjid. Akhirnya mereka pun nurut. Anteng. Nah, begini kan enak ngeliatnya, patuh, gak berisik dan gak betot sana betot sini.

Masjid Raya Akbar At Taqwa, nama yang terpangpang di depan masjid tersebut. Masjid yang dibangun pada tahun 1988-1989 dengan berwarna serba putih ini memiliki taman yang cukup luas dengan gaya penataan layaknya taman di halaman istana atau alun-alun kecil di halaman keraton gitu. Gak salah kalau masjid ini menjadi kebanggan warga Bengkulu.
I Like Masjid!!!

Angel dan Oscar mulai mengoceh lagi pengen cape-cape pergi ke pantai. Hadew, gimana caranya yah biar mereka bisa diem, lima menit aja. Kita pun lanjut pergi menuju ke Pantai Panjang. Gak begitu lama, akhirnya kami sampai di Pantai Panjang. Ternyata letak dari satu lokasi ke lokasi wisata yang lain, gak terlalu jauh, asal tau jalannya aja. Untung gue bawa dua guide cilik, jadi gak pakai nyasar-nyasar dulu. Yah, walaupun agak sedikit bikin menyebalkan.

Gue memantau dan mencari-cari tempat yang enak untuk berhenti. Sebenernya banyak tempat parkir di sekitar pantai, namun cuaca terik membuat kulit gue seperti terbakar. Panas banget. Lantas gue putuskan untuk pulang dulu dan sore nanti balik lagi ke pantai sambil melihat sunset-sunset gitu. Lagian, pantainya masih keliatan sepi, belum ada we-cewe pake baju renang #Eeh. Si Oscar dan Angel masih kekeuh mau berenang di pantai sekarang juga. Buset, nih bocah apa gak takut jadi babi panggang, berenang di cuaca panas gini. 

Sampai di rumah, Oscar ngajak gue main Playstation (PS) di rentalan. Untuk kali ini, dia gak bakalan bisa menang. Kalau main Domino gue boleh kalah, tapi kalau PS, jangan harap dia bisa tersenyum lebar. Kami pun mulai menunjukan skill permainan masing-masing. Namun seperti yang sudah gue bilang, level permainan dia masih berada jauh tenggelam di bawah gue. Sudah beberapa permainan kita mainkan, mulai dari balapan, berantem, main bola, tetris, dan hasilnya tetep sama. "I'm Winer. I'm Wineerrr. I'm Wineeeeerrr. You Loseerrr!!! Yeaaahh," teriak gue sampai semua orang di dalam ngelihatin gue. Bodo amat, mereka mau bilang gue gila atau gak punya kemaluan. Yang penting gue bisa ngalahin nih bocah. Buahahahaha (akibat kalah terus main Domino). 

Pukul 15.00 WIB. Mereka, Shinchan bersaudara, terus menagih janji pergi ke pantai. "cape lah o'om, kata o'om nanti sore mau ke pantai." Repot juga kayaknya punya anak yang over pinter, ribet ngeladeninnya. Karena cuaca masih panas, gue membujuk mereka untuk berkeliling ke tempat lain dulu. Mereka pun mengajak gue ke Pantai Tapak Padri yang letaknya gak jauh dari kampung cina, bahkan bisa dengan berjalan kaki. 

Di Pantai Tapak Padri banyak warung-warung lesehan untuk mejeng-mejeng para anak muda. Nampak juga pemandangan gugusan pegunungan Bukit Barisan yang panjang tiada terperi. Karena gue kurang suka dengan keramaian yang terlalu over, gue pun meminta para guide itu lanjut ke tempat berikutnya. Sampailah gue di Pantai Jakat. Gak ada yang menarik di sini. Cuma ada aktivitas para nelayan tradisional yang tinggal di sekitar kawasan pantai. Tapi kata Oscar, pantai ini biasanya selalu ramai dikunjungi masyarakat setiap sore apa lagi kalau hari minggu.

Kami terhenti di sebuah bangunan kecil beratap seperti kubah. Tugu Monumen Thomas Parr. Begitu yang Angel bilang. Letaknya kurang lebih 200 m dari Kampung Cina (Berdekatan dengan pintu gerbang naga). Pada salah satu dinding di dalam tugu, terdapat sebuah prasasti, tapi sayang, sudah susah untuk dibaca. Monumen ini dibangun untuk mengenang Thomas Parr, seorang Residen Bengkulu dari Inggris yang tewas ditikam dan kemudian digorok kepalanya oleh penduduk setempat pada tahun 1807 ketika ia tengah beristirahat di rumahnya. Thomas Parr dikenal sebagai penguasa Inggris yang angkuh dan ganas. Dia adalah orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi dengan tanam paksa di Bengkulu. Pantes aja dia dibunuh dengan sangat kejam. Orangnya sombong dan sadis (Untuk adek-adek di rumah jangan ditiru jejak om Thomas ini yah!)
Monumen Thomas Parr atau biasa disebut "kuburan bulek"

Pada tahun 1808 Inggris mendirikan monumen untuk memperingati si Thomas Parr. Luas bangunan tugu ini seluas 70 meter persegi, tinggi 13,5 meter persis di depan kantor Pos Bengkulu. Inggris mendirikan monumen ini sebagai penghargaan dan penghormatan terhadap Thomas Parr, sementara bagi rakyat Bengkulu ditafsirkan sebagai penghargaan terhadap para pejuang tak dikenal yang telah mati dalam mempertahankan hak dan kemerdekaan tanah leluhurnya dari penindasan kolonial Inggris. Kuburan Bulek ini juga merupakan simpul persatuan rakyat Bengkulu. MERDEKAAAA!!!

Tak jauh dari tugu tersebut, berdiri sebuah menara yang amat tinggi dengan warna dasar putih dengan garis-garis merah. Ternyata menara ini adalah salah satu bangunan yang pertama kali akan memberitahukan kepada warga Bengkulu jika ada tanda-tanda tsunami. Jadi seperti mengawasi gerakan gelombang di Samudera Hindia gitu. Seperti yang kita ketahui bahwa Provinsi Bengkulu termasuk daerah rawan bencana gempa dan tsunami karena posisinya yang berada di garis patahan Sumatera yang aktif. 
Gue pengen naek ke atas Vie Tower. Aaaarrrgh!!!

Menara setinggi 43 meter tersebut terletak di Kelurahan Malabero dan sering disebut sebagai View Tower. Di dalamnya dilengkapi ruang pemantau tsunami serta sirene tanda peringatan dini tsunami. Gue pengen banget naek ke atas menara, biar bisa melihat keindahan kota Bengkulu dari atas. Tapi kata penjaganya, masih dalam tahap penyelesaian, jadi belum bisa naik ke puncak View Tower.  

Cuaca sudah mulai adem, saat yang pas untuk bermain di pantai. Sampai di parkiran, dua bocah itu langsung berlari ke arah pantai, buka baju dan nyemplung ke laut. Eh buset, padahal ombaknya lumayan gede. Gue aja serem banget lihatnya. Tapi namanya juga bocah, mulut gue udah bebusah ngomong, gak digubris sama sekali. Mungkin mereka sudah terbiasa berenang di sini. Mata gue terus memantau mereka berdua, takut kalau tiba-tiba diculik sama Plangkton musuhnya Spongsbob dan dijadiin bahan utama pembuatan krapy patty rasa dodol. Heem, gara-gara dua bocah itu juga, gue jadi gak bisa lihat pemandangan cewe-cewe kece yang lagi lari-lari sore di pinggir pantai. Hadeew!!!

Pantai Panjang. Seperti namanya, Pantai Panjang memiliki garis pantai yang sangat panjang banget. Panjangnya lebih dari tujuh kilometer. Anehnya jika kita biasanya melihat pohon cemara di gunung-gunung, tapi di sini pohon tersebut berjejer di sisi-sisi pantai. Katanya, di masa lalunya, Pantai Panjang lebih dikenal dengan nama Pantai Nala. Mungkin karena keabisan kontrak, kemudian berganti nama menjadi Pantai Gading Cempaka, meski belakangan julukan Pantai Panjang lebih sering digunakan masyarakat. Setiap sore banyak warga sering nongkrong di pinggir pantai walau hanya untuk sekedar makan-makan dan minum es kelapa. Banyak juga orang ke sini untuk berolahraga seperti lari-lari, main sepak bola dan volly di pinggir pantai. Asoy banget kan!!
Bersama sodara gue-guide cilik gue di Pantai Panjang


Gak nyesel pokoknya kalau berkunjung ke Bumi Rafflesia ini. Bengkulu memang memiliki potensi wisata bahari yang beragam. Wisatawan yang datang tak hanya dapat menikmati keunikan pantai-pantainya, tapi juga berselancar, menyelam, mau pun snorkeling. Salah satu wilayah yang memiliki keindahan bawah laut adalah Pulau Tikus. Di pulau ini juga terdapat sebuah mercusuar tua dan jangkar besar sebagai peninggalan jejak Inggris di Bengkulu pada masa lalu. Karena waktu dan tipisnya dompet, alhasil gue belum bisa menikmati pemandangan bawah lautnya *mewek*. Puas main air dan cuci mata, kami pun pulang.

Setibanya di rumah, "Dah saya bilang jangan berenang di Pantai Panjang. Ombaknya besar. Bisa hanyut kalian!!!" Si Mami ngomel-ngomel. Mirip banget kayak Shincan diomelin sama emaknya. Dua bocah itu cuma ketawa-ketawi sambil lari ke kamar mandi. Gue langsung meminta maaf karena sudah membiarkan mereka mandi di Laut. Kata kang Sunar yang baru pulang dinas, di Pantai Panjang sebenarnya tidak diperbolehkan berenang karena ombaknya yang terlalu besar, jadi rawan bagi anak-anak. Sering ada kejadian orang tenggelam diseret ombak #GLEK!!!. Gue sampe nelen ingus. Buseet dah!! Pantesan aja gak ada orang yang berenang kecuali mereka berdua. Untung dua bocah itu gak kenapa-kenapa. Mungkin karena mereka pangeran dan putri iblis, jadi penunggu Pantai Panjang gak ada yang berani nyentuh mereka. . .Bisa jadi!!

Malam harinya kami makan-makan bersama di rumah. Dan gue baru tau kalo ternyata si Mami itu asli dari Pulau Nias. Pucuk di cinta ulam pun tiba. Nias adalah salah satu tujuan gue selain Sabang. Dia tinggal di pulau kecil di pinggiran Pulau Nias. Namanya yaitu Kepulauan Batu. Si Mami menceritakan tentang keindahan pulau-pulau kecil tersebut, pantainya, lautnya, orang-orangnya, dan gugusan pulau-pulaunya yang tersebar. Gue cuma bisa nadahin iler doang pake baskom, terus gue tenggak lagi iler gue. Si Mami nyuruh gue mampir ke kampung halamannya tersebut. Kebetulan banget, lumayan kan kalau bisa mampir ke tempat si Mami nanti. Bisa gratisan. Hehe

Hari yang benar-benar melelahkan sekaligus menyenangkan bisa jalan-jalan bersama sodara jauh gue. Entah, kapan lagi gue bisa merasakan hal semacam ini lagi. Seperti julukannya, Bumi Raflesia akan menjadi bunga terlangka dalam hati gue. Kenangan yang hanya akan gue dapet di sini. Di Kota Bengkulu.
Salam Silaturahmi untuk Bumi Raflesia-Bengkulu

Jumat, 19 September 2014

Saudara Jauh

Halaman 9

"Selamat Datang Di Kota Bengkulu". Ketemu juga dengan gapura yang udah gue cari-cari dari tadi. Gue langsung nyari alamat di mana sodara gue tinggal. Di SPBU sambil mengisi bensin, gue menanyakan alamat tersebut ke penjaga yang mukanya beda tipis sama Andy Lau abal-abal. Dia bilang, letak alamat tersebut berada jauh di ujung kota, tinggal lurus terus sampai mentok.

Kampung Cina, itulah tempat di mana saudara gue tinggal. Gue memasuki sebuah pintu masuk berupa gapura dengan atap lengkung khas Tiongkok, dihiasi dua pasang naga dragon ball dan sebuah bola api. Di dalam, kebanyakan isinya rumah toko atau ruko-ruko di sisi kiri dan kanan jalannya. Sepi, hanya ada lampion-lampion berwarna merah menyala yang dipasang di setiap penjuru kampung, menambah ciri khas ke-tionghoa-an.

Sodara gue sudah menunggu di depan salah satu ruko dekat Vihara Budha. Ternyata ruko itu adalah tempat tinggalnya bersama istri dan anak-anaknya. Nama saudara gue adalah Kang Sunar. Dia adalah saudara dari bapak gue. Bisa dijabarkan kayak gini: Jadi nenek gue dari bapak itu kaka-beradik dengan nenek neneknya beliau yang suka ngangon kambing bareng nenek gue.
Jujur, gue dari dulu gak pernah tau struktur mukanya kang Sunar kayak gimana. Terus terang aja, baru kali  ini gue bertemu dengan beliau. Walaupun saudara, tapi jarang banget ketemu bahkan saking jarangnya, gue sampai gak tau mukanya gimana. Bulet, lonjong apa rata?? Beliau memang jarang pulang ke kampung halaman sejak menjadi BRIMOB dan ditugaskan di Bengkulu. Tapi menurut pengakuan kang Sunar, waktu gue masih bocah ingusan, gue sering digendong, dicubit sampe dibikin nangis. Tapi gue sama sekali gak inget apa-apa, atau jangan-jangan gue yang sudah hilang ingatan *bongkar otak*. 

Total perjalanan hari ini telah menempuh jarak 384 km. Untuk perolehan sementara, gue dan si motor sudah melewati 8 kabupaten dan 2 Kotamadya di Sumatera. Laporan selesai. Tuuut!!!

Setelah menaruh barang-barang di rumah, gue diajak makan di luar sama kang Sunar. Dengan menggunakan motor, kami pun pergi ke suatu tempat jajanan gitu di dekat gerbang masuk yang ada naganya tadi. "Mau makan apa? Pilih aja sesuka kamu. Biar saya yang bayar," ucap kang Sunar. Waaaw, gak sia-sia gue bergelut dengan gelapnya hutan sawit Bengkulu sambil komat-kamit baca surat kulhu. Dapat makanan gratis tis tis testis #Eh.

Gue milih nasi goreng sea food ditambah teh anget sebagai santapan malam kali ini, lumayan untuk menghangatkan badan. Gue pun menceritakan ide "gila" ini kepada kang Sunar. Menceritakan tentang impian gue pergi ke Sabang, dan beliau hanya heran seheran-herannya dengan ulah gue yang satu ini. Beliau gak menyangka kalau gue bakalan jadi anak "gelandangan" kayak gini,  yang dulunya gue itu anak rumahan, cupu, katroo, ndusun, cemen, kudet, bapuk, caur, terus apa lagi yah? Pokoknya paling enggak banget dah. Tapi sekarang malah keliling Sumatera sendirian, dengan bekal yang minim, dan pakai motor pula, walaupun tetep ndusun dan cupunya masih ada. Gue cuma bisa cengar-cengir mendengar celotehannya.

Yogie kecil memang sangat berlawanan dengan Yogie remaja. Gak ada yang bisa dibanggain dari Yogi kecil, kecuali kepintaran dan kegantengannya (ini serius). Orangnya ganteng, pemalu, penakut, cupu, kalau ke kamar mandi aja minta ditemenin. Namun waktu SD dan SMP jangan ditanya soal nilai raport. Yah, cukup lah untuk membuat emak bapak gue ngalahin nyengirnya kuda. Tapi sekarang malah kebalikannya. Yogi remaja itu sedikit berani, malu-maluin, dan bodoh. Nilai ujian aja hampir mendekati garis remedial. Tapi gantengnya masih tetep kok *ngaca di tutup panci*. 

Senin, 10 Desember 2012
Selamat pagi Kota Bengkulu! Pagi-pagi rabun, kang Sunar sudah pamitan mau pergi dinas, karena tiap pagi beliau wajib mengikuti Apel dan Olahraga. Istri kang Sunar yang berdarah tionghoa, sebut saja si Mami nyuruh gue sarapan. 
"Mau makan apa?" tanya si Mami yang udah berdiri di pintu.
". . . . ." Bingung.
"Di depan ada warung. Ada nasi uduk sama lontong sayur. Yogi mau apa? Biar aku pesenin," lanjut si Mami mencoba menjelaskan dan sudah siap berangkat.
"Ga usah repot-repot, biar saya makan di sana aja."
"Oh ya udah kalau gitu." gue pun langsung pergi keluar.

Selain biar gak ngerepotin si Mami, Gue milih makan di tempat, biar bisa menikmati suasana pagi di Kampung Cina. Gue mesen lontong sayur untuk menemani sarapan pagi ini. Waktunya makan sambil menikmati pemandangan Kampung Cina yang . . . SEPIIIIIII #KrikKrikKrik.

Kenapa sepi banget yah!! Padahal banyak ruko-ruko dari ujung ke ujung. Mirip pasar pokoknya. Tapi kenapa kebanyakan tokonya pada tutup, cuma beberapa toko doang yang menjajakan barang dagangannya. Udah kayak kota "Segan" alias hidup bosan, digusur tak mau. Ternyata eh ternyata dari beberapa orang yang gue tanya. Dahulu kala, Kampung Cina memang sangat ramai dan menjadi pusat perekonomian di Kota Bengkulu. Semua kebutuhan warga ada di sini. Mulai dari sembako, pakaian, peralatan rumah tangga, barang bangunan dan lain-lain dijual di sini. Daerah ini semuanya dikuasai warga Bengkulu asal Tionghoa seperti si Mami. Tapi lambat laun populasinya mulai berkurang gak tau kenapa, hanya tinggal beberapa orang saja yang masih menetap di rumah-rumah khas China yang sudah tua dan kusam tersebut. Rumah-rumah yang pada dasarnya mirip antara rumah satu dengan rumah yang lain tersebut kini banyak yang dijadikan tempat tinggal Burung Walet. Hanya beberapa rumah saja yang masih dihuni, salah satunya kang Sunar dan keluarga yang masih tetap membuka toko. 

Selesai makan, dua anaknya kang Sunar, Oscar dan Angel mengajak gue pergi ke pasar untuk membeli sayuran dan lauk-pauk. Padahal masih bocah lho, tapi udah bisa belanja di pasar sendiri. Oscar itu anak pertama kang Sunar dan masih kelas 2 SMP sedangkan Angel adalah anak kedua dan baru kelas 3 SD. Sumpah, ini dua bocah Pinter banget. Gue aja main Kartu Domino sama si Oscar gak pernah menang, kecuali kalau gue kibulin dia, baru gue bisa menang, tapi dia langsung tau kalau dia udah dilicikan. Udah gitu mereka Over Aktif gila!! Udah over weight, gemuk, nyempluk, tembeb, imut, tingkahnya macem-macem pula. Susah ngeladenin mereka berdua. Udah kayak Shincan sama Himawari adenya yang selalu bikin ulah. Waktu di pasar aja ditarik-tariknya tangan dan kaki gue. Oscar tarik sana, Angel tarik sini, Oscar betot sana, Angel betot sini. Jadilah gue kayak layangan singit yang nyangkut di baling-baling helikopter. Pusiiing! Gue udah kayak bapak tiri yang tersiksa. Aaaargh!!!

Sepulangnya dari pasar, gue nganterin Oscar pergi ke sekolah pake motor. Mereka berdua sekolah di Saint Carollus yang jaraknya lumayan jauh kalau jalannya ngesot. Sekolahannya bisa di bilang keren lah. Kebanyakan orang-orang bermata sipit dan berkulit putih semua alias tionghoa. Salah satu guru wanita berambut panjang lewat di depan gue. Aih, cantik nian!! kayak artis KaWe Korea. Dia tersenyum malu melihat gue. Bangga juga gue punya wajah setampah ini. Lantas, gue langsung pergi pulang. Pas gue liat spion motor, gue sadar, rambut gue udah kayak sarang burung dicakar anjing. Udah pake kolor doang, belom mandi, rambut kusut. Pantes ja guru tadi senyum-senyum kaga jelas liat gue *zzzZZ*

Sampai di rumah, gue diminta untuk nungguin toko karena si Mami mau masak dulu. Gue dengan senang hati mengiyakan. Istrinya itu jualan pakaian gitu dan ada mainan anak-anak juga. Oia, gue penasaran sama sebuah foto yang tergantung di dinding ruang tamu. Foto seorang wanita berambut panjang, putih mulus, mata sipit, seksi, persis kayak girl band korea. Bener-bener "macan" alias manis dan cantik. "Itu foto Mami waktu abege dulu, gi." Si Mami menjelaskan. Gilaaaa!!! Beda jauh banget sama sekarang. Gendut #Piss.

Jam 13.00 WIB, gue berencana berkeliling Kota Bengkulu. Oscar yang baru pulang sekolah langsung ngebuntutin gue terus dengan mata yang berbinar-binar. Minta diajak. Angel juga gak mau kalah dengan kakaknya, dia bela-belain bolos les hanya untuk ikut jalan-jalan dengan gue. Hadeeeww, apa boleh buat. Jadilah dua bocah chubby sekaligus "devil" ini menuh-menuhin jok motor gue. Gak tau deh, perjalanan apa yang akan terjadi nanti. Yang pasti sekarang, saatnya BERANGCUUUT!!!

Rabu, 17 September 2014

BBM oh BBM

Halaman 8

Sepi dan hening. Bang Andre udah gak bareng gue lagi. Kali ini gue berjalan sendiri. Memacu motor menyusuri ruas jalan yang gue gak tahu bagaimana situasi di depan sana. Jujur gue masih was-was. Ngeri jalan sendirian. Takut diperkosa gajah mamoth. Pikiran gue kembali bertanya-tanya. Apa gue sanggup? Apa enggak apa-apa? Apa tindakan gue ini tidak menyalahi aturan? Apa tidak terlalu berlebihan jalan dengan motor nyaris bobrok? Bahkan dengan uang yang sudah dipastikan sekarat. Dan di mana gue akan tinggal selanjutnya? Manusia-manusia seperti apa yang akan gue temui selanjutnya? Kota-kota seperti apa lagi yang ada di depan nanti? Apa Agnes Mo masih mikirin gue? Pertanyaan-pertanyaan itu terus melayang-layang di atas kepala gue. Tapi, bukannya ini kemauan gue sendiri? bukan dari paksaan orang lain. Bukannya gue sudah memutuskan meninggalkan semua kenyamanan di rumah, dan pergi ke tempat yang gue sendiri gak tau aman apa enggaknya? Kenapa gue jadi ragu begini. Ahk sudahlah, sudah terlambat untuk kembali pulang. Sudah terlalu jauh untuk balik membanting stir. Berdoa saja lah!

Selamat datang di Kabupaten Bengkulu Selatan, kabupaten ke-7 di Sumatera. Daerah pertama di kabupaten seluas 1.185,70 km2 ini adalah Kecamatan Kedurang Ilir. Bensin sudah hampir habis, indikator bensin di kepala motor hanya meninggalkan satu garis. Gue berharap di Kota Manna nanti ada sebuah SPBU untuk menyambung hidup si motor.

Dengan menempuh jarak 25 km dari perbatasan kabupaten, sampailah gue di Kota Manna, ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan. Jarak yang sudah gue tempuh dari Krui sekitar 200 km. Indikator bensin sudah berkedip-kedip dari tadi. Hebatnya, ternyata SPBU di Manaa bertuliskan "Bensin Habis". SPBU sebelumnya di Bintuhan (Ibukota kabupaten Kaur) pun juga bernasib serupa. Anjirrr!!! Susahnya mendapatkan bensin di Sumatera. Beda banget dengan di Jawa yang SPBUnya udah kayak kulit kacang, berserakan di mana-mana dengan stock bejibun alias berlimpah ruah.

Susahnya dapetin "bensin halal" (dibaca bensin dari SPBU). Anehnya banyak tukang eceran yang berjualan tepat di depan SPBU. Parah beud!! Jangan-jangan bensinnya diborong semua sama mereka-tukang pengecer. Gak tau apa, kalau gue lagi butuh. Masa harus beli di eceran? Mahal pula. Ember, mahal banget!!! Satu liternya bisa sampai 8000, bahkan lebih. Kalo gue beli di SPBU cuma 4500 perak. Plis dong, jangan serakah!!! Jangan menguntungkan diri sendiri. Tau diri lah, ada yang lebih berhak mendapatkannya (maki-maki pager SPBU).

Yasudahlah, daripada ngedumel gak jelas, mending gue lanjut jalan. Kota Manna ternyata lumayan ramai. Walaupun luasnya cuma 30 km², tapi banyak orang ber-seliwer-an di sini. Di pasar pun demikian. Orang-orang sibuk masuk keluar toko, mobil-mobil dari yang kecil sampai besar melewati jalanan aspal. Mungkin karena adanya jalan lintas menuju ke Pagaralam dan Lahat, Sumatera Selatan, menjadikan kota ini selalu ramai dikunjungi ataupun hanya sekedar lewat.

Sesampainya di Manna, gue malah agak sedikit bingung. Bukan karena gak bisa ngisi BBM, tapi melihat jam tangan masih sekitar pukul 17.00 WIB. Langit pun masih nampak terang. Gue jadi bingung mau nginep apa lanjut. Kalau nginep, di mana? SPBU di sini pada tutup, gak bisa dijadiin tempat tidur. Masjid pun pintunya gak buka 24 jam. Nginep di hotel? Lupakan saja (dibaca gak sanggup bayar). Setelah berpikir, akhirnya gue putuskan untuk melanjutkan perjalanan, toh matahari pun belum "pulang" dari pekerjaannya menyinari bumi. Gas terooos!!!

Ketika sedang berpacu dengan waktu, tiba-tiba, di perjalanan si motor mati. Aish, kehabisan bensin. Untung masih ada bensin cadangan dalam jerigen. Cuaca mulai gerimis. Beberapa detik kemudian hujan. Gue segera dorong si motor ke depan warung yang sudah ditutup oleh pemiliknya. Gak mungkin kan ngisi tangki bensin di tengah derasnya hujan? Gak semua bensin gue tuang ke dalam tangki. Gue sisakan untuk jaga-jaga bila nanti si motor mati dalam keadaan darurat. Misalnya tiba-tiba si motor mati di tengah hutan atau bisa jadi mati mendadak di tengah-tengah kuburan dan ketemu hantu Suzana. Yang jadi pertanyaan, itu hantu Suzana kenapa bisa sampai Sumatera? 

Memasuki Kabupaten Seluma, tepatnya di kecamatan Semidang Alas Maras (22 km dari Manna), hari sudah mulai gelap. Ini yang gue takutkan. Gelapnya jalanan di Sumatera bikin merinding disco. Hutan semua. Dari hutan yang beneran hutan sampai hutan bohongan (dibaca kebun sawit). Indikator bensin juga sudah mulai genit, berkedip-kedip berharap diisi oleh pemiliknya.
Perasaan takut kembali hadir tanpa permisi. Takut mogok di jalan, takut dirampok, takut diculik, takut ketemu hantu, takut diperkosa bencong-bencongan yang udah bangkotan. Pikiran tersebut terus memborbardir hati gue yang lemah ini (perang kalee di bombardir!). Namun, gue teringat sesosok manusia. Seorang yang membuat gue bersemangat menjalani ini semua. Sebut saja "Mawar". Ehk, entar dulu! Bukan Mawar deng! Terlalu Mainstream kalau Mawar. Sebut saja "Si Odah". Pas gue sampe di Kota Manna, dia tiba-tiba mengirimkan pesan singkat gitu. Padahal jarang-jarang dia menghubungi gue.

"Yogiiiiiiiii!!"
"Apaa?" gue bales.
"Gila Lo, keren, bisa keliling Sumatera."
"Kok tau? tau darimana?" bales gue sepik-sepik.
"Gimana gak tau, orang Lo sering update status di Facebook."
"Oh iya yah, doain gue yak, hihihi." 
"Beneran stres Lo, Gi, tapi keren sumpah. Salut buat Lo. Lanjutkan terus." gue cuma tersenyum girang sampe mau guling-gulingan di aspal. Tapi untung gue masih punya malu untuk melakukan hal sehina itu. 

Entah kenapa setelah perbincangan melalui Hape itu, semangat gue terus memuncak melebihi pesawat terbang di angkasa. Berkobar melebihi obor olimpiade yang tak pernah padam #lebai.co.id. Perempuan itu selalu bisa membuat gue bangkit bagai tersambar petir semangat. Membuat gue selalu tersenyum sendiri, membuat makan cireng seperti makan aci yang digoreng (Ini beneran loh, gak boong, seriusan). Gue emang merahasiakan ini dari teman-teman semua. Termasuk perempuan itu, wanita yang selalu gue kagumi dari dulu, hihihi.

Wajah gue seketika berseri. Kali ini bukan karena Si Odah, tapi karena gue melihat sebuah plang berlambang Pom Bensin di sisi kiri jalan. Ini pertanda di depan bakalan ada SPBU. Senangnya minta ampun, seperti melihat toilet waktu di tengah gurun pasir pas kebelet berak. (SPBU sekitar kurang lebih 45 km dari Manna atau 23 km setelah perbatasan).

Akhirnya selamat. Si motor bisa menyambung hidup juga. SPBUnya masih buka dan banyak sekali orang yang mengantri, pertanda bensin masih ada. Gue segera masuk ke dalam antrian untuk mengisi BBM. Biar antriannya panjang yang penting selamat, bisa menyambung nyawa si motor. Namun, ternyata gue gak dibolehin ngisi bensin ke dalam jerigen. Katanya, "kalau jerigen isinya di sebelah sana Mas." Sambil menunjuk ke arah pojok SPBU. 
Emang sih di pojokan sana khusus untuk mengisi jerigen. Tapi gak sepanjang itu juga kaleesss antriannya!!! Anjriit!!! Antriannya lebih panjang. Udah gitu jerigennya gede-gede banget, berjejer panjang, dan banyak gila. Gak mungkin banget gue bela-belain antri semaleman hanya demi satu jerigen kecil yang ukurannya gak lebih dari 5 liter bensin doang. Yah, beginilah resikonya jalan pakai motor tipe bebek. Tangkinya kecil, gak selebar motor gede. Andai pabrikan paham, coba buat motor bebek dengan tangki segede drum. Tapi pasti bingung di mana masangnya? *mikir*.

Gue istirahat di musholah SPBU untuk solat Magrib. Melihat musholah ini membuat gue berpikir untuk merebahkan badan sampai esok hari. Letih seharian di atas motor. Gue buka roti pemberian temen gue Budi yang baik tiada terperi. Walaupun jarak kita jauh, namun dia tetap selalu mengisi kekosongan, terutama perut gue ini. Entah kenapa, setiap kita berdua jalan atau backpakeran kemana saja, pasti kita selalu ditemani dengan roti. Naik gunung pun demikian, untuk bertahan hidup selama pendakian kita hanya bermodalkan roti bungkus. Bukan apa-apa, karena kita emang males masak atau lebih tepatnya gak bisa masak. Gimana kabar teman gue yang satu itu yah? Mungkin dia sekarang sedang gundah gulanah melihat teman seperjuangannya lagi berpetualang sedangkan dia hanya diam di rumah sambil belajar dan bikin PR. Di tengah lamunan, tiba-tiba ada telepon dari saudara gue.

"Sudah sampai mana, Gi??"
"Lagi di SPBU kang. Tapi di daerah mana yah??" tanya gue kebingungan. 
Setelah menanyakan kepada orang di sekitar. "Di daerah Sendawar katanya, Kang. Kayaknya nginep di SPBU sini. Udah capek." jawab gue di telepon.
"Langsung aja ke Bengkulu, nginep di sini aja." Sodara gue emang ada yang tinggal di Bengkulu.
"Ah, sien lah Kang. Takut, gelap, serem pisan."
"AMAN KOK. Satu setengah jam lagi sampai," ucapnya tegas. 
Mendengar penjelasannya, gue langsung berubah pikiran. Gue langsung pergi ke Kota Bengkulu. Mudah-mudahan ucapan dia benar.

Roti yang masih tersisa, gue buru-buru habiskan dan langsung tancap gas menuju Kota Bengkulu. Di GPS pun berjarak sekitar 95 km untuk sampai di sana. Itu artinya jika kecepatan motor konstan di angka 60km/jam maka bisa menghabiskan waktu satu jam tigapuluh lima menit untuk sampai kota Bengkulu. Asal tau aja, semenjak jalan di Sumatera, mendadak gue jadi pinter hitung menghitung rumus Fisika tentang waktu dan jarak. Emang, pelajaran itu seharusnya dipraktekan, bukan hanya sekedar teori.

Oke saatnya berangcuuut. Tapi kok gelap banget yaks? Mudah-mudahan gak ada kuntilanak ataupun sebangsanya yang numpang nebeng pergi kelabing buat ajep-ajep.

Gue masih berada di daerah Tais ibukota Kabupaten Seluma (80 km dari Manna). Sepertinya gak ada habis-habisnya gue menelusuri kabupaten yang satu ini. Gue gak keluar-keluar juga dari kabupaten yang satu ini. Masih ada 60 km lagi untuk sampai di Kota Bengkulu. Kabupaten Seluma memang sangat panjang jika dilihat di peta, dengan luas wilayah 2.321,74 km2.
Sumpah serem pisan!! udah gelap, yang ada cuma kebun sawit dan kebun sawit. Dah gitu, laju motor gak bisa ngebut, paling cepet maksimal 50 km/jam, karena banyak banget jebakan BETMEN (dibaca lobang) yang siap menghadang di tengah gelapnya malam. Kadang, gue ikutin mobil dari belakang agar terhindar dari jebakan Betmen. Lumayan kan jadi penerang jalan. Tapi namanya juga mobil, jalannya cepet banget. Dan gue harus terperosok ke dalam lubang lagi ketika situasi kembali gelap. Dua jam sudah gue tempuh, tapi perjalanan masih saja sawitan. Sudah berapa kali balikan gue membaca Surat Kulhu a.k.a AL-Ikhlas namun belum juga sampai tujuan.

Setitik cahaya terang terlihat dari ujung jalan sana. Itu bukan cahaya dari mobil. Itu cahaya lampu rumah. Akhirnya gue bisa melihat peradaban juga. Betapa senang dan leganya gue. Rasanya itu udah kayak orang tersesat di dalam goa yang gelap gulita beratus-ratus tahun lamanya terus nemuin sinar yang ternyata tukang sekuteng yang lagi nyasar di goa juga #Yipi. Pas gue baca tulisan di salah satu plang, ternyata gue baru sampai daerah Pembangunan, Kecamatan Selebar, Kabupaten Seluma. Kecamatan terakhir sebelum sampai di Kota Bengkulu. Motor pun gue pacu dengan sepenuh hati.

Selasa, 16 September 2014

Teman dan Keluarga Baru

Halaman 7

Minggu, 09 Desember 2012
Pagi-pagi bang Andre mengajak gue berjalan kaki untuk melihat-lihat sekeliling kampung. Lumayan lah itung-itung olahraga sambil cuci mata, siapa tau bisa ketemu tukang jamu gendong cantik #Cetar. Langkah kaki kami terhenti di suatu pelabuhan kecil. Pelabuhan itu bernama Pelabuhan Krui. Orang-orang di sini sering menyebutnya Pelabuhan Kecil Padang. Namun sekarang pelabuhan ini sudah tidak beroperasi lagi, hanya dipakai para nelayan untuk menjual hasil tangkapannya.


Perahu-perahu di sekitar pelabuhan Krui

Bang Andre tau banget seluk beluk daerah ini, soalnya dia pernah lama tinggal di daerah pesisir dan beristrikan orang Pulau Pisang, sebuah pulau di depan Pelabuhan Krui. Dan ternyata pria berbadan buncit itu juga pernah menjadi perompak kapal waktu zaman muda dulu. Gak percaya sih awalnya. Mana mungkin badan "buncit semangka" kayak gitu jadi perompak. Tapi pas gue lihat fotonya waktu jaman brondong dulu yang berbadan tegap, atletis, dengan tato menghiasi badannya, baru gue percaya. Iya lah percaya, fotonya dah kayak Ali Topan Anak Bajingan, hahaha *Viss bang*. 


Sarapan sudah disiapkan oleh istrinya bang Dodi yang berambut panjang dan berkulit putih itu. Setelah mamaking alias makan-mandi-dan packing saatnya kita chaw. Tujuan bang Andre selanjutnya adalah perbatasan Provinsi Lampung-Bengkulu atau tepatnya daerah Nasal sedangkan tujuan gue masih lebih jauh, yaitu daerah Manna, Bengkulu. Jam 09.30 kami meninggalkan Krui, meninggalkan teman baru bahkan keluarga baru. Makasih bang Dodi sekeluarga atas sambutan dan kebaikannya. Semoga mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.


Teman Baru. Keluarga Baru.

Sebelum meninggalkan Krui, kami mengisi bensin terlebih dahulu. Kebetulan kalau pagi-pagi gini masih banyak stock premium di SPBU Krui. Kata bang Andre, SPBU ini merupakan SPBU terakhir yang masih menyediakan premium. SPBU berikutnya adalah di Bintuhan, 100 km lebih dari Krui, tapi di sana belum pasti ada stok bensin, jadi gue mengisi penuh tangki bensin di sini saja.

Kalau sebelumnya perjalanan gue ditemani hutan-hutan, kali ini sepanjang perjalanan ditemani laut yang biru nan indah ditambah dengan deburan ombak yang lumayan besar. Bang Andre mengajak gue untuk berhenti di suatu tempat di daerah Tebekak. Katanya ada sebuah batu yang keren dan orang-orang sekitar menyebutnya dengan nama Batu Tihang. Batu tersebut berada di tengah laut yang satu-satunya menjulang tinggi seperti angka satu atau seperti tiang. Tingginya kayak tiang listrik yang nyangkut di atas pohon kelapa. Bener-bener ciamik banget!!!

Dari Krui sampai Bintuhan tidak henti-hentinya pemandangan khas pinggir laut. Hanya saja pas memasuki daerah Lemong, jalanan mengarah ke atas bukit dan kemudian memasuki TNBBS lagi. Dulu, menurut bang Andre, jalur TNBBS seksi Lemong – Merpas ada turunan atau tanjakan yang disebut "Tebing Mayit" akibat banyak puluhan korban yang melepas raganya di situ. Begitu pula jalur TNBBS seksi Sedayu ada jalan yang sangat curam di patok 50 tapi kemudian dirombak menjadi lebih landai akibat banyak kendaraan yang tidak mampu melewati tanjakan tersebut. Kadang ada beberapa kendaraan yang terjun bebas ke dalam jurang, karena rem terkadang tidak mampu menahan curamnya grafitasi. Busteeeepp, Bener-bener angker juga nih jalan!!!

Bang Andre mempunyai tempat pariwisata yang dia kelola sendiri. Gue disuruh mampir di tempat pariwisata tersebut di daerah Nasal setelah perbatasan Lampung-Bengkulu. Namun di tengah perjalanan, bang Andre menghilang entah ke mana. Entah apa dia jauh berada di depan atau tertinggal di belakang. Setelah gue tanya melalui SMS, Dugaan gue benar, ternyata dia lagi makan di warung jauh di belakang gue. Hemm, bener-bener deh!!! Tapi bang Andre sudah memberikan alamat tempat pariwisata tersebut berada yaitu di Pantai Laguna Samudra, Merepass, kecamatan Nasal, kabupaten Kaur, Bengkulu. Di situ dia bilang pemandangannya gak kalah bagus dari sebelum-sebelumnya, tapi tempatnya agak masuk ke dalam dari jalan utama.

Sampai di Kabupaten Kaur. Kabupaten pertama gue di Bengkulu atau kabupaten ke-6 di Sumatera. Gue menurunkan tempo kecepatan mencari tempat yang bang Andre maksud. Setelah cari sana cari sini, tengok sana sini, gak ada ciri-ciri tempat yang dijelaskan bang Andre. Sekian lama mencari namun hasilnya tetep nihil. Udah gak jelas rupa dan bentuknya, akhirnya gue putuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Manna. Sebenernya gak enak juga belum pamitan sama bang Andre, tapi mau gimana lagi karena gue harus cepat-cepat sampai di Manna sebelum hari gelap. Makasi bang Andre udah mau nemenin dan bantuin gue sampai sejauh ini. Gue belajar banyak banget dari beliau tentang sebuah perjalanan.