Rabu, 17 September 2014

BBM oh BBM

Halaman 8

Sepi dan hening. Bang Andre udah gak bareng gue lagi. Kali ini gue berjalan sendiri. Memacu motor menyusuri ruas jalan yang gue gak tahu bagaimana situasi di depan sana. Jujur gue masih was-was. Ngeri jalan sendirian. Takut diperkosa gajah mamoth. Pikiran gue kembali bertanya-tanya. Apa gue sanggup? Apa enggak apa-apa? Apa tindakan gue ini tidak menyalahi aturan? Apa tidak terlalu berlebihan jalan dengan motor nyaris bobrok? Bahkan dengan uang yang sudah dipastikan sekarat. Dan di mana gue akan tinggal selanjutnya? Manusia-manusia seperti apa yang akan gue temui selanjutnya? Kota-kota seperti apa lagi yang ada di depan nanti? Apa Agnes Mo masih mikirin gue? Pertanyaan-pertanyaan itu terus melayang-layang di atas kepala gue. Tapi, bukannya ini kemauan gue sendiri? bukan dari paksaan orang lain. Bukannya gue sudah memutuskan meninggalkan semua kenyamanan di rumah, dan pergi ke tempat yang gue sendiri gak tau aman apa enggaknya? Kenapa gue jadi ragu begini. Ahk sudahlah, sudah terlambat untuk kembali pulang. Sudah terlalu jauh untuk balik membanting stir. Berdoa saja lah!

Selamat datang di Kabupaten Bengkulu Selatan, kabupaten ke-7 di Sumatera. Daerah pertama di kabupaten seluas 1.185,70 km2 ini adalah Kecamatan Kedurang Ilir. Bensin sudah hampir habis, indikator bensin di kepala motor hanya meninggalkan satu garis. Gue berharap di Kota Manna nanti ada sebuah SPBU untuk menyambung hidup si motor.

Dengan menempuh jarak 25 km dari perbatasan kabupaten, sampailah gue di Kota Manna, ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan. Jarak yang sudah gue tempuh dari Krui sekitar 200 km. Indikator bensin sudah berkedip-kedip dari tadi. Hebatnya, ternyata SPBU di Manaa bertuliskan "Bensin Habis". SPBU sebelumnya di Bintuhan (Ibukota kabupaten Kaur) pun juga bernasib serupa. Anjirrr!!! Susahnya mendapatkan bensin di Sumatera. Beda banget dengan di Jawa yang SPBUnya udah kayak kulit kacang, berserakan di mana-mana dengan stock bejibun alias berlimpah ruah.

Susahnya dapetin "bensin halal" (dibaca bensin dari SPBU). Anehnya banyak tukang eceran yang berjualan tepat di depan SPBU. Parah beud!! Jangan-jangan bensinnya diborong semua sama mereka-tukang pengecer. Gak tau apa, kalau gue lagi butuh. Masa harus beli di eceran? Mahal pula. Ember, mahal banget!!! Satu liternya bisa sampai 8000, bahkan lebih. Kalo gue beli di SPBU cuma 4500 perak. Plis dong, jangan serakah!!! Jangan menguntungkan diri sendiri. Tau diri lah, ada yang lebih berhak mendapatkannya (maki-maki pager SPBU).

Yasudahlah, daripada ngedumel gak jelas, mending gue lanjut jalan. Kota Manna ternyata lumayan ramai. Walaupun luasnya cuma 30 km², tapi banyak orang ber-seliwer-an di sini. Di pasar pun demikian. Orang-orang sibuk masuk keluar toko, mobil-mobil dari yang kecil sampai besar melewati jalanan aspal. Mungkin karena adanya jalan lintas menuju ke Pagaralam dan Lahat, Sumatera Selatan, menjadikan kota ini selalu ramai dikunjungi ataupun hanya sekedar lewat.

Sesampainya di Manna, gue malah agak sedikit bingung. Bukan karena gak bisa ngisi BBM, tapi melihat jam tangan masih sekitar pukul 17.00 WIB. Langit pun masih nampak terang. Gue jadi bingung mau nginep apa lanjut. Kalau nginep, di mana? SPBU di sini pada tutup, gak bisa dijadiin tempat tidur. Masjid pun pintunya gak buka 24 jam. Nginep di hotel? Lupakan saja (dibaca gak sanggup bayar). Setelah berpikir, akhirnya gue putuskan untuk melanjutkan perjalanan, toh matahari pun belum "pulang" dari pekerjaannya menyinari bumi. Gas terooos!!!

Ketika sedang berpacu dengan waktu, tiba-tiba, di perjalanan si motor mati. Aish, kehabisan bensin. Untung masih ada bensin cadangan dalam jerigen. Cuaca mulai gerimis. Beberapa detik kemudian hujan. Gue segera dorong si motor ke depan warung yang sudah ditutup oleh pemiliknya. Gak mungkin kan ngisi tangki bensin di tengah derasnya hujan? Gak semua bensin gue tuang ke dalam tangki. Gue sisakan untuk jaga-jaga bila nanti si motor mati dalam keadaan darurat. Misalnya tiba-tiba si motor mati di tengah hutan atau bisa jadi mati mendadak di tengah-tengah kuburan dan ketemu hantu Suzana. Yang jadi pertanyaan, itu hantu Suzana kenapa bisa sampai Sumatera? 

Memasuki Kabupaten Seluma, tepatnya di kecamatan Semidang Alas Maras (22 km dari Manna), hari sudah mulai gelap. Ini yang gue takutkan. Gelapnya jalanan di Sumatera bikin merinding disco. Hutan semua. Dari hutan yang beneran hutan sampai hutan bohongan (dibaca kebun sawit). Indikator bensin juga sudah mulai genit, berkedip-kedip berharap diisi oleh pemiliknya.
Perasaan takut kembali hadir tanpa permisi. Takut mogok di jalan, takut dirampok, takut diculik, takut ketemu hantu, takut diperkosa bencong-bencongan yang udah bangkotan. Pikiran tersebut terus memborbardir hati gue yang lemah ini (perang kalee di bombardir!). Namun, gue teringat sesosok manusia. Seorang yang membuat gue bersemangat menjalani ini semua. Sebut saja "Mawar". Ehk, entar dulu! Bukan Mawar deng! Terlalu Mainstream kalau Mawar. Sebut saja "Si Odah". Pas gue sampe di Kota Manna, dia tiba-tiba mengirimkan pesan singkat gitu. Padahal jarang-jarang dia menghubungi gue.

"Yogiiiiiiiii!!"
"Apaa?" gue bales.
"Gila Lo, keren, bisa keliling Sumatera."
"Kok tau? tau darimana?" bales gue sepik-sepik.
"Gimana gak tau, orang Lo sering update status di Facebook."
"Oh iya yah, doain gue yak, hihihi." 
"Beneran stres Lo, Gi, tapi keren sumpah. Salut buat Lo. Lanjutkan terus." gue cuma tersenyum girang sampe mau guling-gulingan di aspal. Tapi untung gue masih punya malu untuk melakukan hal sehina itu. 

Entah kenapa setelah perbincangan melalui Hape itu, semangat gue terus memuncak melebihi pesawat terbang di angkasa. Berkobar melebihi obor olimpiade yang tak pernah padam #lebai.co.id. Perempuan itu selalu bisa membuat gue bangkit bagai tersambar petir semangat. Membuat gue selalu tersenyum sendiri, membuat makan cireng seperti makan aci yang digoreng (Ini beneran loh, gak boong, seriusan). Gue emang merahasiakan ini dari teman-teman semua. Termasuk perempuan itu, wanita yang selalu gue kagumi dari dulu, hihihi.

Wajah gue seketika berseri. Kali ini bukan karena Si Odah, tapi karena gue melihat sebuah plang berlambang Pom Bensin di sisi kiri jalan. Ini pertanda di depan bakalan ada SPBU. Senangnya minta ampun, seperti melihat toilet waktu di tengah gurun pasir pas kebelet berak. (SPBU sekitar kurang lebih 45 km dari Manna atau 23 km setelah perbatasan).

Akhirnya selamat. Si motor bisa menyambung hidup juga. SPBUnya masih buka dan banyak sekali orang yang mengantri, pertanda bensin masih ada. Gue segera masuk ke dalam antrian untuk mengisi BBM. Biar antriannya panjang yang penting selamat, bisa menyambung nyawa si motor. Namun, ternyata gue gak dibolehin ngisi bensin ke dalam jerigen. Katanya, "kalau jerigen isinya di sebelah sana Mas." Sambil menunjuk ke arah pojok SPBU. 
Emang sih di pojokan sana khusus untuk mengisi jerigen. Tapi gak sepanjang itu juga kaleesss antriannya!!! Anjriit!!! Antriannya lebih panjang. Udah gitu jerigennya gede-gede banget, berjejer panjang, dan banyak gila. Gak mungkin banget gue bela-belain antri semaleman hanya demi satu jerigen kecil yang ukurannya gak lebih dari 5 liter bensin doang. Yah, beginilah resikonya jalan pakai motor tipe bebek. Tangkinya kecil, gak selebar motor gede. Andai pabrikan paham, coba buat motor bebek dengan tangki segede drum. Tapi pasti bingung di mana masangnya? *mikir*.

Gue istirahat di musholah SPBU untuk solat Magrib. Melihat musholah ini membuat gue berpikir untuk merebahkan badan sampai esok hari. Letih seharian di atas motor. Gue buka roti pemberian temen gue Budi yang baik tiada terperi. Walaupun jarak kita jauh, namun dia tetap selalu mengisi kekosongan, terutama perut gue ini. Entah kenapa, setiap kita berdua jalan atau backpakeran kemana saja, pasti kita selalu ditemani dengan roti. Naik gunung pun demikian, untuk bertahan hidup selama pendakian kita hanya bermodalkan roti bungkus. Bukan apa-apa, karena kita emang males masak atau lebih tepatnya gak bisa masak. Gimana kabar teman gue yang satu itu yah? Mungkin dia sekarang sedang gundah gulanah melihat teman seperjuangannya lagi berpetualang sedangkan dia hanya diam di rumah sambil belajar dan bikin PR. Di tengah lamunan, tiba-tiba ada telepon dari saudara gue.

"Sudah sampai mana, Gi??"
"Lagi di SPBU kang. Tapi di daerah mana yah??" tanya gue kebingungan. 
Setelah menanyakan kepada orang di sekitar. "Di daerah Sendawar katanya, Kang. Kayaknya nginep di SPBU sini. Udah capek." jawab gue di telepon.
"Langsung aja ke Bengkulu, nginep di sini aja." Sodara gue emang ada yang tinggal di Bengkulu.
"Ah, sien lah Kang. Takut, gelap, serem pisan."
"AMAN KOK. Satu setengah jam lagi sampai," ucapnya tegas. 
Mendengar penjelasannya, gue langsung berubah pikiran. Gue langsung pergi ke Kota Bengkulu. Mudah-mudahan ucapan dia benar.

Roti yang masih tersisa, gue buru-buru habiskan dan langsung tancap gas menuju Kota Bengkulu. Di GPS pun berjarak sekitar 95 km untuk sampai di sana. Itu artinya jika kecepatan motor konstan di angka 60km/jam maka bisa menghabiskan waktu satu jam tigapuluh lima menit untuk sampai kota Bengkulu. Asal tau aja, semenjak jalan di Sumatera, mendadak gue jadi pinter hitung menghitung rumus Fisika tentang waktu dan jarak. Emang, pelajaran itu seharusnya dipraktekan, bukan hanya sekedar teori.

Oke saatnya berangcuuut. Tapi kok gelap banget yaks? Mudah-mudahan gak ada kuntilanak ataupun sebangsanya yang numpang nebeng pergi kelabing buat ajep-ajep.

Gue masih berada di daerah Tais ibukota Kabupaten Seluma (80 km dari Manna). Sepertinya gak ada habis-habisnya gue menelusuri kabupaten yang satu ini. Gue gak keluar-keluar juga dari kabupaten yang satu ini. Masih ada 60 km lagi untuk sampai di Kota Bengkulu. Kabupaten Seluma memang sangat panjang jika dilihat di peta, dengan luas wilayah 2.321,74 km2.
Sumpah serem pisan!! udah gelap, yang ada cuma kebun sawit dan kebun sawit. Dah gitu, laju motor gak bisa ngebut, paling cepet maksimal 50 km/jam, karena banyak banget jebakan BETMEN (dibaca lobang) yang siap menghadang di tengah gelapnya malam. Kadang, gue ikutin mobil dari belakang agar terhindar dari jebakan Betmen. Lumayan kan jadi penerang jalan. Tapi namanya juga mobil, jalannya cepet banget. Dan gue harus terperosok ke dalam lubang lagi ketika situasi kembali gelap. Dua jam sudah gue tempuh, tapi perjalanan masih saja sawitan. Sudah berapa kali balikan gue membaca Surat Kulhu a.k.a AL-Ikhlas namun belum juga sampai tujuan.

Setitik cahaya terang terlihat dari ujung jalan sana. Itu bukan cahaya dari mobil. Itu cahaya lampu rumah. Akhirnya gue bisa melihat peradaban juga. Betapa senang dan leganya gue. Rasanya itu udah kayak orang tersesat di dalam goa yang gelap gulita beratus-ratus tahun lamanya terus nemuin sinar yang ternyata tukang sekuteng yang lagi nyasar di goa juga #Yipi. Pas gue baca tulisan di salah satu plang, ternyata gue baru sampai daerah Pembangunan, Kecamatan Selebar, Kabupaten Seluma. Kecamatan terakhir sebelum sampai di Kota Bengkulu. Motor pun gue pacu dengan sepenuh hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar