Rabu, 22 Oktober 2014

Perpisahan di Solok

Halaman 21

Minggu, 16 Desember 2012
Pagi ini gue harus pergi ke daerah Tanjung Paku, ke tempat bekas penelitian dulu selain di KTK. Gue pingin ketemu dengan seseorang yang dulu pernah nemenin gue waktu mencari data ke setiap rumah. Uni Santi namanya. Dia adalah seorang Kader Posyandu gitu. Namun karena gue sudah lupa jalan menuju ke sana, jadi gue minta dianterin bang Ben. Lokasinya ternyata gak jauh dari rumah bang Ben, tinggal belok kiri terus belok kiri lagi, terus kanan, terus kiri, kanan lagi, mentok, sampai dah.

Setibanya di rumah uni Santi, gue langsung mengetuk pintu rumah yang berada di kawasan komplek perumahan gitu. Tapi sudah beberapa kali gue gedor-gedor sambil teriak kayak makelar tanah, tidak kunjung ada jawaban. Sepertinya penghuni di rumah ini lagi pergi semua. Sekitaran rumahnya pun sepi banget, gak ada orang yang bisa ditanya. Gue masih terus mengetuk pintu rumahnya. Tiba-tiba ada tetangganya yang keluar. 
"Mungkin lagi pergi keluar orangnya," ucapnya.
Mungkin?? Masa iya tetangganya sendiri gak tau pergi ke mana! Padahal bersebelahan dan berdempetan rumahnya #Sewot.
"Kira-kira pergi ke mana bu?? lama gak yah??" tanya gue.
"Gak tau juga yah."
"Yasudahlah, titip salam sama Uni Santi, yah bu. Bilang kalau ada orang dari Jakarta mencarinya." 

Gue dan bang Ben langsung pergi pulang. Sebenarnya ada seorang lagi Kader Posyandu yang dulu membantu kita, tapi sekarang dia sudah pindah ke Pulau Bali.

Akhirnya kita pulang tanpa hasil. Saatnya gue membersihkan diri soalnya sejak dari kemarin sore gue beluman mandi. Sampai di kamar mandi, bak airnya kosong. Semalem bang Ben lupa nyalain mesin air. Jiaaah, emang di kontrakan ini rada-rada susah air. Mesin air cuma bisa nyedot air pas malam hari doang. Kalau siang hari entah kenapa si air gak mau kesedot sama tuh mesin, mungkin air di sini pada takut sinar matahari. Akhirnya gue, bang Ben dan Abel pergi ke rumah bang Ronald untuk numpang mandi.

Seperti biasa , Bang Ronald sedang duduk santai di teras depan rumahnya. Dengan bahasa minang, bang Ben ngomong sama bang Ronald. 
"Ya udah sana mandi, Gi," ucap bang Ronald
"Bang Ben sama Abel duluan aja, saya belakangan," saut gue.

Bang Ronald ini di rumahnya jualan souvenir-souvenir gitu. Sovenir-sovenir khusus buat orang nikahan atau sunatan yang nantinya untuk dibagikan untuk para undangan. Ternyata dia itu membeli barang-barang ini dari Pasar Asemka, Jakarta. Tempat murah kalau beli-beli sovenir grosiran gitu. Kebetulan Bapaknya bekerja di Statsiun Kota Jakarta yang lumayan dekat dengan Pasar Asemka. Pantes aja pas lihat bentuk-bentuk sovenirnya, gue ngerasa familiar banget, ternyata mereka beli di Jakarta juga. Secara gue juga sering beli sovenir di situ.

Orang Minang memang gak lepas dari berjualan atau berwirausaha. Sudah sebelas dua belas sama orang Cina. Di mana-mana, baik di dalam maupun di luar kampungnya, pasti jualan. Baik itu buka usaha Rumah Makan Padang, fotocopyan, jual pakaian dan perabotan di pasar kaget, buka toko sepatu serta accesoris, dan lain sebagainya. Rata-rata pasti sukses semua. Mungkin sejak dari dalam kandungan, mereka sudah diajarin hukum jual-beli sama ortunya. Atau pas lahir, mereka bukan diadzanin tapi malah dibacain tata cara berwirausaha yang baik dan benar. Tapi salut lah buat mereka-mereka ini.

Selesai mandi dan sarapan, gue bermain dengan si cantik Abel di rumah. Gabriela Abelva. Anak yang lucu berambut ikalnya. Cewe centil yang masih sekolah TK ini paling suka lagu Cherybell. Apalagi kalo pas lagi nyetel lagu Beautifull. Dia langsung ikutan bernyanyi dan bergaya layaknya anggota Cherybell. Cibi-cibi hap hap hap! Terus kalau dia lagi ngomong, gue mesti harus kudu ngelihat kamus bahasa Minang dulu. Sumpah, kecil-kecil udah pinter banget ngomong Minang. Ngidam apa yah ibunya sampai anaknya pinter bahasa Minang? Anak yang istimewaa!!! *gaya cibi-cibi*.
Gabriela Abelva

Cibi Cibi

Bang Ben meminta gue untuk nganterin dia ngambil mobil Pusling. Hari ini sampai seminggu ke depan, dia disuruh nganter dan menemani para atlit perwakilan Solok mengikuti acara Porprov atau Pekan Olahraga Tingkat Provinsi gitu, yang tahun ini diadakan di Kabupaten Lima Puluh, Sumbar. Rencananya hari Senin besok dia mau nganter ke sana, tapi karena ada perubahan jadwal jadi dimajuin berangkatnya hari ini juga. Otomatis gue harus berangkat juga hari ini. Bang Ben menyuruh gue tinggal di rumah sampai dia selesai acara. Tapi gak mungkin banget, acaranya aja masih lama selesainya dan lagi gue sudah terlalu lama di sini, makin ngerepotin mba Eva aja nanti.

Abis nganterin bang Ben, gue balik lagi ke Tanjung Paku sendirian. Siapa tahu uni Santi sudah ada di rumah. Kapan lagi gue bisa ke sini dan ketemu mereka. Sekali setahun aja gak mungkin. Sesampainya di TKP, lagi-lagi di rumahnya gak ada orang sama sekali. Nomer Hape beliau pun gue gak punya. Gue mengambil sekumpulan foto di dalam Box Motor. Foto yang gue bawa dari rumah. Foto itu sengaja gue cetak untuk dibagikan kepada orang-orang yang dulu telah membantu kami, agar mereka selalu ingat dengan kami. Termasuk foto yang gue kasih ke Amak kemarin.  

Gue menaruh dan memasukan kumpulan foto-foto tersebut lewat celah bawah pintu. Berharap pas beliau datang dan membuka pintu, beliau langsung melihat foto itu dan tahu kalau gue telah datang ke rumahnya.
Jam 13.00, saatnya bang Ben berangkat ke Lima Puluh. Gue juga harus meninggalkan keluarga kecil ini. Gue cek kembali barang-barang dalam cariel, lantas gue membawanya keluar. Tiba-tiba pas gue keluar, bang Ben sedang menuliskan sesuatu di Spakboard depan motor gue. 
"Huaaaa, kenapa dicoret-coret, Bang??" tanya gue sewot sambil menggosok-gosok tulisan mencoba menghapusnya. Ternyata dia menuliskan tanda tangannya. "Buset, pakai spidol permanen lagi!!!"
"Lu harus punya kenang-kenangan di Sumatera ini. Masa udah jauh-jauh gak ada yang bisa dikenang. Minimal lu ada kenang-kenangan tanda tangan setiap daerah yang lu singgahi nanti." 
"Heemm, Bener juga sih."
"Nih spidol buat lu." Dia melemparkan Spidolnya ke gue.
"Makasih bang Ben."

Akhirnya gue putuskan. Mulai saat ini, setiap gue singgah di suatu tempat, wajib dan atau harus ada tanda-tangan yang mewakili daerah tersebut. Tanda tangan bang Ben dengan tulisan Solok di bawahnya menjadi tanda tangan pertama yang tertulis di motor ini.

Ban Ben juga memberi sebuah kantung gitu, buat bungkus jerigen sama perentelan-perentelan yang lain. Kata bang Ben penampilan motor dan jokinya udah kayak gembel mutlak beneran. Acak-acakan, kebanyakan yang digantung di motor, gak rapih, semrawut banget dah pokoknya. Dari botol oli cadangan yang ngegantung di depan, sepatu yang ngegantung di belakang, dan di samping motor yang menggantung jerigen dekil penuh cipratan tanah.
"Namanya juga petualang gembel, hahaha," bela gue sambil tertawa. 
"Walaupun lagi ngegembel tapi jangan sampai kelihatan gembel-gembel banget. Gimana cewe mau deket ma lu kalau gak rapih begini?" ucap bang Ben sambil membungkus Jerigen dengan kantung polybag bergambar kepala tengkorak. Buset, Underground  banget! black metal. Gue malah jadi takut dikira geng motor jualan kolor nanti.

Saatnya berpisah dengan bang Ben, mba Eva dan si cantik Abel. Sedih rasanya meninggalkan mereka di saat gue udah mulai menyatu dengan keluarga kecil ini. Banyak yang gue pelajari dari keluarga sederhana ini. Gak ada yang bisa gue kasih ke mereka. Gue cuma bisa memberi salam sayang tanda pamit untuk bang Ben dan mba Eva. Untuk si cantik Abel, gue memberi sedikit uang untuk jajan. Namun, bang Ben menolaknya dan langsung memberikan lagi uang itu ke gue.
"Apa-apaan sih lu??" Dia memaksa memberikan kembali uang.
"Ini itung-itung buat ganti bensin kemarin, Bang." gue tetap menolak dengan keras kembalinya uang itu.
"Gua gak suka kalau lu ngasih-ngasih gituan. Kita itu udah kayak saudara." Kali ini bang Ben berhasil memasukan uang itu ke dalam saku jaket. Entah kenapa gue jadi terdiam pasrah.

Sekejap, gue langsung peluk bang Ben. Tubuh ini reflek begitu saja memeluk tubuhnya. Mata gue mulai bercucuran air mata. Gue coba menahannya sekuat tenaga. Namun semakin kuat gue menahan, semakin tidak bisa terbendung lagi. Air mata gue deras mengalir. Untuk pertama kalinya gue menangis seperti ini. Gue tidak malu lagi menangis di depan orang-orang. Hati ini seperti tertusuk benda tajam ketika mendengar kata "Saudara" dari mulut bang Ben. Rasanya perih sampai berlinang air mata. Isak tangis kebahagiaan. 
Sebenernya gue adalah orang yang paling benci menangis. Namun saat ini, gue tidak berhasil melanjutkan kebencian itu. Gue menangis terbawa suasana kekeluargaan.

"Terima kasih bang ben atas kebaikannya. Maaf udah ngerepotin. Maaf gak bisa ngasih apa-apa," gue terus mengucapkan terima kasih sama keluarga yang teristimewa ini.
"Udah jangan nangis lagi. Maaf juga kalau jamuannya kurang. Kapan-kapan pasti bisa ketemu lagi," jawab mba Eva dengan mata yang mulai memerah.
"Pulang dari Sabang wajib mampir lagi ke sini," ucap bang Ben sambil menepuk bahu gue.
Gue cuma bisa bilang "Pasti". Karena rute pulang sebenarnya adalah melalui Jalur Lintas Timur. Riau-Jambi-Sumsel. Jadi gak bakal lewat Sumatera Barat lagi. 

Hari yang sangat menyedihkan. Perpisahan yang sangat menyebalkan. Inikah yang dinamakan indahnya persaudaraan. Perasaan yang belum gue dapatkan ketika di rumah sendiri. Berat rasanya harus meninggalkan keluarga ini. Tapi perjalanan masih terlalu panjang. Masih banyak yang harus gue lakukan di luar sana. Gue usap air mata yang sudah membasahi wajah ini. Gue cuma bisa berdoa semoga keluarga ini tetap diberikan kesehatan serta kebahagiaan, dan di mana gue kembali suatu saat nanti, gue masih tetap melihat senyum bahagia dari mereka. 
Keluarga Baru yang Istimewa

Waktunya berangcuuuut, walaupun dalam perjalanan masih saja meneteskan air mata. "Aaaargh!! Harus kuat. Jangan cengeng begini. Masa anak cowo nangis."

Keluar dari Kota Solok, gue kembali memasuki Kabupaten Solok. Sampai di daerah Singkarak (16 km dari Kota Solok). akhirnya gue bisa bertemu dengan danau kedua setelah Danau Kembar, yang termasuk dalam 7 Danau Terluas di Sumatera. Gue melewati pinggiran hamparan air tersebut. Hembusan angin sepoi-sepoi membuat permukaan danau nampak seperti mengikuti alunan angin. Warna danau yang kebiru-tuaan, membuat gue pengen lompat dari atas pohon nyebur ke danau. Karena mengingat gue tidak bisa berenang dan sepertinya danau tersebut dalem banget, jadi gue urungkan niat tersebut. Lantas, gue berhenti di sebuah masjid pinggir danau untuk solat Dzuhur sekaligus menikmati pemandangan danau.
Kecamatan Singkarak


Panorama Singkarak
Danau Singkarak namanya. Merupakan danau terluas di Sumbar dan merupakan yang terluas kedua di Pulau Sumatera setelah Danau Toba di Sumatera Utara. Danau ini memiliki luas permukaan air mencapai 11.200 hektar dengan panjang maksimum 20 km, lebar 6,5 km, kedalaman 268 meter dan merupakan hulu Sungai Ombilin. Kira-kira sih segitu luasnya, soalnya gue pun belum sempet ngukur, dan lupa gak bawa meteran. Beneran deh, bener-bener gak sempet #Apaan Cee.

Kabupaten Solok memang dikenal dengan wisata danaunya yang tidak dimiliki daerah lain, seperti pesona Danau Kembar (Danau Diatas dan Danau Dibawah) dan Danau Singkarak. Di Gunung Talang (dekat dengan Danau Kembar), selain terlihat hamparan hijau kebun teh juga terdapat Danau Talang di bagian tengah gunung tersebut. Biasanya danau Singkarak ini sering menjadi jalur pacu balap sepeda "Tour De Singkarak". Dengan acara itu, pemerintah setempat sudah mampu menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi Kabupaten Solok. Ini yang harus ditiru oleh daerah-daerah lain.
Temen Seperjalanan gue

Luasnya danau Singkarak

Danau ini mengingatkan gue dengan teman-teman Seanuts. Dulu, setahun yang lalu, gue, Risda, Ira, dan Adis pergi menuju Bukittinggi dari Kota Solok. Gak disangka-sangka kami melewati sebuah danau yang amat luas. Bang Ben yang pada saat itu mengantar kami dengan mobil Puslingnya, berhenti di pinggiran danau untuk menikmati pemandangan sekitar. Untuk pertama kalinya kami melihat danau seluas ini. Gue sangat merindukan hari itu, hari di mana kami bisa tertawa gembira bersama, berfoto narsis ria, dan "menggila" bersama. Danau Singkarak pun menjadi saksi bisu persahabatan kami. Namun sayang, lagi-lagi kami harus berpisah. Solok pun sekali lagi harus menjadi tempat perpisahan buat kami. (Salam kangen untuk Risda, Adis dan Ira. Sukses dengan semua impian kalian).

My Team 2011 silam (Risda, Ira dan Adis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar