Kamis, 16 Oktober 2014

Untuk Kedua Kalinya

Halaman 19


"Jalan aja terus ke arah Terminal Lama. Gak jauh dari terminal ada Statsiun. Rumah abang dekat Statsiun Solok." Itulah pesan dari temen gue di Kota Solok.

Sampai juga di Kota Solok. Melihat jam tangan sudah menunjukan angka 20.00 WIB. Hujan sudah berhenti, tapi gue masih malas melepaskan ponco. Perempatan lampu merah ini nampak sudah tidak asing lagi buat gue. Dari lampu merah, gue berjalan lurus sampai ada sebuah masjid yang amat sangat besar menyambut. Masjid berkubah kuning terang dengan sedikit corak berwarna hijau. Masjid yang dulu masih belum selesai dibangun itu sekarang sudah terlihat cantik menawan. Hemm, bukan waktunya untuk bernostalgia!
Masjid Kota Solok

"Misi bang, Kalo arah ke Terminal Lama ke mana ya??" tanya gue kepada salah satu pemuda yang lagi jalan.
"Lurus aja, terus nanti ada perempatan belok ke kiri, nanti belok lagi kanan, terus bla bla bla bla."
"@$#@%^$^*%&^$%*&^." 
"Ya udah saya anterin ke sana," jawab Pemuda itu. Pemuda itu pun nebeng di belakang gue. Gak beberapa lama, sampailah kami di terminal kecil. 

"Lurus aja, Mas. 100 meter lagi juga sampai statsiun," ucapnya sambil menunjuk tangannya ke depan.
"Makasih bang udah mau nganterin," jawab gue. 

Gue berjalan pelan menuju statsiun sambil melihat kanan kiri jalan mencari keberadaan teman gue. Gimana kabar temen gue di sini yah, udah lama gak ketemu!

"Gieeee!!!" Tiba-tiba ada seseorang berteriak. Gue menghentikan laju motor. Suara itu terdengar dari belakang sana. Gue langsung menengok ke arah suara. Ternyata itu adalah bang Ben, teman gue. 

"Akhirnya ketemu juga. Kok bisa tau kalau itu saya, Bang. Padahal saya lagi pake ponco??"
"Iyalah tau, gua sering lihat foto-foto lu di Facebook. Jadi gua hapal banget motor lu yang biru itu," ucapnya sambil tangannya menepuk-nepuk spion motor, "terus cuma lu doang yang bawa barang sebanyak ini," lanjutnya.

Hahaha, gue memang sering update foto-foto perjalanan tiap daerah yang gue lewati di Facebook pakai Hape Smartphone, dan motor gue ini sering jadi modelnya gitu. Udah gitu penampilan gue bener-bener mencolok banget dengan bawaan seabreg-abreg. Gak heran kalau gue dibilang jualan kolor.


Kira-kira begini lah costum gue kalo lagi keujanan *ngakak (foto di ambil waktu di  Sumatera Utara)

Gue dibawa ke rumah yang berada 50 meter masuk ke dalam gang sempit. Untuk pertama kalinya gue singgah di rumah bang Ben. Dia sekeluarga mengontrak di rumah ini. Istri dan anaknya dipanggil untuk menemui gue yang masih beres-beres di luar. Abel, anak yang dulu sering dia ceritakan, akhirnya bisa bertemu juga. Memang cantik dan lucu, persis seperti apa yang dulu bang Ben ceritakan. Baru aja nyampe, gue udah disuruh makan sama mba Eva, istrinya bang Ben. Dia sudah menyiapkan makanan daritadi. Ternyata kedatangan gue sudah ditunggu-tunggu oleh mereka. Hiks, jadi terharu!

Ini kedua kalinya gue datang ke Solok setelah tahun 2011 lalu mencari sesuap beras di sini. Gue sudah pernah cerita kan tentang kerjaan gue dulu. Kalau masih belum jelas, gue ceritain sedikit lagi. Gini ceritanya: Gue dulu pernah kerja Penelitian di SEANUTS. Artinya bukan "Kacang Laut" atau kacang berbentuk kuda laut. SEANUTS itu singkatan dari "ASEAN NUTRISURVEY". Kereen kan? Itu tuh penelitian tentang kesehatan gitu. Penelitiannya mencakup se-Asia Tenggara. Dan gue bekerja sebagai pencari data perwakilan dari Indonesia bersama dengan si Adis yang di Padang itu, dan dua teman gue yang lain (Risda dan Ira). Sebenarnya masih ada 13 orang lagi yang berpartisipasi dalam pencarian data. Tapi beda-beda kelompok gitu. Gue bangga banget bisa ikut berpartisipasi dalam penelitian besar ini. Lanjoot!!

Nah kerjanya itu, keliling-keliling mencari data tentang kesehatan anak-anak dari satu provinsi ke provinsi lain. Kalau di Sumatera ini, kelompok gue mendapat tugas di daerah Solok, Pekanbaru (Riau), Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir (Sumatera Selatan). Tiap daerah, kita menetap cuma sebentar. Di Solok sendiri kita cuma 10 hari. Kebetulan bang Ben bekerja jadi Driver Ambulans gitu di puskesmas. Nah, dia itu yang sering ngenterin kita pergi ke mana-mana. Jalan-jalan, anter jemput ke penginapan, belanja, nyari makan, pergi ke kamar mandi. Pokoknya kita sama bang Ben udah nyobat banget dah.

Selesai makan, gue diajak pergi ke rumah temannya. Ternyata rumah temannya itu adalah tempat percetakan undangan gitu. Bang Ben ikut bantuin temennya nyetak surat undangan. Lumayan lah buat penghasilan tambahan di rumah. Sambil nungguin bang Ben sibuk bekerja, gue mencharger Hape di komputer milik temannya, soalnya kalau di colokan biasa, lama gila penuhnya. Sampe gue tiba di bulan pun kaga bakalan keisi-isi tuh dayanya. 

Temen-temennya bang Ben ramai sekali berdatangan. Mereka lalu menggelar lapak di sebuah meja. Benda-benda kecil seperti mahyong di sebarkan di atas meja. Itu domino yang gue liat waktu di warkop di Padang kemarin. Gue dikenalin ke semua orang yang ada di situ. Dengan bahasa Minang, bang Ben menjelaskan kepada mereka kalau gue sedang keliling Sumatera menuju ke Sabang naik motor. Jadi malu. Bukan cuma di sini saja bang Ben ngenalin gue ke orang-orang. Setiap kami bertemu temannya, pasti bang Ben langsung cerita kalau gue ini lagi berpetualang pakai belalang tempur #yakalee baja hitam RX. Kayaknya bang Ben bangga banget punya temen kayak gue atau lebih tepatnya aneh. Dan tampang mereka itu spechless banget, udah kayak liat Alien yang baru keluar dari WC umum. Entah gue harus bersikap senang apa sedih.

Sabtu, 15 Desember 2012
Mata gue berasa berat banget. Padahal udah jam 9 pagi. Ini karena gue semaleman begadang nemenin bang Ben bikin undangan. Hari ini gue mau ikut pergi ke tempat kerjanya bang Ben yaitu di Puskesmas KTK. Mba Eva mengeluarkan beberapa piring berisi makanan ke ruang tamu. Seperti biasa, masakan di Sumatera selalu identik dengan cabe merah. Setiap makanan pasti merah. Rasanya juga pedes banget, apalagi kalau kena mata. Sumpah gak boong, rasain aja sendiri.

Kami berangkat menuju Puskesmas KTK. Motor gue diistirahatkan dulu untuk hari ini. Lantas, kami berdua berangkat dengan motor Satria zaman dulunya bang Ben yang nasibnya hampir sama... Ngebuuul knalpotnya. Tapi wajarlah motor 2 tax, lah kalau motor gue tulisannya doang 4 tax, kelakuannya udah mirip motor 2 tax. Berasap pekat.

Tidak ada perubahan dari puskesmas ini, juga rumah-rumah di sekitarnya, masih sama sepinya seperti dua tahun silam. KTK itu singkatan dari Kampai Tabu Kerambil, sebuah kecamatan di Lubuk Sikarah. Tempat ini dulu menjadi wilayah kerja tim gue selama 5 hari. Berjalan dari satu rumah ke rumah lain untuk mencari anak-anak dan orang tuanya, menawarkan apakah bersedia untuk di ambil datanya atau enggak. Persis kayak sales obat yang lagi nawarin panci. 
Puskesmas KTK, Kota Solok
Gue minta bang Ben untuk nganterin ke tempat Amak. Tempat dulu gue tinggal selama berkerja di Solok. Bang Ben langsung mengambil mobil dinasnya. Mobil andalannya. Mobil putih berlambang "Bhakti Husada". Gue dan bang Ben pergi dengan mobil Pusling alias Puskesmas Kelilingnya. Mobil yang dulu sering kami pakai jalan ke mana-mana. Dulu ada cerita lucu waktu kami sedang jalan-jalan malam pakai mobil ini. Di sebuah pesawahan, bang Ben sengaja menyalakan sirine mobil pusling. Seketika itu, orang-orang yang lagi pada nongkrong di pinggir jalan langsung pada ngibrit kabur terbirit-birit pas denger suara sirine. Bahkan motor yang berlawanan arah langsung muter balik lagi. Hahaha, dikiranya ada razia kali!!! Pas mereka tau kalau itu mobil pusling yang cuma iseng lewat, mereka cuma bengong dengan wajah penuh kebodohan. Sampai-sampai kepala mereka berubah jadi keledai kayak di film kartun.

Rumah Amak itu letaknya berada di belakang Rumah Sakit Umum Solok. Terlihat Amak sedang membersihkan ikan di halaman rumahnya. Gue langsung keluar dari mobil dan menghampiri beliau. Pasti si Amak kaget banget ngeliat gue. Di depan pagar gue menyapa Amak.

"Asalamualaikum Amak??"
"Walaikumsalam."
"Masih ingat gak sama saya, Amak??"
". . . . . ." Amak bengong.
10 detik kemudian "Sapa yah??" tanya Amak bingung.
"Ini saya, Yogi dari Jakarta yang dulu pernah nginep di sini," gue mencoba menjelaskan.
Amak tambah bengong.

Gue berusaha menjelaskan. Sampai bingung mu ngejelasin apa lagi, tapi si Amak masih saja lupa. Maklum umurnya memang sudah sangat tua. Mungkin memory otaknya sudah penuh sampai luber berceceran jadi gak bisa menampung kenangan lagi.

Bang Ben turun dari mobil dan menghampiri kami yang sudah sangat kebingungan.
"Eh Ben, gimana kabarnyo nih??" tanya amak kepada bang Ben.
Siaaal, giliran bang Ben langsung ingat. Oia, Amak ini sama bang Ben sudah saling kenal. Dulu Amak pernah jadi guru bang Ben sewaktu SD.
"Ini loh Amak yang dulu kerja di puskesmas, yang sering Ben antar," bang Ben mencoba meyakinkan. 

Gue mengambil sesuatu yang gue tinggalkan di dalam mobil. Lantas gue berikan kepada Amak. Mudah-mudahan ini bisa membuat memori Amak balik lagi.
"Ini Amak, foto kita dulu!!" si Amak terdiam melihat foto itu.
Beberpa jam kemudian. . . . .(Lama amat) Akhirnya si Amak ingat juga sama gue. Ternyata dia pangling ngelihat muka gue yang agak berbeda apalagi rambut gue yang sudah gondrong gak beraturan kayak abis kesetrum. Untung, gue bawa foto-foto bareng Amak waktu zaman dulu, dan untung aja gue bawa bang Ben, kalau gak, bisa-bisa gue diteriakin mau mencabuli nenek-nenek di atas usia tua renta. Amit-amit ihk!!!

Kita pun bercerita banyak, termasuk kejadian rumah Amak yang pernah kebakaran.
"HAAHH, seriusan itu Amak!! terus gimana!! gak kenapa-kenapa kan!! kok bisa!!" #Kepo Gitu.
Kata Amak, itu kejadiannya pas lagi gak ada orang di rumah. Untung keburu ketahuan tetangga, jadi gak semuanya habis terbakar. Yang hangus cuma bagian dapur dan sebuah kamar dekat dapur yang dulunya jadi tempat gue tidur. 

What the hell!! ini semakin menegaskan, kalau gue itu membawa aura negatif buat semua orang. Waktu itu gara-gara ketemu gue, hape bang Andre jatoh gak ketemu. Terus gue beli es cendol di pinggir jalan, gerobaknya langsung tiguling, jatoh ke selokan. Kayaknya gue kudu mandi kembang sambil ngemilin kemenyan biar aura negatifnya hilang. 

Amak menyuruh kami makan dan nginep di sini. Sayang kami harus pulang, karena gue berencana mau pergi ke Sawahlunto siang ini. 
"Saya pamit dulu Amak. Makasih Amak karena dulu sudah mau direpotin sama saya dan teman-teman. Amak dapat salam dari teman-teman yang lain."
"Hati-hati ya, Gi. Kapan-kapan mampir lagi ke sini."
"Pasti itu, Amak." spontan gue peluk Amak. Orang-orang yang gak akan pernah gue lupakan seumur hidup.
Gue dan Amak
Tim gue dan Amak 2011 silam

. . . . . . . .
Di perjalanan menuju puskesmas, "nanti aja ke Sawahluntonya, nunggu gw pulang kerja. Biar gw anterin ke sana."
"Emang pulang jam berapa? Gak apa-apa kalo bang Ben sibuk, saya bisa jalan sendiri ke sana."
"Gue keluar jam dua. Dah tunggu gue pulang kerja aja dulu." Paksa bang Ben.
Dalam hati gue menggerutu, "kelamaan kalau nunggu sampai dia pulang. Jam dua aja baru pulang. Mau nyampe sana jam berapa!! Hemm, tapi kalau gue tinggal, gak enak juga. Gak sopan. Gue kan cuma tamu." Gue pun menjawab, "Ya udah, gimana kata tuan rumah aja dah."
"Nah gitu dong."
. . . . .

Selesai kerja, pukul 02.30 WIB, kita berdua pergi ke tempat pamannya bang Ben. Dia berencana mau minjem mobil sama Omnya gitu buat jalan ke Sawahlunto. Gila, kayak orang tajir aja jalan pakai mobil. Tapi gak apa lah, sesekali keliling naek mobil. 

Sesampainya di TKP, rumahnya masih kelihatan sepi. Bang Ben langsung menelepon Omnya.
"Dima Om??"
". . . . . ."
"Ambo alah di rumah nih."
". . . . . ."
"Ok, ditunggu."
tuuut
Ternyata si Om masih ada di kantor. Jiaah, alamat lama kalo begini adanya!

Satu jam kemudian akhirnya pamannya datang juga (gue udah mau bunuh diri dari atas pohon). Pamannya yang berprofesi jadi guru ini ternyata mempunyai banyak sepeda ontel. Di dalam rumahnya, berjejer 13 biji ontel dengan berbagai macam rasa. . .eh tipe maksudnya. Ini sepeda dipakai semua gak yah? apa sepedanya di sewain ke tukang ojek sepeda? atau mungkin dulunya Om ini nyewain sepeda buat perang lawan penjajah?? Au ahk gelap, ngapain juga gue mikirin yang gak penting.

Bang Ben malah asik ngobrol dengan sodaranya itu. Hadeeww, keburu kemaleman dah ini mah!!! Pengen rasanya gue nendang tuh sepeda ontel terus teriak.
"Kapan Kita Berangkat, Arrrrgggh!!!"

Tapi sebelum gue melakukan hal memalukan itu, bang Ben langsung meminta ijin untuk meminjam mobilnya. Huft, legaaa. Saatnya gue teriak BERANGCUUUT!!!

Gue menyuruh bang Ben ngajak mba Eva dan Abel biar perjalanannya tambah rame. Gak seru kalau cuma kita berdua doang yang pergi. Bangku belakang pun juga masih kosong. Lantas, dia menelepon istrinya dengan bahasa Minang yang gue gak tau terjemahannya. Mungkin intinya, mereka disuruh siap-siap karena kita mau bertamasya ria. 

Ternyata gue bener, mba Eva dan Abel sudah menunggu di depan gang rumah, siap untuk jalan-jalan. Waktu sudah jam 04.00 sore. Sudah teramat sore. Gue udah gak sabar, kaki udah gatel, tangan udah kesemutan, greget banget pengen ngacak-ngacak septiteng. Gimana cerita selanjutnya! Tempat-tempat apa aja yang bakal gue temui! atau sama sekali gue tidak menemui apa-apa. Baca terus kelanjutan ceritanya walaupun gue tau kalian sudah muak dengan cerita ini. hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar